Minggu, 26 Juli 2009

Pembelajaran...Menggelikan...

kenapa coba saya bilang menggelikan? entahlah, saya sendiri rupanya sudah bingung menyebut rasa apalagi ini....pembelajaran dari orang yang katanya sudah berpengalaman dan katanya lagi inilah pembelajaran buat hidupmu...biar kamu tambah dewasa...kata yang terakhir langsung nyantol di kuping saya, dan tak perlu waktu lama bagi saya buat muntah.Muntah karena geli atau karena terlampau eneg. Edan bener...berapa lagi saya harus berada dalam batas pikir para yang berpengalaman buat menyandang strata 1 jurusan 'kedewasaan' dengan predikat cumloude. Hingga berkali dijejal dengan pelatihan yang membuat indera eneg saya bermutasi menjadi geli, sampai apa itu makna dewasa sudah sukses berada di luar kepala alias g ngerti...ora mudeng babar pisan. Edan...biarlah saya mengumpat sepuas saya...toh yang saya umpat lebih pada kegelian dan ketidakmudengan saya. Biarlah saya katai edan...karena jika edan berarti gila...maka biarkan sejenak saya di posisi sakral bagi orang kebanyakan, karena saya cenderung nyaman.
Hanya saja saya mulai merenungkan dari setiap ceramah mereka, tindakan mereka yang sudah berpengalaman itu...ya saya lumayan tahu...ya tahu saja...dibilang juga saya ini lola, lumayan memakan waktu dalam beradaptasi, kata satu dari mereka klo hidup itu ora butuh pinter thok ning yo taktik, celah basa-basi...ya saya tahu itu...sekarangpun coba saya pelajari. lalu di tengah kegersangan saya mencerna, da juga temen yang seidealis, tapi ternyata yoo mirip...edann...apa akal saya ini barang langka..harus dimuseumkankah? ya mereka cukup, cukup diterima di pandangan masyarakat, lha tinggal saya ini, seperti berada di jembatan, batas antara beragam warna. Waktu...dan... dialog dua arah cukup itu yang saya pingin dari yang sudah berpengalaman....jika mereka mensudikan diri bahkan secara tak langsung cenderung memaksa untuk menjadi dosen privat kedewasaan saya...berikanlah 2 hal ituuu saja....
hingga saya tak usahlah menulis seperti ini, dan jika tak begini maka, kunjungan saya buat jalan2 ke RSJ tambah rutin saja.
akhirnya kengeyelan saya lumayan mengalah, mungkinkah sejenak?saya tidak tahu, atau lebih pada tidak mau mikir kesitu dulu...akhirnya saya tampak seperti seakan 'hidup dijalani sajalah'.
climber itu adakalanya lelah..yo tho?? easygoinger lumayan ekoylah. hanya sementara atau kapanlah..biarlah saya merasa dewasa dalam dunia mereka yang sudah berpengalaman ini....

Senin, 18 Mei 2009

Anamnesis

Apa lagi yang kau kejar?
Begitu tanyamu, tepatnya seperti tanya, karena bagiku lebih mirip hujatan.
Tanyamu mengingatkan akan kaki yang tlah kulangkahkan, entah untuk keberapa kali. Mungkin dibanding diriku, kau lebih bisa menghitungnya.
Aku seorang berusia kepala dua, sosok yang memiliki hasrat menggapai asa,sama tak serupa dengan diriku pada usia 9 tahun, kala ku mulai merasai hasrat menggapai cita.
Aku masih ingat kala itu, aku berjalan-jalan sore bersama dengan orang yang terkasih dan kukagumi, mengelilingi pematang sawah yang terhampar luas, bagiku hingga kini bak permadani lembut. Kami bercakap, mulai mengobrolkan pesona hidup. Lalu darinya kutorehkan kesejukan hidup lewat goresan pena.
“Bapak, Re menggambar ini, bagus g?” tanyaku sambil menyodorkan selembar kertas
Beliau menerima gambarku, menamati, lalu tersenyum, “Bagus, kembangkan Re...”
Begitu seterusnya, hingga tanpa jenuh, “Bagus, kau cocok jadi arsitek...”
Darisinilah, aku mulai merasai cita, dalam benakku, berteriak, bersorak. Arsitek?aku akan lebih lama berkesempatan menggambar bersama Bapak, lalu kami akan memperbincangkan gambar proyek kami bersama... Hasratku kala itu cuma bagaimana menjadi arsitek yang disukainya.
Lalu, sejalannya waktu, kumerasa tak punya cita.
Kali ini, ya, aku bicara kali ini saja, sejenak tersadar, bahwa kumulai mengingat kembali pada kaki yang tlah kulangkahkan, entah untuk keberapa kali. Itu karena segala tanyamu, stimulus ingatanku yang tlah terbingkai serak dalam brankas mimpi. Mimpi bagiku adalah kenyataan, begitu sebaliknya memori yang kujadikan mimpi. Mimpi yang terkadang ada kala kita bernafas tanpa merasa.
Tapi kau selalu bilang, bahwa itu kaulakukan tanpa sengja ‘bukan maksudku’
Sekarang rutinitas pengingatan kembali tapak kaki yang tlah lalu itu kian melingkupiku.Aku yang menjebak diri di lingran yang tak bersiku, hingga ku kebingungan mencari celah persembunyian.
Pijakanku, di ranah nyata adalah tamparan yang siap menjelma rangkaian gempa berskala, mungkin dan mungkin saja bisa meremukkan bentukku yang urung juga stabil.
Aku mulai ragu pada bentukku kini, akalku mulai apatis terhadap apa yang menurutku ‘tak masalah’, ‘terserah’ dan’ bukan urusanku’.
Proses pengingatan kembali ini,malah membuat langkahku pasti. Aku tak mengerti tapi darinya akhirnya ku belajar menggali dan mengerti. Meskipun ia bisa menjelma menjadi sebuah gempa

Abjection Vs Abjection

Kau tahu kawan, apa yang sedang aku pikirkan saat ini dan pada detik-detik yang tlah lalu?

