Minggu, 21 September 2008

Simbol yang jadi bumerang
Berawal dari diskusi dadakan saya bersama kakak. Sebenarnya sudah terlalu biasa bagi kami berdiskusi,karena menyebutnya sekedar nercakap-cakap kok tidak pas, karena memang yang terjadi diskusi, meski tak jarang berawal dari obrolan ringan, dan akhirnya memberat, dan tak jarang pula kamipun kewalahan, kadang sepakat terhadap sebuah penyelesaian suatu perkara, kadang bersikukuh pada pemahaman masing-masing, kadang buyar karena cenderung debat kusir. Ah memang si kakak, kalo pas ketemu saja (itupun nggak sering-sering) selalu berujung diskusi. Tapi dari situlah saya bisa menggali beragam ibroh akan sebuah perbincangan.
Suatu waktu kakak bertanya, “Hei Re, ada seorang muslimah, seorang akhwat, aktifis dakwah malah, di sisi dinding kosnya terpampang lebar poster Che Guevara, menurut adik, karena apa si akhwat nglakuin itu?”
Sejenak sayapun berpikir, saya paham maksud pertanyaannya, Che Guevara tentulah berbeda dengan tokoh Ibu kita Kartini, Che identik dengan tokoh pejuang kiri, tentulah akan sangat aneh ditemukan poster wajahnya terpampang lebar di dinding kos-kosan akhwat, aktifis dakwah Islam pula. Secara, azas perjuangan Nabi Muhammad dengan Che bagaikan langit dan bumi.
“Yah tergantung mbak,” saya mencoba menjawab singkat,
“maksudnya tergantung??”kakak saya bertanya dengan intonasi suara memberat. Saya sudah bakalan tahu, kalau ia akan langsung tanya balik.
“yah, manaketehek mbak, klo ditanya alasannya mah, mending tanya ke akhwatnya sendiri,” jawab saya sembari berkelakar. Eh, saya kira kakak saya juga ikutan tertawa, tapi bukan tertawa tepatnya, raut mukanya memang langsung berubah, berubah manyun, dahinya mengernyit,
“kok bercanda sih dek, yah mbak tahu, tapikan mbak tanya klo menurut adik, seandainya dikau gitu?!” katanya dengan sedikit hardikan
Wah, nih bakalan serius, jurus banyolan saya sudah tak mempan. Baiklah, secepat mungkin saya tata retorika dan bermodal jawaban asal yang masih beragam di kepala.
‘Ehm, bisa jadi itu hanya jadi spirit baginya…”
“Spirit bagaimana?” tanya kakak
“yah, mungkin si akhwat cuman mengambil sisi kegigihan perjuangan Che waktu bergerilya di hutan belantara,misalnya,”
“mengambil spirit?, bukan, mungkin juga si akhwat sudah terobsesi dengan si Che, hingga memajang poster di dinding , ia mulai melirik alur perjuangan Che…” nada kakak mantap tanpa memberi celah anggapan bahwa ia menyodorkan pertanyaan, tandanya, pernyataannya barusan adalah sebuah statement pendapatnya, bukan lagi kebingungan,
“Itukan sama saja ketika adik menempel poster Bush gede-gede di dinding atau pintu kamar adik, itu tandanya adik terobsesi…” kata kakak sambil menodongkan telunjuk jarinya ke arah saya.
Saya terdiam, singkat sekali untuk menyimpulkan, diskusi ini terlalu singkat untuk menghasilkan keputusan,
“ya, iya sih, saya memang terobsesi…”
“ nah kan, makanya, memang harus hati-hati mengobsesikan sesuatu, bisa jadi melenakan kita akan sesuatu yang justru berlawanan dengan arahan yang telah kita perjuangkan” kata kakak sambil beranjak dari tempat duduk dan menepuk bahu saya pelan. Meninggalkan saya yang diam terpaku.
“Maksud saya mbak, memang saya terobsesi ketika nempelin foto Bush, saya terobsesi untuk segera melenyapkannya dari muka bumi berikut pemikiran kejinya, terlalu picik hanya gara-gara poster saya berubah haluan, apalagi fotonya si Bush nggak ada gantenganya sama sekali, hih jijay…” gumam saya menyelesaikan ucapan yang belum tuntas.

Yah sekedar simbol, menjadi bumerang.

Re_

Sepetik Kesadaran tentang....

Hari itu anomali buatku, ada sebuah rencana tak terduga. Bulan inikan bulan puasa, seperti biasanya aku main ke kampus ISI, silaturahmi ke bagian muslimah sie kerohanian Islamnya,alias di masjid Kalimasada. Aku pikir berbincang dengan mereka sangat menyenangkan. Karakter orangnya macam-macam, ada yang diam saja, ada yang senang berbagi cerita. Suntukku akan keteraturan akan hilang ketika bercengkrama dengan mereka. Tak jarang pula kujumpai mereka dengan dua pakaian yang berebeda dalam waktu yang berbeda,kebanyakan mereka memakai kerudung (meski gaul), tapi ketika akan praktek semisal praktek menari mereka akan melepas kerudung, ironis mereka, dan kerennya mereka berbagi akan hal itu. Sore itu seharusnya ada kajian dan yang mengisi temanku, berhubung mendadak temanku kecelakaan, jadi vakum, tapi mereka tidak mau kalau vakum. Tertunjuklah diriku sebagai pengisi kajian, menggantikan. “ah yang benar saja, ku tak ada persiapan pren,”kataku jujur pada mereka, tapi entah mengapa juga kepercayaan mereka terhadapku tinggi sekali, bak anak kecil yang merajuk pada ibunya. Lalu kukatakan lagi pada mereka,”benar lho, kalau bahasan fikih wanita, pengetahuanku masih dangkal,” dan jawab mereka”ah m, apalgi kita, udah gak apa-apa”. Ya sudah, jadilah itu kajian perdanaku, tanpa persiapan pula. Alhamdulillah dalam ucapan dimudahkan Allah. Bener-bener Allah emang Maha Besar. Ya iyalah.
Kau tahu teman, jika menulis atau menggambar aku masih sanggup, tapi kalau suruh bicara aku masih terbata-bata. Maka hal itu paling aku hindari, aku terlalu takut jika perkataanku terlalu menggurui, sampai aku selalu mengulang pertanyaan pada mereka, “Apakah tadi yang kusampaikan jelas, tak terlalu sulitkan?” “Maaf, gak menyinggungkan?” karena kupaham teman, apa yang akan dan setiap kata yang kusampaikan akan sangat menyinggung mereka atau bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Katakanlah semisal pakaian atau dandanan, mayoritas mereka sungguh seperti wayang. Ataukah mungkin kuliah yang menuntut demikian ?entahlah. Maka etrakhir penjelasanku, aku menekankan kebenaran apa yang kusampaikan, dan kesadarn untuk melaksanakannya, inilah kewajibanku sebagai saudara, mengingatkan. Akhirnya semua terdiam, begitu juga aku. Mencoba me reka makna diam kami. Lalu tak terduga kamipun saling sharing, aku kemukakan pengalamanku pertama kali hijrah memakai jilbab dan kerudung. Asyik deh.

