Jumat, 21 November 2008

Ora Nggenah...


Itulah ungkapan yang saya rasa lebih mirip umpatan, lontaran suara dalam hati ketika saya nimbrung di suatu ajang diskusi antar gerakan di sebuah kampus swasta. Judul diskusinya lupa-lupa inget, intinya kajian wacana perjuangan menuju tegaknya Khilafah di era sekarang. Saya yang waktu itu datang malu-malu bersama teman saya yang bongsornya minta ampun, langsung menjadi sorotan teman-teman gerakan lain. Maklum kami satu-satunya yang mengopinikan gagasan perlunya perjuangan penegakan syariat dengan institusinya Khilafah. Dari awal kami sudah bisa menebak arahan diskusi ini. Bagi kami tak masalah, asal sudah puas menyuarakan apa yang menjadi idealisme kami, tentunya saya berusaha mengatur retorika secantik mungkin, sebuah problem kebiasaan he2. Semua perwakilan gerakan mulai memaparkan statemennya. Kalau dari GEMA sudah terlalu biasa di telinga saya,tapi kemudian telinga saya tergelitik dengan opini dari satu temen mitra. Keren sekali mereka, unik, lucu. Mendengar statemen mereka membuat saya merasa sedang mempelajari bangunan eklektik, atau mempelajari kawin silang antara kebo ma kambing. Statemennya gado-gado, semakin mengingatkan saya pada konsep dekonstruksinya Derrida. Lama-lama saya banyak mendengar opini para temen mitra,seragam meski beda kotak. Tanggapan mereka terhadap konsep perjuangan (dalam artian pemikiran dan metode pelaksanaan perjuangan islam ) cukup unik. Ada yang malu-malu kucing, ada yang bikin formula abu-abu, dan ada satu lagi yang lebih unik, ya itu tadi membuatnya seperti ngawinin paksa kebo ma kambing gara-gara siempunya merasa klo mereka (kambing ma kebo)sama-sama mamalia, punya 4 kaki, tak ada salahnya dicoba dikawinin.

Ada si mas cute-cute berlomba dengan peserta lain mengacungkan tangannya, mencoba keberuntungan buat ditunjuk ma moderatornya ,akhirnya berkesempatan juga menjelaskan tentang unek-eneknya selama ini, Dengan cool ia memaparkan tentang perlunya memperjuangkan islam apalagi di era sekarang yang makin amburadul. Wah saya terkesima, manggut-manggut, merasa punya temen satu rasa, satu pemikiran meski beda kotak. Si masnya yang cute melanjutkan pemaparannya,”Semua perlu untuk diperjuangkan, semua ideologi. Yah…seperti bung karno dengan konsep NASAKOMnya,……”

Gubrak, saya merinding. Kekaguman saya luntur seketika, sebenernya waktu itu saya langsung pengen ngomong ma masnya“Permisi mas, maaf sebelumnya,mas tu sebenernya goblok apa stres sih, jelas2 tuh ideologi beda2, artinya punya pemikiran dan metode yang khas, enak aja ngawinin silang, klo stres tuh pake mikir doong jangan malu-maluin gini,” tapi kemudian niatan tersebut saya urungkan, saya merasa kok kurang pantas, untunglah ada sohib saya bongsor mengingatkan. Saya tak tahu apa jadinya jika tak ada yang mengingatkan. Bisa menambah daftar panjang perbuatan memalukan saya. Ah mungkin masnya kurang paham dengan pengertian ideologi. Sampai disini, memang perlu ditekankan ketika akan memulai diskusi, kesepakatan antara sebuah kata, jika tidak yah nantinya malah jadi debat kusir, debat mencari pembenaran bukan kebenaran. Suatu ketika saya pernah terkagetkan dengan opini seorang aktivis yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah ukhuwah islamiah, itu sama saja saya menyebut pisang goreng adalah sandal jepit, mau loe??walah2…

Sebenarnya apa yang diungkapkan masnya cute2 bukan sebuah wacana yang asing, hanya saja yang mengagetkan saya hal tersebut sudah mewabah di kalangan yang dikenal dengan plat aktivis dakwah. Saya pernah membaca konsep kawin silang nggak nggenah itu di Teologi Pembebasannya Michael Lowy. Dia mencoba mewacanakan dan melumrahkan keterkaitan antara ajaran Kristus dengan sosialismenya Marx. Sebenernya lumrah, bagi ajaran yang tidak punya pemikiran yang jelas dan ketiadaan metode dalam membumikan pemikirannya. Maka ia melihat sebuah peluang pada pemikiran seorang tokoh, mungkin si Michael lagi terkagum pada konsep sosialimenya Marx yang mirip dan bisa disamakan dengan ajaran Kristus. Akhirnya jadilah gado2, Ajaran Kristus yang sosialis. Mungkin nantinya bisa saja ada ungkapan’ islam sosialis’ atau ‘sosialime Islam’atau ‘komunis yang islami’ atau ‘atheis yang sholeh’ atau lagi sebutan Kyai Karl marx, Syekh Che Guevara. Walah….