Sebuah pemberontakan. Pemberontakan manusia terhadap tatanan, system, kemapanan sebuah pandangan. Abjection……

Saya, memandang realitas, pergulatan prilaku manusia dengan lingkungannya, reaksi individu atas kondisi komunal, yang sebenarnya telah mereka rangkai sendiri. Dan sayapun membaca, buah pikir filosof, pun pemikir yang tak sudi dirinya disebut filosof, entah sastrawan, kyai atau lainnya, tulisan-tulisan yang sarat pemberontakan atas apa yang mereka nilai ’tak begini semestinya’

Kemungkinan, saya melakukan aktivitas menulis adalah sebuah abjection, yang mati-matian memperjuangkan dan membela atas tatanan nilai yang saya yakini, seperti halnya mereka, saya bereaksi terhadap realitas, terhadap bantahan realitas.Abjection vs Abjection

Ayah, kemana Ibu...

“Ayah kemana Ibu?”

“Kan sedang kerja nak, sebentar lagi pulang, adek bobok ya, ntar Ayah dongengin.”

“G mau, adek gak mau bobok, Adek mau dikelonin Ibu.Yah…Kenapa Ibu gak pulang-pulang kan adek kangen Yah…”

“Hem…”

Si Ayah memeluk anaknya, mencoba menenangkan rengekannya. Dilihatnya wajah si anak. Mata kecil anaknya serta merta membulat, gantian menatapnya sambil berkaca-kaca. Genangan air di pelupuk matanya tinggal menunggu detik tertumpah.

Menjelang malam, baginya adalah sama seperti biasanya, rengekan anaknya dan sejumlah Tanya tanpa ia mampu jelaskan, selalu saja dengan jawaban ‘hem’.

Lalu si anak akan tertidur, bukan oleh nina bobok atau dongeng si Ayah, tapi capai, tenaganya terkuras untuk merengek atas penjelasan yang tak tercerahkan.

“Maafkan Ayah nak, Ayah sendiri bingung bagaimana menjelaskan pada anak seusiamu. Tunggulah hingga kau besar,tunggulah waktu yang akan segera kau rasai, kau akan tahu sendiri dari mulut Ibu yang kau rindui.”

***

“Mengertilah mas, bukan masalah kau tak sanggup memberikan nafkah, memuaskan nafsu premierku….”

“Aku hanya butuh aktualisasi diri, kau tahu itu, berkali-kali tlah kubilang padamu…”

“aktualisasi diri?yang bagaimana?seperti apa..sama sekali aku tak paham…”

“ya..aktualisasi diri, mengembangkan potensi diriku, dengan berkarya di luar, merasai hentakan jaman, sama seperti yang kaum kalian tlah lakukan…”

“aku, perempuan dan banyak juga kaumku, juga punya potensi yang sama…mengapa selalu dipermasalahkan, aku hanya ingin kau mengerti, saat masyarakat masih memandang tabu pandangan itu…”

“tapi istriku…anak kita masih kecil, ia tumbuh dan butuh kita, terlebih butuh kau, sebagai Ibu…”

“terlebih?? Mengapa? Selalu saja kau gunakan otoritas itu. So Why? Kau juga Ayahnya? Jangan mengekangku di lingkaran mampat ikatan ini mas…”

“baiklah, terserahmu saja.”

Si suami tak tahu lagi apa yang harus dikatakan, hingga kini masih saja tak paham atas aktualisasi yang terus digaungkan istrinya untuk dimengerti. Benarkah kedudukannya sekarang menyebabkan si Istri tak berkembang? Terkekang dalam lingkaran rutinitas aktifitas domestik? Mengatur keluarganya di rumah, membimbing anaknya, melayaninya, adalah kerja rendahan?Sebuah pekerjaan?

Oh istriku, batin suami secara tulus ingin berteriak

‘Lalu ikatan macam apa yang tlah ku ikrarkan di hadapan penghulu kala itu? Kala cinta dan keyakinan itu masih kukuh kita pegang…Itu adalah ikatan suci, sama halnya dirimu ku juga terikat karena ku mencintaimu, menghargaimu, sebagai belahan jiwaku. Jika dalam proses mengarungi bahtera ini ku mengekang apa yang kau sebut aktualisasi dan potensi dirimu, maka betapa kejam rajutan ikatan ini? Betapa kejamnya diriku yang tlah sukses menabur benih di rahimmu?sekali lagi buah cinta kita? Aku sama sekali tak mengerti, Dengan sebutanmu pada ikatan ini sebagai persundalan hipokrit? Demi Tuhan, kau bukanlah sundal, layaknya pekerja seks, yang ber ML dengan bayaran. ‘

***

Powers of Horror- An Essay on Abjection. Hampir tamat si Istri membaca buah pikir feminis kawakan Bulgaria Julia Kristeva. Ia harus membaca, agar dirinya mengerti dan sadar, ataukah sebagai asupan atas pelarian, atas nuraninya yang kerap berseberangan,atas kesadaran baru yang berusaha ia bangun. Sosok wanita dengan keautentikan dirinya.

Dan pemikiran Kristeva sangatlah dekonstruktif, seperti filosof postmodern yang dikaguminya, Derrida, Faucault. Ia butuh itu.Ya, ia harus butuh.