kotak versi baru

'kotak'
Saya tidak akan berbicara kotak dalam analisis matematika,tapi bicara wacana lain tentang kotak. Berawal dari obrolan yang menemukan sebuah wacana tentang kotak. Diskusi inipun berawal dari kemumetan saya setelah beberapa lama mengikuti mata kuliah filsafat. Satu-satunya mata kuliah yang bikin saya tambah puyeng daripada mudengnya. Selalu saja saya menjaga kepala tetap tegak ketika kuliah berlangsung , melawan ngantuk yang tiba-tiba hinggap,sementara mayoritas teman-teman lebih memilih bertopang dagu dan mengobrol sendiri. Saya terpana ketika untuk pertama kali bagi saya, ada dosen jurusan kuli gambar yang memaparkan kuliah tentang kehidupan,sejak sekian lama kami, para mahasiswa berkutat tentang gambar-menggambar, meskipun hingga kini saya belum bisa menjawab apa relevansi filsafat ilmu dengan jurusan yang saya tekuni, pun ternyata dialami oleh teman-teman juga. Beliau memperkenalkan tentang filsafat sebagai cara berpikir alternatif,mendobrak status quo cara berpikir yang ada. “Manusia adalah makhluk yang berpikir ,hanya saja tidak semua orang memiliki kesadaran berpikir.”Saya yang dari tadi mengantuk berat, tiba-tiba bersemangat untuk mendengarkan kuliah beliau (tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai ceramah),sejenak saya berpikir tentang apa yang beliau paparkan tentang kesadaran berpikir. Saya mencoba memahami apa yang beliau maksud tentang kesadaran berpikir, hal yang perlu saya lakukan karena boleh jadi apa yang beliau pahami tentang hal tersebut berbeda dengan yang saya pahami.Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa hilangnya kesadaran berpikirlah yang menyebabkan kemunduran kondisi bangsa. Cara berpikir manusia telah terdoktrin oleh cara berpikir pada umumnya, telah terkungkung oleh salah satu cara berpikir yang menyebabkannya sulit menerima cara berpikir lainnya.Itulah mengapa berpikirnya kebanyakan orang susah berkembang, terlalu cepat menyalahkan suatu hal yang berbeda dalam sudut pandangnya. “Coba, sekarang kalian semua pandang dan lihat saya, tentunya ketika saya tanya ,Apa yang anda lihat dari penampilan saya, mahasiswa satu dengan yang lain akan berbeda, mahasiswa yang berada tepat di depan saya akan menjawab berbeda dengan mahasiswa yang ada di samping saya, Meskipun begitu tentu saya tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan, karena semua memiliki sudut pandang yang berbeda”papar beliau diikuti anggukan para mahasiswa.Masuk akal juga.Beliaupun menuju papan tulis dan mulai menggambar sesuatu, sebuah kotak dengan titik diluar kotak. “Saya ibaratkan kotak ini adalah penjara, sedangkan titik di luar adalah napi yang berhasil kabur dari penjara,pada waktu itu polisi berusaha mencarinya di semua sudut dalam penjara tapi tidak ketemu, pertanyaannya mengapa polisi begitu sulit menemukan, silahkan anda menjawab.”kamipun langsung menjawab bahwa polisi tidak berhasil menemukan karena hanya mencari di dalam penjara saja.Beliau tertegun dan melanjutkan pemaparannya. “Begitulah ketika manusia terjebak pada satu kotak pencarian saja, seandainya polisi itu mencari di luar kotak, tentulah peluang menemukannya akan jauh lebih besar.” kali ini saya tertegun, mencoba memahami makna implisit ucapan beliau.”Manusia seyogyanya berusaha keluar dari kotak berpikirnya selama ini, berpikir di luar kebiasaan, berusaha mecari hakikat sesuatu dengan lebih leluasa.”paparan beliau menyudahi kemumetan saya, maklum saya termasuk orang yang susah memahami kata- kata yang tidak lugas.
Humm……keleluasaan berpikir mencari hakikat kebenaran, begitulah inti paparan beliau yang saya tangkap. Jika boleh saya memberi judul perkuliahan ini adalah “Pencarian makna dibanyaknya analogi berpikir”, karena sejauh ini beliau banyak beranalogi ketika membahas sesuatu, maka saya juga akan belajar beranalogi.
***
Membahas tentang terminal bis, tentu obyek utamanya adalah bis, jika tak ada bis maka terminal itu akan tertolak sebagai terminal bis, begitu juga dengan terminal bis juga akan tertolak jika diaku sebagai terminal kereta api, karena memang dari fungsi awal berdirinya sudah khusus sehingga sarana prasarana yang dibangun juga akan khusus.
Namun baik bis, kereta api, kapal terbang, kapal laut, semua pastilah memiliki orientasi gerak. Tidak ada yang membuat dengan tujuan agar benda-benda ini tetap diam karena fungsinya sebagai alat transportasi.Karena itulah mereka memiliki jalur sebagai media gerak. Agar berkendara menjadi lancar, pastilah ada aturan mengemudikan yang benar, aturan berlalu lintas.Jika sedikit saja dilanggar, atau ada peraturan berkendara yang tak ditaati, pastilah akan mengacaukan tatanan lalu lintas.Tidak perlu untuk diuji, toh sudah banyak kasus kecelakaan yang terjadi akibat mal praktek/human error, tentu kecelakaan yang banyak terjadi tidak langsung dengan tergesa akan kita jawab, “Segala sesuatu yang terjadikan sudah ketentuan dari Tuhan” atau “Ah biar sajalah, terserah dengan tindakan kita, mal praktek ataupun bukan, toh ntar juga akan kita pertanggungjawabkan”.
Aturan berlalulintas yang telah ditetapkan misalnya tentu bukan merupakan sebuah paksaan. Sudah sewajarnya kalo Bis melaju di jalan darat, kapal laut di air, kapal terbang melaju di udara, jika kapal terbang melaju di darat maka namanya bukan sedang terbang, dalam bahasa inggrispun namanya landing artinya fungsinya untuk terbang belum terpenuhi. Oleh karena itu, semuanya memiliki pongkalan yang berbeda memang dan juga aturan mainnya ,tidak bisa dikawinsilangkan. Lalu lintas yang teratur tentu lebih dipilih daripada kondisi lalu lintas yang semrawut, negara pengusung liberalismepun akan setuju dengan hal ini, apakah mereka akan mendemo bahwa lancarnya lalu lintas adalah penjara bagi kebebasan berkendara?? Jika memang mau mengikuti alur fredoomnya, pengendara bisa menciptakan kondisi lalu lintas yang diinginkan, ia bisa bertindak ugal-ugalan dalam berkendara, terserah akibatnya nanti, yang penting dia sudah berexperimen, dan silahkan simpulkan sendiri hasil akumulatifnya. Tentu ada aturan sehingga proses berkendara bisa rapi dan tidak menimbulkan petaka bagi manusia itu sendiri, baik yang berkendara maupun tidak. Aturan dari mulai melaju hingga kembali ke pangkalannya, begitu juga kendaraan lain yang kembali pada titik tertentu, semua ada batas laju, artinya dari acuan berangkat sampai acuan berhenti ada aturan dan media laju yang kudu dipatuhi sehingga tujuanpun bisa dicapai dan tidak mall praktek sehingga tidak akan sampai pada tujuan yang direncanakan. Begitulah analogi diatas dengan proses berpikir yang juga bermacam-macam. Berpikirnya manusia ibarat proses laju, tentu harus ada metodenya, yaitu metode berpikir rasional, dengan bermacam cara berpikir, baik berpikir ilmiah, berfilsafat (ilmu mantiq),dll.
Metode berpikir rasional adalah baku, Mengapa saya katakan baku? Bukannya saya melakukan doktrinasi,namun karena memang merupakan berpikirnya manusia pada umumnya. Mengapa juga saya bedakan antara metode dan cara? Karena memang keduanya berbeda, metode adalah teknik baku pelaksanaan, sedangkan cara adalah teknik yang bisa berubah-ubah, disesuaikan oleh kondisi pelaksanaan,meskipun tidak pernah jauh menyimpang dari metode pokoknya.Menurut pemahaman saya, manusia berpikir memerlukan 4 komponen, yaitu otak, panca indra,fakta, dan informasi tentang fakta itu sebelumnya.Jika salah satu dihilangkan maka berpikirnya tidak akan utuh. Contoh simplenya adalah ketika seorang dewasa atau profesor sekalipun yang buta pengetahuan tentang huruf china, samapi kapanpun taka akan mampu membaca tulisan berbahasa China. Ia harus belajar dulu (beragam pengetahuan tentang tulisan China) baru ia mulai bisa membaca dan menterjemahkan maksud tulisan tersebut. Ketidakmampuan si profesor membaca dan menterjemahkan tulisan China bukan karena ia bodoh, atau tidak berakal sehat, hanya saja belum sampai padanya pengetahuan tentang bahasa China, salah satu komponen penyempurna proses berpikirnya. Sedangakn maksud akal adalah pikiran itu sendiri, sesuatu yang tidak konkret tapi nyata, ada dalam penampakannya yang lain, dari produknya. Akal adalah pikiran, proses berpikir, yang hanya dimiliki manusia, maka kesadaran berpikir hanya dimiliki oleh manusia, bukan hewan. Nah, jika ada manusia yang berkelakuan layaknya hewan, seperti kumpul kebo, memamerkan aurat, bugil, bukan berarti manusia ini tidak punya akal, tapi ia melakukan sesuatu yang dilakukan hewan dalam bertindak. Manusia tidak menggunakan akal yang menjadi potensinya, tapi cenderung mendewakan kebutuhan nalurinya untuk dilakukan pemenuhan.
Itulah kesadaran berpikir, dalam artian penulis, adalah bentuk kesadaran manusia akan potensi yang didapatnya gratis dari Sang Pencipta, untuk ia gunakan memikirkan dan merenungi tentang keberadaan dirinya, alam semesta dan kehidupan yang meliputinya, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, yang menjadi sebuah kebingungan (mungkin, sampai disini maka lahirlah banyak filosof dengan tesis filsafatnya yang berbeda satu sama lain)tentang Siapa di balik ini semua?Siapa yang menjadikan?Siapa yang mengatur hingga tertata satu dengan lainnya?Aknkah materi itu sendir berkuasa?atau Siapa? Berkali-kali, Sampai berabad-abad terus dipikirkan kalangan filosof, para pemikir. Memang bagi seorang pemikir, seorang yang tentunya tanggap, inilah yang menjadi kebutuhan untuk segera diselesaikan, harus diketahui tepat jawabannya, untuk kemudian ia dapat menjalani hidupnya dengan gamblang, tanpa abu-abu lagi. Karena ini adalah hal yang mendasar. Inilah kesadaran berpikir. Sadar memikikan dasar, falsajfah kita ada, kita hidup dan menjalani kehidupan, berkelana mencari eksistensi diri dan kebahagiaan. Tentulah ini adalah kunci emas menuju pintu pencerahan. Memang kesadaran berpikir, penulis setuju jika tak ada doktrinasi karena akan memampatkan laju pikir. Ada doktrinasi, berarti ada tekanan, membuat orang takut berpikir rasional. Filosof sangatlah menyadari bahaya ini, sebuah pengalaman pahit akan doktrinasi gereja. Tentu masalah diatas adalah manyangkut masalah keimanan, Tuhan memberi peluang yang besra bagi kita untuk berpikir, dalam jangkauan yang memang mampu dipikirkan manusia, mampu dijangkau akal. Karena dalam perjalannya, memang ada hal yang pantas disebut rambu, hal yang tak bisa kita jangkau, conto yang pasti adalah tentang dzat Tuhan. Tuhan sepertia pa dan kerajaannya seperti apa, sampai jebatpun tak akan mendapatkan hasil jawaban yang 100% benar. Disinilah akal tunduk, ini bukanlah doktrinasi, penghambat kesadaran berpikir, penghambat kebebasan berpikir. Tapi sejujurnya, bagi para pencari kebenaran, tentu dengan maklum akan setuju dengan hal ini, jika ngotot dipaksakan bahwa akal bisa menjawab, pastilah jawabannya nisbi. Hanya gambaran akal manusia. Tidak bisa dibuktikan.
Berpikirnya manusia, tentulah ada jalur, seberapa ngawurnya ia akan berkelana dalam pemikirannya. Arahan yang akan mengantarkannya pada tujuan mencari jawaban sesuatu yang ingin diketahuinya. Hanya saja, agar tidak saling tabrak, tentu jalur yang dipakaipun harus tepat, agar sampai ke tempat tujuan. Berpikir ilmiah memang tak salah jika digunakan ketika meneliti suatu benda yang tunduk pada penelitian manusia, yang boleh jadi hasil penelitian kan bisa terbantahkan di kemudian waktu oleh hasil penelitian lain yang dinilai lebih valid. Jika metode ilmiah (cara berpikir dengan meniadakan informasi sebelumnya) dipakai dalam proses keimanan, akan tidak sampai tujuan yang diharapkan, yaitu menggapai keimanan yang haqiqi, keyakinan yang bulat, tidak subhat, karena perkara untuk meyakini dzat Tuhan hanya bisa dicari lewat perantara keberadaannya ciptaannya (seperti analogi simple, ada kursi pasti ada pembuatnyakan?) bukan sampai harus menghadirkan secara nampak mata akan dzat Tuhan, maka hal itu, bagaimana tentang konsep dzat Tuhan, perkara dimana keberadaannya, akal tunduk pada informasi langsung dari Tuhannya, yaitu lewat Kitab suci yang tersampaikan lewat RasulNya. Tentu ini bukanlah doktrinasi, kita gunakan metode berpikir rasional dalam hal ini, sekali lagi bukan metode ilmiah.
Oleh karena itu, terkait perbedaan memahami dan menghukumi fakta dan peristiwa, memang harus dilihat banyak hal sebelum menjatuhkan justifikasi, penulis sepakat dengan sang dosen filsafat, hanya saja kita juga jangan terlalu berlaku toleransi, harus diteliti dulu pertamakali, yaitu kesesuaian pemakaian cara berpikir. Sudah tepatkah? Baru dilihat analisis dan dasar argumennya? Jika dari awal sudah tidak tepat menempatkan cara berpikir, mengapa juga dibutuhkan toleransi berkepanjangan? Tentunya teman menolak jika pisang goreng, saya anggap ketela goreng, gara-gara sudut pemikiran yang saya gunakan beda. Atau teman saya samaratakan dengan orangutan, gara-gara memang demikianlah hasil penelitian ilmiah saya? Manusia dianggap orangutan yang berevolusi. Walah-walah. Padalah jika mau merunut potensi yang membedakan manusia dengan hewan, tentulah ini tertolak. Kawin silang pemikiran yang gagal dari awal.Iyakan?iya nggak sih???Lalu hubungannya ma kotak diatas?iyaya..apaan ya?he2
Re_
Akhirnya diskusi kamipun terpaksa diakhiri karena waktu sudah beranjak dini hari