Padahal, tidak ada gado2 yang seenak Warungnya Bu warni, itu kata saya. Maksudnya? Artinya menggado-gadokan ideologi, sesuatu yang telah pasti berbeda, malah akan mematikan ideologi itu sendiri. Percaya deh, meskipun saya berhusnudzan masnya berniat ikhlas dalam memperjuangkan konsep ini, tetap saja akan semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu perjuangan dalam membangkitkan masyarakat. Terakhir, untuk masnya cute2 atau penggila konsep teologi pembebasan , udahlah insaf, mendingan kita makan gado2 beneran di warungnya Bu Warni, re jamin ashoylah rasanya. J

Detik Pencerahan

Detik Pencerahan (memoar seorang saya)

Detik-detik kegilaan…

Yah, saya merasa waras kok! Saya berteriak berteriak berkali-kali , meyakinkan klo diri saya waras. Buktinya saya masih bisa mengindra kemudian memikirkan siapa saya dan lagi dimana. Tapi lagi-lagi saya tidak puas, saya tetap merasa GILA!perasaan macam apa ini?!Sialan!umpat saya berkali-kali sambil memelototi sebuah wajah di depan cermin yang semakin lama tak semakin terlihat ayu, memuakkan malah. Wajah seorang looser!tangan saya mengelus wajah saya yang mirip perbukitan terjal. Aduw!!tak sengaja salah satu gunung merapi di wajah saya tercakar,perih!lalu sayapun tersenyum simpul, yah ini rasanya perih, berarti saya masih bisa merasa, Hore!saya waras, saya masih waras!! Teriak saya diiringi wajah-wajah bengong teman2. Lalu merekapun acuh sambil mengucap “Gila loe re teriak 2!nggak waras loe!”, mendadak kepedean dan kebanggaan yang terbangun runtuh seketika, berarti saya masih gila??

Klimaks….

Mengapa mereka menyebutku gila?saya menceracau di dekat kali sambil mancing, Plung!kail pancing terjatuh dengan kasar. Saya tak tahan lagi!suara saya terdengar serak basahnya pingkan mambo, Baiklah saya akan akhiri semua ini. Tiba-tiba warna air kali yang tadinya mirip warna tai kebo berubah warna, menjadi biru berkilauan, aroma segar menyeruak menembus syaraf otak yang tak terkendali. Apakah ini jawabnya! Lalu sebuah badan terjun bebas ke kali, tak bergerak ,mengambang pergi terbawa arus…..

Plak!!ah ternyata cuman mimpi. Keringat dingin mengucur ringan dari ubun-ubun, meleleri wajah seorang saya. Naudzubillah! Bunuh diri?bukankah itu tadi mimpi seorang apatis yang bunuh diri? Dan tokohnya saya sendiri?bulu kuduk saya tiba-tiba meremang, badan saya menggigil. Semoga Allah senantiasa melindungi hambaNya dari kegilaan dan kebodohan diri. Fenomena bunuh diri, suatu langkah pengecut, meski banyak diminati orang apatis yang mentok solusi,Sampai disini, saya tidak akan langsung menyalahkan setan, karena memang tugas setan adalah menggoda anak adam, maka wajarlah, tapi pilihan untuk melakukan atau tak melakukan suatu kebejatan adalah masih dalam ranah kemampuan saya memilih.

Saya pernah mengalami kegalauan yang sangat, kegalauan yang menjelma menjadi ketakutan. Saya merasa tidak ada yang bisa menolong saya. Hanya satu yang masih berusaha saya percaya. Tuhan. Ya, hanya Dia. Karena permasalahan yang terjadi adalah langsung antara saya dan Tuhan. Permasalahan yang baru saya sadari , perang keimanan dalam akal saya. Ini adalah sebuah perang yang saya takuti. Karena solusi yang didapat akan menentukan pemaknaan hidup , saya tak mau menjadi mumi hidup. Tidak God!tolong, Please! Saya meratap pada sesuatu kekuatan yang saya sendiri mulai ragu. Ya!Saya pernah ragu pada eksistensi Tuhan! Ironisnya, itu terjadi ketika saya sudah mulai mengkaji islam secara intensif (katakanlah saya lagi menyandang plat aktivis dakwah). Entah bermula dari apa, saya mulai muak dengan keteraturan hidup , apiknya lagi itu ditunjang dengan kekecewaan saya melihat orang alim munafik.Hueek!! Saya merasa memasuki sebuah lubang orang-orang bersih, dan saya harus bersih, padahal kotoran di baju saya susah untuk dihilangkan. Saya mulai apatis. Apakah ini yang namanya perubahan? Apakah benar saya berubah karena kesadaran ataukah karbitan. Lama setelah pertanyaan itu muncul, hari-hari menjadi sebuah rutinitas bagi saya, dan saya berusaha mencintai alur rutin hidup ini…