Ia tak mengerti meski sedikit tahu apa yang ia putuskan lalu lakukan. Bukan pula ia tak tahu kalau dulu ia yang memutuskan dengan sadar untuk menikahi makhluk berbeda gender, merajut ikatan atas nama Agama.

Ia kini berstatus Istri, sama halnya dengan pasangannya yang kini ia sebut Suami. Mengapa Tuhan mencipta makhluk berbeda Gender? Mengapa tak sama saja?hingga nantinya taka kan ada yang menggugat ciptaanMu dan menjadikan alasan siapa atas siapa yang membuat bias Gender. Seperti pula hak dan kewajiban.

Tapi si istri adalah seorang rasionalis. Bukankah sangat rasional kala memandang 2 makhluk berbeda itu sama-sama makhluk, dengan perlakuan pertama sama, potensi sama, lalu bukankah sangat adil membiarkan pertarungan kealamian yamg menilai dan memberi keputusan siapa yang layak diunggulkan sebagai Pemenang?

Faktanya lagi, adalah pertengkaran dan pertengkaran. Selalu saja ia berdebat dengan suaminya, sosok yang selalu menyebut dirinya sahabat hidup, soulmate. Huh, jangan tertipu. Lontaran sebutan yang dijadikan kaumnya otoritas melakukan penekanan. Bukankah wanita adalah makhluk dengan 9 perasaan 1 akal.

Kali ini, baru saja ia sadari, dirinya telah melakukan labelisasi pada perempuan. Perempuan 9 perasaan 1 akal dan sebaliknya bagi laki-laki.

Apa-apaan ini?Tapi jujur dalam nuraninya, bahwa itu yang sering ia temui.

Lalu letak kerasionalan itu? Seharusnya mereka benar-benar sama…

’aki-laki, perempuan, ikatan, hubungan, sahabat, lawan, pertarungan…’

Kata-kata itu membuat untaian lingkaran di benaknya, terus berputar laksana gasing.

Lama ia terpekur. Sejenak dirinya memperoleh pencerahan perihal status perempuan. What, why, How about Women??

Lalu sejenak kemudian dirinya bimbang. Mengapa bimbang jika benaknya sudah tercerahkan oleh pemikiran yang ia gandrungi, pemikiran yang berkoar akan mencerahkan perempuan akan jati dirinya??

Ia hanya ingin menggapai keautentikan dirinya yang lama-lama hilang, tergadai atas nama, agama, keluarga. Ia hanya tak ingin menjadi dasein yang tak menyadari ada, sebagai eksistensi.

Tapi sampai disini, pikirannya mandeg.Lalu menggaung dengan kerasnya. Benarkah begitu adanya?

Bukankah kau sendiri sekarang dasein?kau yang terlanjur memaksa tak percaya eksistensimu, potensimu, keunikan dirimu.

Bukankah kau sendiri unrasional?

Makhluk berbeda Gender itu, yang kau sebut laki-laki dan perempuan adalah makhluk berakal, itu fakta. Sama-sama memiliki potensi hidup, itu juga fakta.

Tapi kau sembunyikan satu hal, kau sembunyikan rapat dalam brankas alam bawah sadarmu. Mereka adalah fakta berbeda realitas. Kau berusaha menyamakan 2 keunikan menjadi satu. Semua untuk cita-cita akan aktualisasi diri dan pengembangan potensi, bakat diri?atau kebebasan diri?

Bukankah rasional sekarang, menilik empirismu, empiris kaummu, tanpa terlebih dulu berembel-embel syak, tanpa terlebih dulu menstandarkan pada pandangan tertentu. Bukankah mereka punya keunikan berbeda. Keunikan yang menyebabkan mereka 2 kekhasan yang berbeda, keunikan yang butuh penanganan berbeda,

meski sama-sama makhluk. Pencerahan apa yang kau maksud? Keadaan status kaummu dan kaum maskulin itu telah tercerahkan sejak sebelum orok bukan?

Pencerahan apa? Ketertindasan bagaimana? Bukankah itu baru muncul bukan karena kekhasan ini? Hanya kepicikan pikir dan tingkah manusia yang kurang memahami penyikapan kekhasan ini? Semua karena kestandartan materi yang oleh manusia sendiri bukan?

Itulah mengapa, solusimu menyebabkan kebimbangan dirimu sendiri? Dalam kasus hidupmu hanya dirimu? Lalu bagaimana jika kasus individu ini berkerumun menjadi persoalan komunal? Kekacauan atas nama perjuangan akan pencerahan??

***

Dua makhluk berbeda gender itu terpekur, berbeda setting mereka menatap large window, menatap pada arah yang sama. Pandangan jauh di depan mata mereka. Sebuah rumah mungil, berpenghunikan sebuah keluarga. Tak pernah didengarnya keributan, piring melayang, Sebuah keluarga, seorang istri, seorang suami, anak-anak yang lucu, berkembang karena kerjasama dan kasih mereka. Mereka tak mendebat, karena memahami posisi, hak dan kewajiban satu sama lain. Pertarungan, tak ada pertarungan, pertarungan yang menyebabkan tersebutnya lawan. Ikatan mereka adalah ikatan suci, menyucikan diri, memanusiakan 2 makhluk itu. Dengannya akan jelas keturunan dan nasab. Tentu ini semua bernilai, tapi bukan selalu yang kasat mata, ada nilai yang timbul karena keyakinan, karena memang itulah nilai sejati, nilai yang senantiasa membuat keoptimisan. Ridho Ilahi, Dzat pemilik jiwaraga makhlukNya,dzat yang terlalu enggan diingat manusia kala menjalani bahtera hidup.

Bukankah itu sangat rasional? Keadilan dan kesetaraan tak harus dengan menyamaratakan yang seharusnya memang berbeda bukan?