Autumn leaves R.I.P

Daun autumn berjatuhan, menari gemulai , memberi warna pelangi pada udara, disampingnya sakura kuning turut menari melambai dalam sapuhan sepoy angin, urun menghias udara yang makin kelabu. Sementara aku berdiri terpaku,menengadahkan kepala, membiarkan rontokan daunnya mamapir, menggores wajahku yang tlah lama luka., tanah semakin memudar warna coklatnya, tergantikan oleh warna pelangi, daun yang gugur memberi warna pada bumi yang monoton, terinjak, membusuk dalam Sang kuasa Raja pengurai, menyisakan kenangan akan keindahan, yang dulu, sebelum jatuhnya pernah mentakjubkan sosok orang, sepertiku. Mereka yang jatuh menjadi sampah yang terlupakan oleh sejarah pandangan subyektif mata…
Muakku, berkali-kali hujamkan ludah yang kian serak, untuk terus menengadahkan wajah yang kian membusuk karena sayatan luka, untuk sekedar berempati, sebelum daun menyentuh ke tanah.
E:\rerechan\my sketch\DSC00844.jpg



Teruntuk:
bagi jiwa yang tlah gugur, menyerah dalam keangkuhan manusia

Jumat, 05 September 2008


Kontemplasi ala Re

“Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan…”
“pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan…”
“…satu-satunya yang dapat kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu…”