Terus terang saya mulai mengkaji dan mulai terlibat di suatu kelompok dakwah karena ajakan kakak saya, dan apa salahnya untuk dicoba, toh waktu itu tak ada gerakan yang patut dipercaya, yah, saya pernah sangat kecewa dengan sebuah gerakan. Tapi bukan itu lagi masalahnya. Toh ternyata sebenarnya tak perlu dipersalahkan, sebuah khilafiah yg alamiah. Dalam kehampaan jiwa, saya mulai bertanya,mempertanyakan segala sesuatu yang menggelitik pikiran saya. Kebiasaan lama saya kambuh, membaca banyak novel dan komik, tapi itu tak mengahpus rasa hampa di jiwa. Yah, saya tahu seharusnya membuka kitab suci, tapi selalu urung saya lakukan. Mungkin hati saya telah mati. Lalu saya mulai berkenalan dengan filsafat. Saya mulai tertarik dengan bahasan filsafat, saya mulai melahap beberapa buku filsafat mulai dari yang kiri sampai berbau islami. Lama-lama bacaan novel filsafat, buku-buku kiri mengalahkan ketertarikan saya mengkaji Islam itu sendiri. Tak terasa saya semakin larut, apalagi ditunjang dengan kuliah filsafat dengan tenthor yang keren dalam memaparkan. Lalu pertanyaan mendasar itu terngiang lagi, pertanyaan Apakah benar ada Tuhan di balik segala yang saya lihat?lalu Tuhan seperti apa?dunia seperti apa?bagaimana sebuah idealisme diperjuangkan?pemkanaan dan penyikapan toleransi keberagaman pemikiran?

Jika dulu saya langsung terdoktrin menyalahkan filsafat sebagai penghambat kebangkitan, lama-lama saya mulai menyelami dan mencoba memahami filsafat itu sendiri. Lalu sampai pada sebuah kesimpulan. Tak ada yang salah dengan filsafat, Barat dapat keluar dari dark age karena jasa para pemikir, para filsuf juga, filsuf yang mendobrak kemapanan berpikir gereja, hingga masayrakat tercerahkan. Maka muncullah kapitalisme sebagai sebuah bentuk perlawanan. Lalu……

Ah saya tak perlu menceritakan semua masa dark age pemikiran saya. Memang benar saya pernah jenuh, bukan pada kajian keislaman yang saya ikuti, tapi jenuh pada kelembaman berpikir dan perilaku saya sendiri. Saya tak menyadari bahwa kesombongan saya dimulai ketia saya mulai masuk ke sebuah gerakan. Saya merasa superior. Langsung menjustifikasi pemikiran yang berlawanan bahkan langsung menyalahkan sesuatu pemahaman yang memang boleh ada perbedaan. Sampai disitulah kekakuan berpikir saya mulai terbangun. Lalu kejenuhan dimulai, karena saya adalah seorang pecundang nomor wahid dari banyak orang yang saya perolok sendiri. Saya meyakini sesuatu tanpa kesadaran, meyakini tanpa berbuat, terlalu banyak mencari kambing hitam atas kelembaman perjuangan yang saya azamkan. Lalu apa gunanya sebuah ideologi bagi diri saya? Ketika saya tak merasa memilikinya? Sampai disini saya berpikir. Dari awal saya sudah tahu bahwa keimanan haruslah diraih dengan berpikir yang cemerlang, maka keyakinan itu akan terpatri. Sebelum sholat, kita harus meyakini dulu kebenaran Islam, keyakinan terhadap keberadaan Allah yang menurunkan Alquran sebagai sumber hukum kehidupan. Tapi dasar manusia, jarang berpikir dan mengkaji lebih jauh, makanya gampang futurnya. Langsung merasa menemukan ketenangan setelah sekilas membaca tulisan Nietczhe, langsung merasa mendapat pencerahan setelah membaca tulisannya Marx, langsung terkagum dengan perjuangan gerilya seorang Che Guevara. Tapi ada ibroh juga, Kesadaran berpikir akan tumbuh ketika kau sering bertanya dan mencari jawabnya, lakukanlah banyak diskusi jika perlu, bertanyalah pada yang ahli, jangan langsung merasa cepat puas atas perubahan yang tlah dilakukan, adalah kunci untuk kebangkitan diri. Percayalah re, Allah menciptakan potensi pada kita bukan untuk menjadi bumerang bagi kita, hanya saja manusia sering menuhankannya hingga lupa pada Tuhan yang sebenarnya.

Kutak ingin Tuhan, Malaikat maut menjumpaiku dalam keadaan tangan hamapa tanpa perjuangan menegakkan dienMu ya Rob…

Semoga Kau memaafkanku Ya Allah, memaafkan kebangsatan yang pernah kulakukan

Gerakan adalah dimana dirimu bergerak untuk membumikan pemikiranmu, mempropagandakan pada setiap orang yang ada disekitarmu dengan kesadaran dan cinta karenaNYa bukan himbauan dari atasan atau semangat kebersamaan saja, tapi dari dirimu, karena ruh ideologi tak kan pernah mati selama denyut nadi masih terasa,