Ikatan yang dirajut karena mengerti dan kepahaman bukankah sangat indah rajutannya?

Kamis, 14 Mei 2009

Cuap-Cuap

Aku Kangeen banget ma dikauuuu...
Abis re kok g nyadar-nyadar....
NYADAR REEEEE....NYADAR!!!
Doain re cepetan SADAR!!!
Diamond Dust aku kangeeennn....:/

Rabu, 29 April 2009


Pelataran TBS kala sore

Filosofi Malam

Hening.Sesekali suara jangkrik bernyanyi mengisi sunyi.Gelap,hening dan…jangkrik, perpaduan unik Lama kuterpekur begitu juga dengan dia,perempuan yang duduk di depanku, parasnya ayu,seayu pikirannya yang tlah lama kukagumi. Sedari tadi mimiknya sama,matanya terpejam dengan tubuh berselanjar kebelakang, tapi kutahu ia tidak tidur, begitulah caranya menikmati malam,menekurinya dibalik gelapnya pandangan. Dan aku menikmati malam dengan menikmati tingkahnya. Tak jemu, baginya nikmatnya Suasana malam adalah meresapi hingga keheningan sejati terasakan, bagiku dialah pesona malam.

Apa kau percaya nilai In?tanyaku pelan,mencoba mengusik meditasinya perlahan.Tak bergeming, tetap terpejam, hanya sunggingan yang menandakan ia menyimak ucapanku.

Maksudmu?

Maksudku kepatuhan manusia terhadap nilai yang sudah ada.Bukankah nilai telah ada tanpa persetujuan kita?lantas, mengapa kita harus tunduk?Toh, bisa jadi kita punya patokan nilai atau bahkan nilai itu sendiri?

Re,mengapa harus ada nilai?apakah kau butuh itu setidaknya untuk hidup?tanyanya datar, kali ini dengan mata terbuka.
Nilai itu ada karena dibutuhkan, kebutuhan itu ada karena keyakinan, keyakinan adalah percaya.lanjutnya,

aku sudah bisa menebak tipe jawabannya, tapi itu yang membuatku suka dan tak jemu berdiskusi dengannya, bukan tipe penjustifikasi apalagi pendoktrin.

Lalu seperti diskusi kami yang sudah-sudah, aku akan lama bergeming, memahami maksudnya. Biasalah, otakku terlalu lemot mencerna struktur kalimatnya yang unik.

Lalu nilai mana yang kau persoalkan?terlalu banyak nilai dan penilaian bukan? Tatapnya tajam kearahku, seperti silet yang siap merobek tirai keraguan tanyaku
Iya ya, nilai yang mana, terlalu banyak ambiguitas patokan nilai yang kulalui, hingga tak kuingat detail yang mana, batinku ragu.

Sejenak, kutatap bola matanya,sorot matanya tak setajam tadi, lebih teduh. Sepertinya, ya sepertinya lagi ia tahu segala kegelisahanku.

Nilai, tanpa persetujuan kitapun akan tetap ada Re, sejauh apapun penolakan kita. Terkadang permasalahannya bukan pada nilainya tapi patokan, sign yang dijadikan patokan manusia.

Ehm....mungkin.Patokan, patokan yang menyebabkan ketertindasan akan siapa yang melanggarnya, dominasi manusia terhadap yang lainnya. Aku menimpali
Ia tersenyum, entah apa makna senyumnya. Sahabat diskusi yang satu ini susah kutebak, meski beberapa sisi dirinya sangat kupahami.

Yaaah...begitulah Reeee. Mumet klo bicara makhluk yang namanya manusia!
Whuam...katanya sambil menguap, lalu meregangkan tangannya keatas, seolah selesai hibernasi
Namanya juga terbatas, keterbatasannyalah yang sering membuat ambigu patokan nilai yang dibikin misalnya....

Demokrasi yang batasannya sendiri ambigu, makna hak asasi yang dibuat dan digunakan seenak udel siapa yang ngomong, atau nilai kesopanan berpakaian terkait pornoaksi yang masih jadi pertentangan kanan kiri
Celetukku mencoba menggenapi ucapannya

Hemm....makanya tadi kutanya Nilai yang mana, tergantung... ia kembali merebahkan badannya kebelakang, memejamkan matanya, kembali bermeditasi bersama malam, lalu aku akan asik menatapnya, sambil berfilosofi.

Hihi...aku geli. Filosofi, sok menjadi filosof. Filsafat bikin puyeng. Tapi bukankah itu yang setiap kali kulakukan, bahkan diskusikupun sering mempertanyakan suatu yang telah mapan, dimulai dari mempertanyakan keraguan, lalu berpikir penyelesaian. Yah jika bisa selesai dan terbantu menyelesaikan. Payahnya jika sebaliknya, maka kau akan terjebak dan tersedot lubang hitam keraguan, sejenak bahkan mungkin selamanya. Ngeri...

Maka sekali lagi kupandangi sosok di depanku, Sahabatku. In, cukup aku memanggilnya In, seperti pula cukup ia memanggilku Re. Ya... katanya namaku kepanjangan, jadi Ia memotong sepenggal kata di nama keretaku. Katanya Re lebih keren, Re bisa berarti kembali, bisa juga dewa mitologi Jepang, Dewa matahari, Dewa Re. Katanya lagi, seperti keraguan dan keingintahuanku yang menyala besar laksana matahari, tapi tak selalu membakar karena akan Kembali dingin, sedingin Bulan. Ah In, penggambaranmu aneh, pembandingan yang tak sebanding. Matahari dan Bulan, siang dan malam.
Jangan lupa Re, baik siang dan malam, tetaplah sama, berbeda warna, terang dan gelap samar, Bulan dikenal karena sinarnya di malam hari, tapi itu hanya pendaran sinar matahari yang tertangkap banyak mata di planet biru ini. Mereka satu kesatuan. Seperti bara yang kan selalu ada dalam keingintahuan, kekritisan manusia selama manusia itu tak menjelma menjadi makhluk stagnan, lalu mereda sebanding proses yang dijalaninya. Ia adalah sistem, maka pengetahuan dan ilmu itu terus ada.