Urung kulanjutkan membaca buku tentang filsafat. Beberapa paragraf saja membuatku lama berpikir. Pikirku berputar antara keheranan dan pemahaman yang sudah terlanjur kuterima bahwa filsafat itu menyesatkan, cara berpikir tak layak buat gapai keimanan haqiqi. Tapi sudahlah, biarlah info itu berhenti pada tataran pemahaman, aku hanya ingin jujur pada diriku, mencoba belajar memahami konteks dari nol. Biarlah kuraih kesadaran pikirku, begitulah sebuah azzam kulantunkan. Kemudian kubaca buku tersebut perlembar. Seberkas senyum mengembang, merona di wajahku. Bukan, terlalu cepat mengatakan aku dapat pencerahan. Semakin membacanya, sama ketika membahas kajian tentang keimanan, hanya saja buku ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Lama pertanyaanku berkutat, tentang sebenarnya filsafat itu. Jujur lagi, aku tak begitu suka dengan jawaban instan orang yang langsung buyarkan asaku. “Sudahlah, ngapain belajar Filsafat dalam-dalam, kau akan pusing nantinya,” atau begini, “Filsafat itu akan menjerumuskanmu,”. Okey, tapi tolong jelaskan argumen kalian dulu, nihil. Kebanyakan mereka yang kutanya enggan berdiskusi panjang. Gak Asoy banget loe. Mengapa selalu berangkat naik bis tanpa mau naik bis lebih dulu, pinginnya langsung sampai ke tempat tujuan. Kembali pada kontemplasiku…
Lama-lama aku menjadi tertarik untuk membacanya lebih jauh, sudah beberapa buku aku baca, meski terkadang tak selesai. Aku tertarik pada apa yang membuatnya menarik, pada apa hingga sebagian orang menistakannya, hanya itu, belum lebih. Untungnya, ada mata kuliah Filsafat yang kuambil, dan yang paling asoy dosen pengajarnya bukan tipe penghapal apalagi pendoktrin, tapi lebih pada pendongeng. Jangan harap, ketika kalian ikut kelasnya, langsung tahu Filsafat adalah…, lalu tokohnya antara lain…, pembagian Filsafat antara lain…, tidak, sama sekali tidak langsung itu. Karena menurutnya tak terlalu penting. Prinsipnya memahamkan dengan cara beda, tak langsung, tapi tepat sasaran. Filsafat yang pertama kali kukenal, lebih banyak menggunakan analogi dalam mencotohkan sesuatu, mnurutku disinilah kecermatan pikir diasah, karena biasanya analogi itu multi interpretasi.
Para filsuf adalah seorang yang berpikir, memikirkan sesuatu yang dia ingin tahu, radikal dalam mendobrak kemapanan. Ataukah berarti Filsafat anti kemapanan? Kemapanan adalah sesuatu yang mapan, yang eksis hingga tak usah diusik lagi keeksistensiannya. Layaknya kutu anjing yang hidup di sela-sela bulu anjing, kutu tersebut ingin terbang, atau memanjat bulu-bulunya yang licin hingga dirinya mampu melihat si empunya bulu. Itulah Filsuf, berbeda dengan teman-temannya sesama kutu, lebih memilih mendekam dalam hangatnya bulu dan panas tubuh si anjing hingga enggan untuk bertindak seperti temannya, begitulah kira-kira. Para Filsuf sangat menyayangkan tindakan yang demikian, terlalu menerima dengan anggukan yang cepat, bahasa jawanya, Nrimo ing Pandum. Bagi mereka, para Filsuf, disitulah seharusnya yang membedakan manusia dengan makhluk lain, ada akal, Tentu akal sendiri adalah sesuatu yang tak langsung dapat diindra, itu yang membedakannya dari otak, akal yang dapat berfungsi dan ada pada manusia, tidak pada hewan. Namun, tidak semua manusia memiliki kesadaran pikir yang sama, tergantung kekritisan, rasa ingin tahunya, yang memacu akalnya bergerak aktif.
Pikir alias akal. Wow, menarik. Tak semuanya memiliki kesadaran berpikir?yah, tak usah dijelaskan lagi, contohnya seperti analogi kutu diatas. Kesadaran pikir manusia terbelenggu oleh doktrin atau mungkin mitos yang terlanjur ia percaya, hingga sulit untuk sekedar kembali berfikir lagi tentang segala sesuatu yang mampu diindra, tentang hidupnya, siapa dirinya, alam semesta. Jikalau menurut para pecinta kemapanan itu, kebenaran telah berada di tangan mereka, maka itupun lebih banyak karena penerimaan terlebih dulu, tanpa usaha berpikir dari awal.
Baiklah, Filsafat memang lahir karena rasa ingin tahu manusia, tidak hanya filsuf semua orang aku yakin jika mau kritis juga akan bersikap demikian, karena aku masih percaya pada agama yang kuanut, tak semua agama itu doktrinasi, tapi disini saya tak ingin bahas pembuktian dan lain sebaginya, bukan dalam bahasan kali ini, untuk sementara tak ada kata-kata agama disini, karena aku tak ingin menjadi penumpang bis tanpa naik bis. Keingintahuannyalah yang buat manusia berpikir, karena potensi yang ada dalam dirinya, Lalu darimana datangnya potensi ini ?tentu kita tak bicara tahyul, atau dengan jawaban “sudah takdir bung, mbak,jeng” atau lagi seperti jawaban penganut keabadian materialisme, “sesuatu itu ada dari materi, karena materi itu ada,”, kasihan sekali karena tentunya akan banyak orang yang tak percaya pada sesuatu yang buat tubuh ini hidup.
Sebenarnya, mereka entah yang mengatakan diri mereka Filosof atau bukan, berangkat dari persoalan yang sama, pencarian hakikat diri dan kehidupan, sesuatu yang sangat berarti ketimbang persoalan hidup yang lain, karena semisal makan, tidur, ngeseks atau yang lainnya tergantung pada penentuan jawaban akan hal diatas. Bukankah manusia ingin hidupnya bermakna, tak seperti mayat hidup, hingga ada slogan, buat hidupmu lebih hidup. Hanya saja dalam perjalanan meraih kesadaran pikir tadi yang bikin arah dan jawaban yang berbeda atau dengan kata lain, sangat boleh jadi para manusia membuat cara berpikir sendiri untuk meraih kebenaran jawaban tersebut. Pada mulanya memang demikian, mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran yang haqiqi, tapi lama-lama sebagian diantara mereka (meski sekarang sudah dijadikan patokan alias opini umum) mulai bertoleransi dan berkesimpulan bahwa tak ada kebenaran yang haqiqi, kebenaran mutlak, karena banyak filosof yang berbeda jawaban karena cara yang mereka gunakan memang menghendaki jawaban yang akan berbeda-beda pula. Semisal kasus darimana datangnya sebuah tanaman tumbuh. Ada yang menjawab dari tanah, karena pada waktu itu ia langsung mengamati tanaman muncul dari dalam tanah, ada lagi yang mengatakan tanaman tumbuh dari air, seperti pengamatan Thales(kata orang sih Filosof pertama) tentang segala sesuatu berasal dari air, karena selama perjalanannya ke Mesir, dia mengamati tanaman yang mulai tumbuh begitu banjir sungai Nil surut. Jawaban bisa berbeda meski semua berasal dari pengamatan. Aku pikir, mengamati saja semua orang bisa, tidak orok tidak orang tua. Tapi apa cukup hanya selesai pada pengamatan?. Memang pengamatan akan berhenti pada materi, sesuatu yang dapat diindra. Tapi hal itu kemudian akan bermasalah ketika disodorkan fakta yang nonreal? Fakta kok nonreal?Lho…bukankah dalam berpikir akan muncul beragam kemungkinan, boleh jadikan dunia ini tak terbatas, boleh jadikan tumbuhan itu tak tumbuh baik di tanah maupun diair, boleh boleh jadi kan ada yang namanya nyawa, spirit yang membuat tubuh ini hidup, boleh jadi juga ada kekuatan abstrak di luar jangkauan kita. Sampai disini, lama aku merenung, menyelami beragam pemikiran yang buatku makin absurd saja. Iya ya, semua bisa boleh jadi. Jawabanpun akhirnya boleh jadi, hingga memperkuat bahwa segala sesuatunya menjadi relatif, berarti juga boleh jadi, jawaban siapa kita sebenarnya berubah dari waktu ke waktu, tergantung zamannya, apakah kala klasik, modern atau postmodern?iyakan? lalu apa bedanya kita dengan kelinci percobaan?ya tidak ada bedanya, sampai disini, sama. Lalu jika kebenaran itu nisbi, berarti bisa saja aku menyimpulkan tidak ada kebenaran di dunia ini, semuanya abstrak, jadi hentikan tindakan konyol kalian mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran tak dibutuhkan lagi di dunia manusia, silahkan berinterpretasi sendiri-sendiri asalkan sudah melalui proses berpikir. Seperti apa dan sedalam apa proses berpikir yang kalian lakukan terserah pada diri kalian, karena tak ada sesuatu yang haqiqi.
