Rabu, 25 Juni 2008

G Penting

^G’ PENTING^
Perubahan, satu kata yang tak asing lagi bagi orang yang menamakan dirinya sebagai agen of change, pun masyarakat awam. Realitas kehidupan mengenalkan dan mengajarkan mereka akan keniscayaan suatu perubahan. Namun, perubahan yang diyakini sebagai sebuah fakta kehidupan, tidak mutlak disukai oleh mereka yang merasai hidup. Sebut saja Heni, seorang mahasiswi yang penulis temui sedang bengong di sudut taman perpustakaan kampus Hijau. Ditanya pendapat seputar perubahan, dia mangaku phobi dengan yang namanya perubahan. Baginya perubahan adalah pintu menuju ketidakpastian meskipun dia sendiri juga paham bahwa perubahan dalam skala kecilpun pasti ada dan menimpa semua orang termasuk dirinya, “Sebuah empirik hidup saja kok mbak” begitu ungkapnya.
Dyah, seorang mahasiswi lainnya, mengaku juga kalau dirinya kurang begitu suka dengan perubahan yang terjadi baik yang menyangkut diri, keluarga dan masyarakat. Permasalahan utama yang dihadapi adalah kemampuan meraba dan adaptasinya yang kurang terhadap perubahan tersebut. Salah satu usaha mengatasi adalah easy going sehinga tidak terlalu membuat dirinya tertekan, “Hidup itu untuk dijalani dengan rileks mbak, meski perubahan itu yakin ada, tapi ya easy going ajah…”ungkapnya.
2 mahasiswi diatas adalah salah dua contoh bagi mereka yang kurang atau bahkan tidak suka akan adanya perubahan, meskipun contoh ini tidak cukup untuk dijadikan argumen dalam menggeneralisir alasan ketidaksukaan terhadap hal ini, namun secara berani penulis melihat ada kesamaan dari contoh diatas, yaitu penerimaan atas adanya perubahan dan yang kerap bermasalah adalah bagaimana menghadapi perubahan, bukan pada perubahan itu sendiri. Mungkin juga karena perubahan yang terjadi lebih banyak merupakan “Shock Therapy”.
Perubahan menurut penulis ada yang bersifat alami dan bersifat buatan. Inti dari perubahan yang bersifat alami adalah ketidakberdayaan manusia dalam proses perubahan di dalamnya, atau lebih agamisnya adalah sudah ketentuan Tuhan,contohnya adalah pertumbuhan makhluk hidup, dulunya kecil berubah , berkembang menjadi besar, muda menjadi tua, dulunya hidup kemudian mati. Sedangkan inti dari perubahan yang bersifat buatan adalah masih adanya upaya manusia dalam proses pembentukannya, meskipun dalam kesemuanya sudah berlaku ketetapan Tuhan. Contohnya antara lain kasus climate change akibat global warming,perubahan harga kebutuhan pokok manusia, perubahan kondisi masyarakat, dll. Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan pengkotakan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, misalnya “Kenapa harus ada pembedaan seperti ini?”, “Mengapa juga harus ada perubahan alami?”
Kemudian ada argumen yang menyatakan bahwa perubahan sendiri selalu mengkaitkan manusia di dalamnya, atau perubahan adalah produk dari tindakan manusia itu sendiri. Terkait dengan perubahan alami dengan Tuhan sebagai Penguasa, maka Sang Penguasa akan digantikan dengan materi, karena segala sesuatunya adalah materi, perubahan adalah dari materi kepada m,ateri, yang kesemuanaya masih ada dalam jangkauan manusia. Sehingga perubahan merupakan suatu hal yang rasional , itulah yang membuat perubahan ada dan dapat dijalankan. Argumen seperti ini akan membuat rancu perletakan tentang perubahan mana yang masih ada dalam koridor manusia sehinga akan sangat terkait dengan metode dan cara yang digunakan untuk mencapainya. Seperti halnya pada kasus feminitas pada wanita dan maskulinitas pada pria. Jika diasumsikan bahwa pelekatannya adalah produk budaya maka feminitas dan maskulinitas boleh saja terjadi kemungkinan perubahan silang yaitu maskulinitas pada wanita atau feminitas pada pria karena hal ini termasuk pada perubahan buatan, manusia masih bisa “merubah” dalam prosesnya.
Memang akan ada banyak asumsi terkait dengan makna perubahan dan bagaimana manusia memahami dan menjalankan dan berupaya meraihnya. Asumsi adalah pendapat seseorang terhadap suatu hal yang didasarkankan pada realitas dan pemikiran tertentu . Oleh karena itu asumsi yang banyak berkembang tentulah dengan bijak dipelajari dan diteliti lebih jauh, karena realitas yang dijadikan salah satu acuan berpikirnya bisa mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal ini boleh jadi berpengaruh dengan konklusi awal. Maka penulis lebih suka mengembalikan pada empirik masing-masing individu. Dengan itu manusia akan lebih jujur menganalisa adanya perubahan, bahwa kehidupan tidaklah dinamis. Perubahan adalah inti, sebuah poros kehidupan, dengannya kehidupan berputar. Dalam empiriknya, manusia kan lebih jujur menilai bahwa manusia bisa menjadi subjek ataupun objek perubahan tergantung bagaimana menempatkan diri, dan ternyata dalam kesemuanya terdapat The Invisible hand sebagai pengendali roda kehidupan, sehingga perubahan yang terjadi didalamnya baik buatan dan alami tidaklah berjalan dengan metode yang acak adul tanpa aturan, sehingga perubahan yang terjadi malah menimbulkan kesengsaraan bagi subjek dan objeknya.
Selamat Menganalisa dan Merasa.

Disudut taman_”Puff…daripada bengong..” ^0^