Ah In, sejauh mana kau ingin menyelamiku?terkadang ketajaman pisau analisismu sukses menelanjangiku. Hingga aku me re-pikirkan keraguanku yang terkadang tak beralasan. Lalu kau akan bilang Perlukah selalu ada alasan atas pertanyaan? Itu wajar Re, suatu saat kau akan sering menemui pertanyaan, pertanyaan keraguanmu yang lebih mirip lompatan. Semacam spontanitas, spontanitas terhadap realitas.

Kupandangi Langit malam yang tak mutlak hitam, entah perpaduan biru hitam atau hijau hitam, yang penting tak hitam kelam.. Penilaian manusia nisbi jika sign itu sendiri juga nisbi. Selama itu pula aku berpendapat sangat wajar mempertanyakan, mencoba apatis bukankah melatih kekritisan?

Lalu dimanakah kemutlakan itu In? Tanyaku tiba-tiba
Nisbi pada yang nisbi mutlak pada yang mutlak. Jawabnya singkat tanpa titik, tapi itu cukup membuatku tak segera melanjutkan tanya lagi.
Lucu juga ya diumur kami yang tak terlampau jauh berbeda....Ia seperti Sensei bagiku, kalo berdiskusi akulah yang selalu banyak tanya. Selain karena ingin banyak paham juga menghindari tanyanya yang cukup membuat dahi mengernyit. Jujur aku tak ingin terlampau cepat tampak tua, banyak kerutan di dahi bagiku mirip keriput nenekku.

Nah siapa yang mutlak itu Re? tiba-tiba ia bertanya
Suatu yang tak ada kemutlakan diatasnya, bukan seperti langit yang berlapis-lapis
Lu kate kue lapis?tanyanya banyol
Hehe..kami tertawa kecil

Ia, entah dzatnya seperti apa,seperti katamu...tak ada kemutlakan diatasnya, Ia yang tak bisa melihat sesamanya, Ada dengan sendirinya, tak berawal dan berakhir

Yang jelas bukan manusia dong...

Lalu...entah manusia, tumbuhan, Jin, hewan yang jelas..tentulah suatu itu bukan Makhluk.

Ya...

Nilai..nilai..Daripada ngitung berapa banyak nilai mending dikau tanya mengapa nilai itu ada Reee...

Nggak ah..ngantuk

Mo turun?tanyanya sambil menguap lagi

Ya iyalah...masak tidur di atap....Yang bener aja Loe. Aku g kebal malu In, klo ntar kepergok trus sialnya disangka maling...Malulah aku
Apa kata dunia

Sebelum langkah terakhir meninggalkan tempat favorit kami berkontemplasi, kupandangi langit, kuresapi malam, malam yang tenang menghanyutkan, mencambuk jiwa yang gemar berpetualang,...mencari dan terus mnecari menggenapi makna eksistensi diri. Kaulah filosofi malamku In, sepertinya aku harus berlatih lebih banyak memahami hidup sepertimu.

G bisa tidur, daripada bengong

Selasa, 17 Februari 2009

Jumat, 13 Februari 2009

Dunia Baru

"Siapa sebenarnya yang akan kau matikan"
"Apa maksudmu kawan?aku sedang tidak berusaha mematikan apapun."
"Bohong!kau bohong"
"Aku tak bohong padamu kawan"
"Tentu saja kau berbohong!!Kau sedang berbohong pada dirimu sendiri"
Glekk. panas dingin seketika.......
"Hei!mau kemana kamu? Kau belum jawab tanyaku. Mungkinkah yang kukatakan itu benar?"
Cuih. akhirnya ludah ini keluar juga, setelah beberapa detik terpenjara di tenggorokan, berlomba dengan degup jantung yang meledak-ledak
"aku mau pergi, terserah pikiran kalian, kalian sudah memframe diriku dari aku masuk ke kotak ini"
"aku akan pergi cari jawabnya...di dunia baru"
Seuntai senyuman, seraut wajah, pandangan terakhir, tolehan terakhir, kabur hingga semuanya sirna...hanya teriakannya yang terngiang, hingga tak jelas, lalu tak kupusingkan