Sampai disini, aku teringat dengan temanku kuliah yang memprotes nilai Filsafat mereka yang jelek, sementara mereka protes, aku banyak mendengar tanpa mau mengaku nilaiku A jika ditanya, aku hanya ingin tahu alasan mereka protes. “Bukankah kata beliau(dosen filasafat) tak ada kebenaran mutlak, keindahan mutlak, lalu mengapa harus ada ujian dan nilai?” Dan kami saling menjawab kenapa ya?aku sendiri juga tak tahu mengapa nilaiku A, apakah nilai begitu penting, jika segala ukurannya kian tak jelas, karena inilah, hingga kini aku tak begitu menghiraukan nilai A yang kusandang, boleh jadi aku dari total hanya 5 orang yang dapat A adalah terburuk dari mayoritas mahasiswa. Hanya sesuatu yang kerap menggelitikku adalah bagaimana si dosen sampai pada kesimpulannya? Bukan pada apa yang mereka pikirkan, tapi bagaimana mereka menyikapi apa yang mereka pikirkan hingga terbentuk beragam kesimpulan.
Apakah memang sesuatu yang mutlak itu tak pernah ada?apakah memang tak ada kebenaran mutlak?tak ada ataukah ditiadakan?ditiadakan oleh pikiran manusia yang boleh jadi menurut kesimpulan ngawurku terbatas?
Karena aku termasuk orang yang lumayan toleran, maka segala kemungkinan dari hal yang real sampai non realpun aku masukkan ke brankas otakku.Pernah suatu ketika mencapai titik kepuasan pikirku, beberapa waktu tak jenuh mempertanyakan sesuatu, tanpa menggubris pendapat orang atau literatur lain. Hanya saja, kemudian aku sadar terjerembab dalam jawaban khayalku. Kutanya Siapa Tuhan yang selalu dipuja, sosok yang paling digandrungi setiap masa?Lalu jawabanku sampai pada kesimpulan bahwa boleh jadi Tuhan memang ada, terbukti dengan adanya diriku, makku, adikku, si kucing, pohon, apa mungkin mereka menumbuhkan diri mereka sendiri, karena pernah kutanam tumbuhan di tanah tapi selalu mati, berarti tak benar juga kesimpulan yang menyatakan tanah menumbuhkan segala sesuatu. Jika memang benar tanah sumber kehidupan pastilah apapun yang kujatuhkan dan dengan cara apapun pastilah hidup, nyatanya? Lalu sosok Tuhan itu seperti apa? Kulihat tanganku, kemudian kakiku dan akhirnya semua tubuhku. Mungkinkah Tuhan itu wanita sepertiku?ataukah laki-laki?atau mungkin banci?mungkin saja, sehingga Tuhan memiliki tangan, kaki, rumah sama seperti kita, manusia. Begitulah, hingga aku kembali belum terpuaskan dengan sebuah pertanyaan ,“ lalu apa bedanya Tuhan dengan yang diciptakannya?bukankah Tuhan itu adalah agung ,maha lebih diatas segalanya?jika sama dengan yang diciptakannya berarti ia juga bersifat terbatas, jika manusia bisa mati, dan pastilah mati, maka boleh jadi Tuhan akan mati juga, lalu bagaimana otoritasnya sebagai Tuhan?” Ah. Bulshit. Aku bisa gila. Kontemplasi tanpa batasku ini mampu membawaku menjadi seorang ynag atheis.
Okeilah. Manusia memang punya potensi berupa akal. Itu alamiah, manusia juga bisa tak berakal, boleh dikata itu juga fitroh, semisal pada kasus orang gila, ia tak kuasa menolak dirinya gila, tak berakal. Lalu siapa yang buat itu semua. Kadang segala sesuatu terjadi di luar dugaan kita bukan?, lalu siapa yang buat rekamatra hidup itu? bukankah akan banyak pertanyaan Siapa setelah Mengapa? Siapa akan kita peroleh dari jawaban Mengapa bukan? Mengapa bumi bisa berputar?, Mengapa para planet dapat berputar teratur pada orbitnya?Siapa pencipta Orbit?Apakah segala sesuatunya simsalabim?lalu siapa yang buat sim salabim itu?. Itulah fungsi akal kita. Sampai dsini semuanya akan berjalan lurus. Lalu akan berkelok ketika akal dibiarkan berkelana tanpa arah, karena keterbatasannya, seperti kasus diatas. Manusia akan abstrak menilai wujud Tuhan, sesuatu yang jauh di luar jangkauan akalnya, sampai disini pikirkanlah, semoga ku tak mendoktrin kalian. Jujurlah, bahwa memang ada keterbatasan terhadap segala sesuatu, dan ada sesuatu yang tak terbatas yang buat segala sesuatu yang terbatas itu ada. Entah kalian menyebut sesutu yang tak terbatas itu apa. Tuhankah?atau apa?yang pasti itu mutlak ada meski dzatnya tak langsung dapat kita indra karena keterbatasan tadi. Tapi bukankah sesuatu yang tak terbatas itu jika boleh kusebut Tuhan, tak egois menciptakan sebuah doktrinasi keimanan. Karena iman harus ada karena percaya. Bagaiman percaya adalah dari proses berpikir. Bagaimana berpikir karena ada komponen berpikir . Lalu akhirnya perkenankan daku memberitahu komponen itu, meskipun boleh jadi banyak yang sudah tahu.
Setidaknya ada 4 komponen berpikir. Yang pertama ada otak (sebuah materi, hewan juga punya), yang kedua ada fakta(baik benda maupun peristiwa, sesuatu yang dapat diindra), lalu ada proses pengindraan dan yang terakhir, yang paling penting, adanya informasi sebelumnya, entah langsung terkait pada fakta atau sesuatu yang berhubungan dengannya .Mengapa penting?Taruhlah contoh seorang yang ingin mahir berbahasa China haruslah mempelajari buku panduan berbahasa China atau lewat orang yang mahir bahasa China. Seorang bayi tidak mungkin bisa belajar bahasa China atau hanya sekedar percaya sebuah batang dipegangnya adalah pensil , sebuah alat untuk menulis. Boleh jadi yang terjadi seperti keponakan saya yang masih balita, ia akan memakan pensil tersebut atau sekedar menendangnya dengan tangan, persis sama yang dilakukan kucingku. Mengapa itu terjadi karena bayi ataupun balita tidak memiliki informasi sebelumnya . Tapi bisa sajakan, karena otak mereka yang belum berfungsi sempurna? Baiklah. Taruhlah, seorang manusia dewasa dihadapkan pada tulisan jawa, Jika tak ada sebuah pembelajaran atau Informasi sebelumnya, meski berpikir sejebat apapun tak akan berhasil membacanya.
Sehingga, akhirnya aku masih percaya hingga kini bahwa kebenaran mutlak itu ada, sama percayanya akan sesuatu yang Maha. Ini bukannya doktrinasi, aku terbukti sampai tujuan sesuai keinginanku, tentunya dengan syarat ketepatan penggunaan cara berpikir kita. Sudahlah, segera saja kalian berkontemplasi. Selamat berkontemplasi, temukan hakikat diri, melakukan petualangan pikiran menemukan siapa dibalik segala keterbatasan.

Re_ lagi belajar nulis
1:52 am, 4 september 2008

Kamis, 04 September 2008

Tanganku sudah bergemetar untuk menulis, namun otakku serasa berat untuk memuntahkan unek-unekku yang terpendam di kerak mampatnya pikiran. Aku bukanlah orang yang terlalu sadar untuk menuliskan segala kejadian, segala peristiwa yang selalu memacu adrenalinku untuk berontak, meski hanya sebuah berontak dalam kesunyian.
Perkenalkan namaku Tegar, begitu namaku kerap dipanggil, tentunya orang awam akan langsung mengira aku berjenis kelamin laki-laki, namun sejatinya aku adalah perempuan tulen, nama lengkapku Tegarwati, hingga kini aku belum bisa mengerti mengapa orangtuaku menamai dengan nama yang menurutku begitu ambigu. “Supaya kau selalu tegar,”kata ibu, selalu engan jawaban sama, tidak kurang, tidak lebih, padahal bukan jawaban seperti itu yang kumaksud, tidak berhenti hanya sampai disitu, tapi lagi-lagi jawaban Ibu akan selalu sama. Aku sampai malu ketika banyak orang memanggil nama yang berkesan maskulin itu. Banyak teman-teman sekolahku yang sering meledekku, lalu seperti biasa aku akan pulang dalam keadaan menangis dan kemudian Ibu dan Bapak akan bergilir memberikan petuahnya. Namun, lambat laun aku tidak malu lagi dan semakin merasa bangga dengan nama “Tegar’’.
“ibu..ibu, harusnya dari dulu aku tidak selalu mengeluh,harusnya aku berterima kasih pada Ibu,pada Bapak,”desahku lirih,tiba-tiba sosok orangtuaku menjelma nyata dalam imaji pikirku, bila sudah begini dada ini menjadi terasa sesak oleh deburan rasa yang berkompilasi, membentuk tatanan mozaik yang tak beraturan, hingga aku kesulitan untuk menata setiap rasa yang sulit kuterjemahkan.
Bagiku Ibu adalah superwomen, bagaimana beliau mampu berkiprah dalam masyarakat hingga sangat disegani warga, membuatku selalu tersipu karena pujian orang kampung terhadap diriku gara-gara aku adalah anak Ibu, meski begitu beliau tak pernah melalaikan perannya sebagai Ibu, selalu hingga aku terlalu bingung untuk mengalirkan kelebihan aliran listrik kasih sayangnya. Perjuangannya melawan stroke yang terus menggerogoti tubuhnya selama hampir 2 tahun tepat beberapa hari ssetelah kematian Bapak, semakin mengukuhkannya sebagai Superwomen hingga akhir hayatnya.
Sekarang, bagaimana Ibu akan bertanggung jawab atas kerinduan yang sangat dalam di relung hati ini, seperti kapal yang terombang-ambing di lautan luas, tanpa harapan untuk berlabuh, karena dermaga takkan lagi nampak, lalu bagaimana rindu ini secara nyata akan kulabuhkan, dan iblis dalam hatiku akan berteriak semangat mengutuk”Salahkan Tuhan, Tuhan never bless us..”… lalu sisi hati lainnya akan cepat menyela”Gila!!!.. terlalu picik untuk menyimpulkan dengan kalimat kotor itu, aku tidak akan atheis karena masalah ini, bukankah Tuhan akan memberi cobaan bagi hambaNya yang beriman, toh seharusnya yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambaNya.
Brakk!!! Sudah cukup! Urung kulanjutkan perdebatan batin ini. Tanpa sengaja tanganku telah menggebrak meja. Sesaat aku menjadi point of interest, semua menatap bengis padaku, tatapan yang mampu merobek mental sisi sutra hati wanita, Wajar saja karena aku sedang berada di tempat yang seharunya hening, tepatnya di sebuah ruangan perpustakaan pusat Kampus. Tempat yang kunobatkan senagai tempat nongkrong favoritku. Entahlah disini, aku bisa jauh berkontemplasi, membuang jauh kepenatan, hingga terkadang bisa jadi aku hanya bengong, mengamati suasana disekitarku duduk tanpa membaca buku satupun, heran…
***
Sudah hampi 4 jam aku disini, pantatku serasa terbakar, aus bergesek dengan kursi kayu tua perpustakaan ini. Namun sampai sekarang ide tulisan masih enggan muncul.
“Tegar..Tegarwati, mengapa sih nulis saja susahnya minta ampun”racauku gusar. Sebentar lagi limit waktu akan berakhir, yah…aku terbiasa memberi batas waktu untuk memunculkan dan menentukan ide sebelum menulis.
Mataku sepat sedari tadi menekuri kertas putih yang sudah penh dengan coretan abstrak nyaris tanpa tulisan satu hrufpun. Kualihkan pandangan keluar jendela, langit mulai menampilkan warna lembayung senjanya bertabur siluet kawanan awan, kualihkan pandangan ke dalam ruangan, seperti biasa hening, lengang, hanya satu,dua orang yang singgah ke ruangan ini, suasana yang mengingatkanku pada kuburan, mungkin itu menjadi salah satu faktor aku betah singgah berlama-lama disin, sering mengingatkanku pada yang namanya ajal, dengan begitu semangat belajarku akan spontan meninggi, karena sadar limit hidupku di dunia.
“permisi, saudari Tegarwati? Ucap pemuda jangkung di depanku
“Maaf?”tanyaku yang masih terkaget dengan pertanyaan yang datang tiba-tiba, kebiasaan lagi bagiku. Pemuda itu tersenyum santun, senyum yang bisa dengan mudah membuat simpatik orang.
“Maaf, apakah benar saudari bernama Tegarwati?” lelaki itu mengulang pertanyaannya, mungkin dia paham kalau akun masih belum mengerti dengan maksud peertanyaannya.
“ya benar, anda siapa ya?” aku balik bertanya selidik, kutamati lagi sosoknya, dandanannya rapi dengan pakaian yang casual tapi elegan, wajahnya oval,dengan jambang tipis di dagunya. Sepertinya aku mengenal pemuda ini dan senyum itu juga tidak asing bagiku, tapi kapan dan dimana, aku ragu untuk memastikan.
“aku Ryan, Wati..kau lupa ya, kita sekelas waktu SMP.”ucapnya antusias. Sejenak aku tertegun, Ryan…Ryan, aku terus mengulang kata itu berusaha mengaduk brankas otakku, apakah…
“ooo ya ya, apakah kau Muhammad Ryan?”,
“yup great! Akhirnya kau ingat, aku senang kau tidak lupa seratus persen Wati.” Ucapnya girang, dengan senyum yang kian mengembang, semakin menampakkan deretan giginya yang putih.
Sekilas aku tersipu, dan semakin malu jika aku sadar siapa yang berdiri dihadapanku sekarang. Bagaimana aku bisa melupakan sosok Muhammad Ryan, dia dulu teman satu gengku waktu SMP, satu-satunya teman laki-laki yang memanggilku Wati, sosok yang periang dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun, tapi aku sedikit menyadari hal baru pada dirinya, penampilannya yang kini jauh berbeda, bukan lagi Ryan dengan tubuh tirus kurunya, hingga julukan kerangka berjalanpun disandangnya.. Ah segala sesuatunya bisa berubah Tegar, ucapku dalam hati.
“halo Wati, kok bengong?” ucapnya membuatku tersentak kaget,
“oh, maaf..aku bengong lama ya?” ucapku salah tingkah.
Kali ini aku gagal lagi untuk tidak menampakkan ketersipuanku, Ryan pastilah hafal tingkahku yang satu ini, pipiku akan merona merah jika aku tersipu dan marah.Seperti dulu, pastilah puas melihat tingkahku ini. Tapi ternyata tidak, bahkan ia sama sekali tak menatapku, pandangan wajahnya mengarah ke depan tapi sorot matanya tak tertuju padaku.
“Kau masih sama ya Wati, meski semua mengalami proses, aku harap kebiasaanmu yang unik tak banyak terhapus” ucapnya menekankan,
“Eh, ternyata kau kuliah disini juga ya, sudah lama ya gak ketemu”ucapku cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, masih terheran dengan sosok Ryan yang begitu baru menurutku, gaya bicaranya mengingatkanku pada teman-teman laki-laki di Sie Kerohanian Islam.
‘’iya, hampir 5 tahun, kau susah sekali dihubungi, nomor hpmu ganti ya?’’
‘’Oh maf, hpku hilang saat pertama masuk SMA, aku kehilangan nomor kontak semua teman-teman, kau tahu sendirikan, daya ingatku sangat payah apalagi aku pindah keluar kota’’ ucapku panjang lebar
‘’ooo, begitu”jawabnya singkat.
Siang itu menjadi hari yang anomali buatku , aku tak menyangka akan bertemu teman lamaku di tempat ini, lama kami membincangkan kisah diri satu sama lain.Jikalau terdapat taman dalam hati ini, pastilah hatiku sudah penuh dengan beragam bunga. Meskipun pertemuan kami singkat, tapi sungguh berkesan, ia memastikan akan bertemu lagi.’’Mungkin kau akan sering kuhubungi, kita pasti akan bertemu lagi, aku tidak ingin kehilangan sahabat lama lagi.’’teriaknya sambil lalu.
***
Everyday is sameday, setiap hari adalah sama bagiku,rutinitas yang membuatku semakin muak, pagi kuliah, lalu tugas menggambar yang akhirnya memaksa mata dan tanganku begadang setiap malam, tapi anehnya aku tetap setia menjalaninya,’’Bukankah ini adalah konsekuensi sebagai mahasiswa…’’bisik hati kecilku memprotes mengingatkan,’’Yah tentu saja..”desahku lirih. Kuliah dan masuk jurusan arsitektur adalah impianku sejak SMP, itu artinya keputusan ini sudah kurencanakan sejak lama, bukankah segala sesuatu ada konsekuensinya, ada h8ukum kausalitas terhadap segala sesuatu,’’Tenang Tegar, masalah ada untuk diselesaikan, dan masalah itu akan selesai jika kau tidak lagi menjadikannya masalah. Kau haruslah tegar.’’ucap batinku meyakinkan.
Pagi ini kulangkahkan kakiku mantap meski dengan sedikit paksaan pada awalnya. Sengaja aku berangkat lebih awal, agar lebih bisa menikmati setiap langkah kaki yang kudaratkan, meresapi tanjakan yang berirama, menghirup dengan puas hawa yang masih suci polusi. Lalu perjalananpun memasuki sebuah gang kecil berbentuk lorong panjang, lorong yang menghubungkan jalan raya kampung dengan kampus, jika dinilai lorong ini tak terhitung jasanya, dengan adanya lorong ini kami, para mahasiswa yang kos di daerah samping kampus tak perlu berjalan berkilo-kilo untuk sampai ke kampus.
Kutamati dinding lorong ini, beragam corak gravity hampir penuh menghiasi dinding yang catnya tak lagi terawat, seperti biasa aku akan berhenti sejenak, meluangkan sedikit waktu menikmati setiap keunikannya, mencoba memahami spirit dari apa yang ingin disampaikan .
‘’Yaah…belum ada yang baru rupanya’’,
‘’eh..’’ucapku kaget, ternyata ada orang dibelakangku, suara laki-laki. Kutolehkan badan, laki-laki itu mematung, matanya begitu serius mengamati gravity dihadapannya, sampai begitu serius hingga tak menghiraukan aku yang mulai menamatinya.
‘’Ryan…’’ucapku menyapa heran, heran entah mengapa, mungkin untuk kedua kalinya Tuhan mempertemukan kami di sudut labirein yang sama, tanpa terduga. Beghitulah Sang Maha, atas kekuasaanNya labirin akan menjelma menjadi jalan yang lurus. Laki-laki yang kusapa Ryan itu menoleh kearahku dengan ekspresi kaget, lalu ekspresi mukanya berubah dengan cepat, seperti biasanya ia akan langsung mengulum senyum, perangainya yang cepat menguasai keadaan masih belum berubah.
“oh Wati..kau lewat sini juga rupanya’’ucapnya sedikit heran
‘’iya, aku ke kampus jalan kaki’’,
“Kosmu dekat sini ya?’’tanyanya kemudian,
‘’iya, lumayan sih kurang lebih ½ kilo dari sini, la kamu?’’
‘’Aku kontrak di belakang kampus bareng temen kampus, kebetulan kemarin malem aku nginep di rumah temen dekat sini, biasalah tugas kuliah,’’ ucapnya menjelaskan
Suasana sejenak menjadi hening, masing-masing dari kami tak lagi melontarkan pertanyaan, aku tidak terlalu lihai berbasa-basi, sementara Ryan yang kukenal hanya kan bertanya jika dibutuhkan saja. Sebenarnya ini bukan kali pertama bagi kami, sering dulu juga seperti ini, hanya saja kondisi sekarang yang berbeda, tidak sekaku ini, maklum kami lama tidak bertemu.
‘’Kamu suka Gravity Wati?’’ tanyanya memecah hening.
Sebatas penikmat, aku kurang mahir di seni ini.’’
‘’ooo’’jawabnya singkat, sembari kembali menekuri garvity di depannya.
Suasana sejenak kembali hening.