Dulu, ada Asa dan keyakinan, ah tidak tapi keyakinan yang melahirkan asa, lalu menjelma menjadi kedinamisan, berlangkah indah, berkata indah, berteriak indah, dalam kotak yang suaranya menggema. Iyah, dalam kotak saja
Yakin, asa, dan langkah yang indah adalah jiwaku. Meraka JIWAKU!!Mengapa kalian coba ganggu, ia tetap jiwaku!tak mungkin aku bunuh apa yang menjelma menajdi JIWAKU!
Panas dingin. peluh bercucuran, berlomba dengan denyut jantung yang tak karuan
lalu langkah kumundurkan.....berapa kilo joule kukerahkan untuk berhadapan dengan mereka...lagi,saat yang seharusnya telah cepat menjadi memori
yang akan kubingkai sebagai kepingan mozaik
"Oh iya, aku tidak mematikan mereka, kawan. Aku bukanlah pembunuh"
"asa, yakin itu tetap ada disini, di tempat yang kutaktahu tepatnya, tapi kumerasa"
(sambil kudekap dadaku)
Mereka berpandangan
"Asa, yakin dan kedinamisan yang lahir sudah terpatri dalam jiwaku, dari kumulai bisa merasa keberadaanku, dan mengatakan kalian itulah manusia, seperti juga aku, dan kitalah makhluk terbodoh"
"Lalu kenapa?kenapa kau mau ke dunia baru?"
"sensasikah?kau cari petualangan baru?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak"
"selama masih ada asa , yakin, maka kedinamisan itu pasti ada, itu sebuah keyakinan, langkahku di dunia baru"
"hanya saja wajah-wajah yang kutemui bukan wajah kalian lagi...''
"Kenapa? kenapa kau begitu sempit?apa segitu isi brankas otakmu hingga kau nekat berpindah ke dunia baru?dunia yang kau sendiri tak jelas tahu!!"
"Ini pilihanku, keyakinanku, hanya aku dan kau butuh keberanian, ketetapan. Karena aku belum settle kawan, tidak seperti kalian yang telah terbingkai..."
"aku adalah sisi yang lepas, tak terbingkai tapi jg tak bebas terbatas..."
"Biarkan kawan, biar kumelangkah dan hirup udara di luar dunia, kotak agung kita. Aku yakin jiwa ini akan menemukan tempatnya, langkahnya. Masih ada udara di atmosfir dunia baru itu"
"atau mungkin juga disana kotak yang sama....sama-sama kotak??"

Selasa, 27 Januari 2009

Aku memang tak ingin Menjadi KOTAK!!

Aku memang tak ingin menjadi kotak, kotak seperti bahasan yang telah lalu kuulas bersama temanku di pertengahan malam menjelang pagi.
Kotak adalah trimatra geometris, kehadirannya mengesankan kekakuan, sebuah muasal cibiran dan berontak kaum dekonstruksi.
Menjadi kotak bukanlah keharusan, ia adalah pilihan yang terkadang tak sadar memaksa manusia melakoninya.sungguh ironis...
Menjadi kotak adalah sebuah alasan mengapa orang terlampau tak tertarik ataukah takut memahami sesuatu , meyakini dan kemudian memperjuangkan sesutu yang diyakininya. Karena tak tertarik ataukah takut dirinya akan terbentuk menjadi kotak, sehingga tak bebas memandang ke luar kotak yang menawarkan berjuta kebebasan pandangan nisbi.
Sungguh aku adalah kategori manusia yang tak sudi tinggal di sudut kotak yang gelap. Gelap akan keterbukaan cahaya yang bisa berasal dari sudut mana saja.Lalu aku harus dimana?Jika kumenolak meyakini sehingga aku akan memihak sesuatu itu, maka dimana letakku. Jika lagi, kumenolak tinggal di sudut kotak, maka apakah aku juga akan nyaman tinggal di luar kotak dengan beragam kontroversi yang ada, karena kebebasan yang memang dicipta, membuatnya sulit menerima sebuah kebenaran mutlak.
Lamat kupikir , yang akhirnya berujung membahas eksistensi diri, sesuatu poin utama yang menurutku terlampau penting untuk harus diketemukan. Lalu bukankah tinggal di luar kotak adalah tinggal di kotak yang lain??. Maka semua adalah penjara keterasingan bukan??
Lalu dimanakah tempatku, orang yang tak sudi meyakini keberpihakan?
Lalu kutanya lagi? Apakah terlalu sulit menerima sesuatu keyakinan? Lalu apakah sulit menerima sebuah ikatan keberpihakan?apakah tak bisa berjuang tanpa keberpihakan?
Sampai kemudian lemat terjawab erti keyakinan dan keberpihakan, dua frase yang harusnya tak terpisahkan?
Menurut empirisku, keberpihakan adalah sebuah keniscayaan, sama niscayanya akan adanya perubahan. Sama niscayanya pada kehidupan yang tak stagnan. Aku pikir semua ideologi yang sekarang ini baru kutemukan 3 jenis, mulai dari sosialis, islam dan kapitalis, memandang perubahan bukanlah hal yang utopis hanya saja bisa jadi sesuatu momok bagi eksistensi satu dengan lainnya. Lalu untuk perubahan butuh sebuah keyakinan untuk merubah, merubah yang kita yakin akan mengarah pada kebaikan bagi semua. Bukankah dari sini saja, sudah timbul keberpihakan.
Keberpihakan yang akan menempatkan diri pada warna kotak yang kita pilih, sejelas dan seterang apa di dalam kotak bukankah tergantung cara kita mamandang dan membawa dian didalamnya?
Lemat kuberpikir lagi... jika diasumsikan semua kotak adalah wadah, tak ada satupun kecuali bukan wadah, dimana wadah adalah tempat kita bertingkah, berpolah maka bukankah seharusnya dan semaunya kita bertempat di kotak
Hanya.......................
Kotak adalah pengertian lain selain wadah...karena berarti wadah dan keberpihakan kita untuk bertingkah dan berpolah tidaklah salah, wajar adanya.
Kotak lebih pada sikap manusia yang menempati kotak, ketika dia masuk dan memilih kotak tanpa pikir panjang, hanya karena nyaman, hanya karena untung rugi, hanyas karena tak mau membawa dian sehingga membuatnya susah meraba keindahan tiap sisi kotak dan penghuninya, segala yang ada.
Itu saja aku pikir,. Tak lebih. Maka ketakutan berpihak dan berjuang pada apa yang diyakininya itu tak wajar.Asal bagaiman si penghuni kotak bisa menempatkan diri sewajarnya, tak usahlah terlalu XL.