‘’Ini yang kusuka dari seni’’ucapnya tiba-tiba.
Yang kusuka dari seni? Tanyaku dalam hati,kutatap sosoknya tak mengerti.
‘’Karya seni seperti lukisan, gravity atau yang lain, memberi kesempatan pada penontonnya untuk menginterpretasikan maksud yang ingin disampaikan pembuatnya.’’ucapnya kemudian.
“iya, justru karena itulah seni bernilai abstrak, membuatnya menjadi seperti sosok yang tidak sombong dan terkesan kmpromistis…”ucapku, ikut mengomentari pembahasan Ryan tentang seni.
Suasana kembali hening. Ada rasa kecewa yang sekilas terbesit di hati, karena aku pikir Ryan akan langsung mengomentari ucapanku. Kulihat lagi sosoknya yang tak bergeming hanya anggukan kepala, entah apa maknanya.
“Kau aktif di BEM?’’tanyanya tiba-tiba.
“Aku?”tanyaku ragu,
“Ya iyalah, manusia yang disinikan cuma kau dan aku, masak aku tanya sama rumput.”ucapnya sambil tertawa, memecah kebekuan yang kurasakan. Seperti tersihir, akupun ikut tertawa, dari dulu aku suka tawa Ryan, bukan bermaksud apa-apa, tapi tawanya begitu jujur, hingga orangpun akan tersihir tertawa bersamanya.
“Enggak, tugas gambar sudah sangat menyita waktu, lagian aku sudah ikut HMJ dan lembaga pers kampus.”
“Wah keren, kalau aku dari awal menjadi mahasiswa aktif di Sie Kerohanian Islam kampus,”ucapnya menjelaskan
“ooo, di SKI, hampir separuh teman sekelasku ikutan aktif disana.”
“Kau tidak Wati, Why?”tanyanya heran
“ehm, karena…”urung kulanjutkan alasanku, mengapa segala sesuatu harus beralasan,desahku dalam hati.
“apa karena kau tidak berkerudung atau merasa belum sempurna, itu tidaklah menjadi masalah Wati, kau percayakan kalau segala sesuatu berproses, tidak harus terlebih dulu sempurna untuk masuk SKI, justru karena ketidaksempurnaan itulah kita bersama-sama belajar.”
“Iya Ryan, aku paham itu. Proses ada pada diri kita masing-masing, hanya saja aku tidak terlalu suka terikat dengan hal seperti itu…”ucapku menggantung,
“Maksudmu terikat dengan apa?”tanyanya selidik,
Aku berpikir sejenak, mencoba meramu kata sehingga berharap tidak ada pertanyaan lagi setelah penjelasanku ini. Tapi haruskah aku jujur, menyatakan yang sebenarnya yang mungkin pula menambah panjang daftar pembicaraan ini.
“Aku ingin memulai pencarian dari nol, pencarian jati diri, pemahamanku tentang alam semesta dan kehidupan ini, aku hanya ingin memiliki kesadaran berpikirku sendiri Ryan, kesadaran yang hanya bisa terwujud jika dogma itu nihil.”ucapku menjelaskan, mencontek pemaparan dosen filsafatku, meski aku sendiri belum terlalu mengerti yang kuucapkan barusan.
“Dogma? Apa kau pikir Islam adalah ajaran dogmatis?”
Kali ini aku seperti terdakwa di pengadilan, pertanyaannya bertubi-tubi menghujam kepalaku.
“Baiklah Wati, mungkin aku tidak terlampau mengerti, tapi mungkin kau butuh proses untuk menjawab itu semua.”ucapnya sembari melirik hpnya.
“Oh ya Wati, aku pamit dulu ya, harus buruan ke kampus nih, semoga sukses dengan pencariannya, Salam” ucapnya sambil lalu meninggalkan diriku mematung di lorong ini.
“Wassalam,”ucapku lirih, menatap sosoknya yang berangsur menghilang dari pandangan.
“Astaga” aku tersentak kaget, sesaat setelah kesadaranku berangsur pulih 100%, sengaja kulihat jam di hpku, waktu berjalan melenggang dengan santainya, sementara itu, kaki kecilku ringkih berjingkatan, berlari keluar dari lorong panjang ini, karena 5 menit lagi kuliah pertama dimulai.
***
Kurebahkan dengan kasar punggung ke sandaran kursi studio yang empuk, mencoba memejamkan mata barang sejenak, setelah hampir 4 jam menekuri gambar yang setengah selesai didepanku, masih ada waktu 4 jam lagi untuk segera menyelesaikan desain gambar ini. Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, merasai gelitikan dinginnya buliran keringat yang membasahi tubuh.
Sudah 2 tahun aku kuliah di jurusan arsitektur ini dan selama iitu pula aku mencoba bersahabat dengan mata kuliah yang banyak membuat diriku insomnia, hal yang sama sekali tak kuduga sejak dulu, bersahabat dengan suasana studio yang pengap dan panas karena salah desain. Berakali-kali aku melaporkan keadaan studio gambar dan penghawaannya yang mirip efek rumah kaca,dan berkali-kali pula pihak dekanat juga menolak rearrange ruang dengan alasan belum ada dana.
Belum ada pendanaan?tanyaku sinis, Ruang studio adalah tempat yang sangat urgent bagi mahasiswa arsitektur, karena mayoritas kegiatan gambar-menggambar kami lakukan disini,lalu bagaimana kami bisa maksimal bekerja dengan kualitas ruang dan peralatannya yang serba minimalis, jeritku dalam hati, selalu begitu, jeritan yang berontak dalam kesunyian, karena lidahku begitu kelu ketika beradu argumen dengan pihak dekanat.
Aku beringsut bangun, menegakkan kembali badanku,kurentangkan tangan keatas sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lagi. Letih ini sudah hampir berhasil menguasai tubuhku, otakku bekerja keras melawan kondisi yang tak seharusnya datang. Ruangan mulai tampak lengang, satu persatu teman-teman meninggalkan ruangan, tinggal aku dan segelintir temanku, kalau sudah begini, pikiran harus terus fokus meski sejujurnya jantungku berdegup tak karuan karena masih ada pekerjaan desain yang urung juga kelar.
Kubuka buku agenda kecilku, satu-persatu lembaran kubuka,sederet agenda mulai dari rapat, menghadiri seminar, kunjungan ke pameran, dan seabrek kegiatan lainnya. Senyumkupun tersimpul bangga, yah setidaknya aku punya cukup banyak agenda hidup yang lain selain jadi kuli gambar.sorak batinku gembira. Tidak sedikit mahasiswa yang menggadaikan kegiatan sosial mereka untuk segera meraih gelar sarjana. Hingga kini aku masih percaya bisa meraih keduanya, meskipun urun tenaga ekstra.
“Gar, aku duluan ya, dikau belum kelar juga?”ucap Saras, temanku.
“Wah belum kelar nih, tinggal dikit lagi, duluan saja.”ucapku sambil tersenyum, terlihat dipaksakan memang. Bagaimana lagi, karena itu berarti sekarang tinggal 4 orang di studio ini, suasana juga semakin sepi, menambah kencang degup jantungku. Ya tuhan tolong bantu aku mempercepat pekerjaan ini.Cuih, jika dalam kondisi terdesak minta tolong, kau ingat pada Allah Tegar, protes hati kecilku. Yah pada siapa lagi, Presiden atheispun ketika benar-benar dalam keadaan terdesak, dalam keadaan zero mind pun akan spontan menyebut Tuhan. Itu alamiah bukan?
***
“Akhirnya selesai juga,”ucapku samil neregangkan tangan keatas. Ada kepuasan tersendiri setelah berhasil menyelesaikan karya sendiri, hingga pegal dan capai menjadi tak terasa. Perkara besok karyaku dibantai dosen adalah urusan belakangan. Aku akan memuaskan diri untuk menikmati karya-karyaku. Memang, kondisinya akan paradoks jika sudah berurusan dengan pandangan dosen.Kebanggan dan kepuasan awal bisa berubah 180 derajat mkenjadi kekecewaan dan rasa gagal akhirnya.