Journey

Dulu aq sering berpikir bagaimana jika,
Sekarang aq mulai sibuk berpikir bagaimana seharusnya...
Antara dulu dan sekarang adalah rantaian mozaik yang kubingkai dalam brankas otakku
Ia adalah sebuah perjalanan kontemplasi atas realitas yang menyuguhkan pengalaman berharga bagi yang lapang menerima
Kehilangan adalah kata berharga untuk direalisasikan, kepahitan adalah cara berharga untuk menikmati manis
Dari kehilangan aq belajar untuk mencintai apa yang kupunyai, dengannya aq belajar untuk memegang sesuatu dengan sepantasnya
Kehilangan, kepahitan hidup tidak mesti berantonim dengan kebahagiaan, justru dari sanalah terkadang kebahagiaan abadi aq peroleh
Itulah caraku menikmati mozaik yang telah kutata, terbingkai mesti belum selesai
Langkahku dalam memori, untuk terus kuhadirkan, menjadikannya pelajaran pada langkah yang kesekian. Derap langkah yang banyak bukankah akan menjadikan perjalanan kontemplasi semakin mengasikkan...
Aq bukanlah sufi atau orang yang suka bersemedi..
Karena aku bukan lagi sesuatu yang selalu berumus bagaimana jika, hingga langkahnya tersendat pada apatis pikir, kontemplasiku nyata, terindra, karena ia adalah jawaban realitas yang akan kujalani...
Yang akan terus kuhadirkan, kesadaran pikir yang telah lama meredup, tercecer dalam brankas otak yang tak tertata ,
Lalu...dalam waktu antara dulu dan sekarang
Adalah bagaimana pikir dan jiwa terbentuk hingga menjadi sosok terbarukan selanjutnya, terus begitu...... hingga tiba masanya akan sampai pada penghentian langkah nyata untuk keabadian yang dinantikan atau banyak ditakutkan sesuatu itu??
Sekarang... aku masih belum utuh sebagai sesuatu yang berproses pastinya
Hanya saja semakin saja kumerasakan kehilangan lalu memiliki kehilangan, kepahitan lalu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan yang merajuk untuk mendapat kepuasan selanjutnya.
Aq akan terus berproses menjadi sesuatu yang melakukan perjalanan kontemplasi atas realitas yang terus terjadi dengan kesadaran yang coba terus kuhadirkan hingga aku akan mendapat lagi serpihan mozaik yang belum selesai kutata. Mozaik yang berharga bukan?
Benar kata orang dan aku turut mengiyakan bahwa pengalaman adalah guru berharga, mengajari bagi yang mau dajari, memberi bagi yang mau diberi.
Ia hanyalah sebatas guru yang terbatas memberi, mengajari tanpa andil menentukan bentuk kita, karena kitalah yang menentukan bentuk kita sendiri
Sutradara yang jauh dari terbatasnya penglihatan manusia memiliki kewenangan Maha untuk mengawasi dan menunggu di hari keabadian para pemain parodi dunia......
darinya aq belajar untuk semakin memahami hakikat diri dalam waktu dulu, sekarang dan juga antara dulu dan sekarang...
darinya diri akan menemukan bentuk selanjutnya...

Andai kumampu mencintai REVOLUSI

Seandainya aku mampu mencintai revolusi maka akan kunikahi revolusi
Revolusi bagiku adalah sebuah frase yang terlalu banyak dikoarkan
Hingga terlalu indah dipraktekan
Ia ada di benak para pemikir, para petinggi, pada manusia yang mengazamkan dirinya revolter yang lagi kerepaotan mencari kader
Ia terkungkung pada wacana diskusi yang berbunga kontroversi disana sini.
Hingga revolusi bersama menjadi kian tak jelas
Warna revolusi adalah warna pelangi
Warna yang kasat mata mengaburkan spektrum sesungguhnya
Maka revolusi bagiku adalah sebatas muntahan kemumetan akan realitas yang tak kunjung retas.
Realitas yang semakin bebal akan solusi yang terus ditawarkan para manusia yang mengaku revolter itu.
Cibiran adalah bunga penghargaan bagi kami, revolter jalanan.kala itu kubangga sekali, hingga bunga yang tak kalah anyir dari bunga bangkai itupun kucium taklim.
Maka seandainya ku mampu mencintai revolusi akan kupeluk dan tak kan kulepaskan hingga kematian memisahkan kami.
Karena bukankah aku dan revolusi ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan mati. Karena jiwa dan ruh kami menyatu hingga hari penghabisan itu tiba. Karena akulah revolter jalanan yang menyusuri gelapnya perjalanan.
Sayangnya, lama-lama kujenuh dengannya hingga kembali ke baris dua tulisanku, sebuah kalimat kejam kutuliskan dengan geram.
Revolusi adalah hanya sebuah frase yang banyak dikorkan tanpa kucoba terjemahkan bagi mereka yang ingin melahapnya dengan sangat.
Semangatku adalah semangat pragmatis yang membuahkan apatis atas reaksi kemumetanku melihat realitas yang begitu bebal untuk direkonstruksi......
Hingga semuanya menjadi bebal bagiku
Maka aku memutuskan bercerai dengan revolusi, sesuatu yang belum tentu sanggup untuk kunikahi. Sesuatu yang menjadi tandinganku
Karena telah ada seorang pangeran yang lebih memilih menikahi revolusi dibanding perempuan yang belum cocok bersanding dengannya...that’s me?
Bukan...lantas bukan karena cemburu..
Hanya saja revolusi yang kukenal semakin abu-abu. Membuatku terlampau miris meneriakkannya lantang.
Beginikah wajah abu-abu revolusi yang gigih kupegang?
Lalu Mengapa aku akan bagaimana?sebuah pertanyaan mengapa dan bagaimana adalah penggantinya dikala kurindu, untuk terus kuingat dan kurasa arti kestagnanan, kondisi yang kupilih karena......
Ternyata kugagal mencintai revolusi...


Halah....re, ngapain sih loe..
Ke laut ajalah??tak ada revolusi berarti permulaan sekaratul maut bagi jiwa seorang revolter......
Seperti dirimu? Ah benarkah??yang bener aja loe....

Kehilangan

Ah gila nih nasib, kalau menghitung berapa kali kehilangan maka niscaya akan sulit terhitung…karena apa?karena aq dah lupa mulai dari kehilangan pensil, celana, sampai kehilangan orang yang kita sayangi yang kita koar-koarkan dengan sebuah kepalan tangan bahwa kita yakin, kitalah yang paling mencintainya, yang lain gak akan sanggup menandingi sayang kita padanya.
Makanya aq ngatain gila nih nasib, aq kehilangan untuk yang kesekian kalinya dan berturut-turut disaat aku mulai untuk mencintai apa yang kumiliki, lalu dihilangkan begitu saja. Sakit hati ini, kecewa hingga terbesit menghilangkan diri adalah usul akalku yang sudah sekian kali.
Aku harus berteriak, maka aq pergi saja ke sawah tempat yang jadi favoritku menumpahkan kekecewaanku entah pada siapa..hingga masih saja kuteriakkan nasib yang salah, yang sial yang tak mau diajak kompromi
Lalu aku berlari, maka aq berlari saja dengan tidur atau kesibukan untuk hengkang sejenak dari realita
Lalu akhirnya aku kelelahan, dan kuputuskan untuk diam saja, biar orang mengolokku orang yang apatis tak jelas, tapi diam adalah bentuk protesku atas kesialan nasibku..
Selalu saja kusalahkan nasib, memang demikian, habisnya...aku mau menyalahkan siapa selain nasib?
Tuhan adalah entitas sakral yang terlampau takut untuk kusalahkan
Tapi Diapun tahu apa yang kukecewakan, sakit di hati dan yang terpenting adalah siapa sebenarnya yang kupersalahkan? Karena sesuatu itu adalah sesuatu yang telah tahu segala yang akan terjadi, termasuk menghilangkan sesuatu yang kucintai
Sumpah, meskipun ada kewajiban ibadah, aku tetap menjalankan di tengah kegeramanku, keduanya berjalanan beriringan bagaikan iblis dan malaikat yang bekerjasama ...tapi memang akhirnya nihil karen diakui atau tidak kemaksiatan dan kebenaran tak akan berjalan beriringan, percaya deh, nih hasil empirisku...
Terus saja kedongkolan hati tak kuasa kumampatkan dengan keikhlasan yang banyak orang sarankan..ah ikhlas, sabar adalah kata-kata yang terlalu indah untuk dipraktekkan. Aku sadar siapa yang kutantang untuk memberi jawaban atas kehendak yang ia putuskan pada hidupku dan hidup orang yang kucintai, ketakutan mulai merayap dalam hati kecilku...
Atas dasar apa aku marah... hati kecilku berkata lirih berbisik”bukankah orang yang kau cintai segala yang kau miliki termasuk dirimu adalah milik Tuhan?” dan bisikan itu terus merajuk minta tempat kontemplasi dalam benakku..meski kutepis berkali-kali
Dan akhirnya pengalaman adalah penjabaran yang sempurna atas apa yang kugelisahkan atas cinta yang kukoarkan pada orang yang kucintai. Atsa semuanya...dan semuanya berbalik menyeringai kepadaku geram, memberi pelajaran hingga aku terjungkal dalam sebuah kotak keterbatasan.
Kenapa Tuhan tak juga menimpakan azab petaka padaku adalah pertanyaan yang belum juga terjawab. Mungkin juga realitas yang sekarang dan nanti berjalan adalah sebuah pembelajaran berharga dariNya, entitas yang kutantang untuk menjawab segala apa yang telah Ia putuskan?
Aku merasa dan akhirnya menyadari sesuatu, bukan Dia yang menjawab langsung , tapi hanya memberi stimulus kepadaku untuk berkontemplasi lagi, menyuruhku hingga dengan ikhlas mau dan mampu menjawab kehilanganku, kegetiran yang menyisakan kegelisahan?
Hingga belum pada akhirnya...
Aku menyadari betapa kehilangan adalah sebuah pembelajaran untuk mengikhlaskan, untuk tidak egois mengkoarkan yang paling memiliki dan mencintai...karena ternyata aq terbatas dan kita, manusia adalah terbatas pada massa dan waktu. Kehilangan adalah bentuk dari keindahan kehidupan untuk kita berkontemplasi menemukan dibalik kehidupan, adalah Sang Maha yang selalu mencintai aq, dan apa yang kita cintai jauh dari apa yang bisa kita beri, rasa cinta yang kita miliki..
Adalah aq atau orang yang menantang dan akhirnya bersedia menjawab tantangannya sendiri..
Tantangan untuk menjawab segala yang kita anggap sebuah masalah atau momok atau nasib yang dianggap kesialan, pelarian yang tak menyelesaikan masalah.

Sebuah tantangan untuk berpikir sebelum bertindak dan memikirkan kembali apa yang telah ditindak untuk melangkah lagi, bukan lari ke belakang atau menyalahkan sesuatu yang belum tentu salah, bukan melangkah pada sesuatu yang telah kita anggap sesuai dari kedangkalan pikir yang masih terintimidasi oleh persaan yang ciut.
Kehilangan akhirnya menjadikanku mencintai apa yang yang menjadikannya hilang, apa yang menguasainya hingga ia hilang, apa yang menguasai realitas yang terus melingkupiku. Dari sesuatu itu aku belajar memiliki kehilangan.