Bersambung…

REKAMATRA

Sebuah ruangan berkonsep Open Plan, berisi banyak ruangan yang tersekat menggunakan Whiteboard. Jam dinding menunjukkan waktu dini hari, waktu pelepasan penat para manusia, waktu para roh pergi mengembara menuju Peniupnya, hanya saja kali ini adalah anomali bagi 2 karyawan yang mulai lembur di blok sudut ruangan. Gemerutuk tuts keyboard mereka berkompilasi apik dengan detakan jam dinding,menciptakan konser malam yang eksotis, menggema merajai malam.
Sementara lagu Homenya Michael Buble terdengar samar dari sebuah ruangan masif diujung ruang kantor, mengalun menciptakan konser tunggalnya. Terlihat didalamnya,seorang wanita muda, berjalan menuju double glass fasad ruangan, menyibakkan tirai yang menutupinya, hingga tampak jelaslah pemandangan luar, beragam bangunan menjulang bak tumbuhan tinggi yang berlomba menggapai Matahari. Lama menekuri pemandangan di depannya,sang wanita mendongakkan kepalanya,hingarnya cahaya kota membuatnya dan mungkin seluruh penduduk di kota ini tak kuasa menikmati gemerlapnya cahaya bintang di malam hari.
“benar-benar kota yang angkuh.” Ucapnya dingin sambil menutup kembali tirai yang belum lama ia sibakkan.
Si wanita berjalan gontai, menuju meja kerjanya. Tubuhnya menghempas kasar pada sebuah kursi putar di sebalik meja. Wanita itu mencoba memejamkan mata yang kian terasa panas, setelah hampir 15 jam dipaksanya untuk bekerja, baginya keletihan fisik hanya ganjalan sesaat ,resiko yang ia sadari betul. Bagaimanapun ia harus profesional, haruslah menjadi wanita karir yang sukses, terlebih didepan para jajaran yang mayoritas adalah laki-laki. Perlahan,ia bangkit dari sandaran, meraih plat nama di ujung mejanya.
“Intan setia, wakil direktur,”ejanya angkuh.
Ia pandangi seluruh detail ruangan. Ruangan para petinggi, klas VIP, di dalamnya seperangakat sofa empuk bertengger di sudut kanan ruangan, lalu perabot modern yang ia desain ulang, dipadu dengan langgam etnik Jawa, sesuai seleranya, Warna dinding coklat susu, sengaja ia padukan dengan furniture, menciptakan harmoni rasa, keselarasan tampilan. Benar-benar ruangan yang berwibawa ditambah predikat wakil dirut yang disandangnya, membuatnya menjadi sorotan utama di perusahaan ini. Seorang wanita dalam usia 30 tahun sudah berhasil memegang jabatan ini, sungguh prestasi yang membanggakan baginya. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya, hingga nampak jelas lesung pipitnya, membuat wajahnya yang ayu menjadi tambah ayu. Sebuah senyuman yang hanya ia sendiri tahu maknanya.
Tiba-tiba pandangannya beradu dengan sebuah foto yang terbingkai apik di sudut mejanya, bingkai mungil yang tersembunyi disamping kertas kerjanya yang menggunung. Ia menatapnya lama, tangannya meraih bingkai foto dan mengusapnya berulang seolah berusaha membersihkannya dari debu yang menempel kuat. Matanya mulai berkaca-kaca, menciptakan riak gelombang yang enggan tumpah, entahlah, dirinya sungguh enggan untuk kembali menangis, menangisi sebuah lini hidupnya yang buram, tak seindah perjalanan karirnya yang melangit. Dahinya berkerut, senyuman yang tadinya merekah tiba-tiba lenyap tanpa jejak, menampakkkan rona yang sama sekali baru, gurat kesedihan kian nampak di wajahnya.Batinnya berkecamuk, ketaksingkronan akal dan suara hati dalam dirinya kembali muncul. Sebuah keadaan yang hingga kini berkali-kali ia cari penangkalnya, dan berkali-kali juga ia gagal. Melihat foto ini, mengingatkannya pada babak sakral hidupnya yang di ujung tanduk. Tangannya masih saja meraba kaca bingkai, terpampang disana foto suami istri dengan seorang bayi dalam dekapan Ibunya, mereka semua tertawa bahagia, terlebih si balita dengan tawanya yang menggemaskan ditambah lesung pipit menambah keelokan diwajah imutnya, sebuah tawa yang nampak lepas tanpa dosa. Namun itu momen 6 tahun silam, saat riak gelombang belum kuat menggoncang bahtera, saat nahkoda kapal dan awaknya masih saling percaya dan mengerti.
“Farah, sekarang kamu pastilah sudah besar, bunda kangen, Nak” ucapnya lirih,
Hah, kangen, bukankah kau yang memilih jalan ini Intan, apa kau amnesia, kau sendiri yang memutuskan mengakhiri ikatan sakral yang begitu menjerat sisi kebebasanmu. Bukankah kau dari awal menjalaninya karena terpaksa…suara batinnya menggema.. tak terasa buliran air mata mengucur deras membasahi pipinya.
“iya..iya kau betul, memang aku yang memutuskan semua ini, tapi …” ucapnya getir. Urung ia lanjutkan kata-katanya, terdengar suara pintu diketuk. Cepat-cepat ia benarkan posisi duduknya sambil ia hapus air mata yang menempel pekat, bersatu dengan sisa make upnya. Pastilah itu karyawan yang menyerahkan pekerjaan lemburnya, lalu ijin pulang. Ia tak mau, karyawannya melihat keadaannya saat ini.
“Masuk,”ucapnya dengan posisi duduk membelakangi meja.
Terdengar pintu berderit, sepasang laki-laki berjalan perlahan mendekati meja si wanita, yang tak lain atasan mereka.
“Bu Intan, kami sudah selesai, ini pekerjannya,” ucap salah seorang diantara mereka.
“yah, taruh saja diatas meja, kalian boleh pulang,”ucapnya sampil melayangkan tangan, kode agar mereka segera beranjak pergi. Seperti pasukan, mereka bergerak bersama, patuh ikut aba-aba pimpinan.
“dasar,tentu saja kami akan pulang, lembur inikan maumu, memang kami workaholic apa,” seorang dari mereka bergumam lirih
“tunggu,” suara Intan menggema, menghentikan tapak kaki mereka, yang mulai melangkah pergi.
Bagai tersengat listrik, mereka berhenti, berdiri kaku, dengan suara gigi yang bergemerutuk, tubuh mereka berguncang, bulu kuduk mereka berdiri. Batin mereka berkecamuk, menduga apakah atasan mereka mendengar gumaman tadi. Kali ini tampang mereka persis maling ayam yang ketangkap warga, siap untuk disidang massal.
“Oiya, salam buat keluarga di rumah,” ucap Intan ramah.
“Iya Bu, terima kasih,”ucap mereka serentak, ada perasaan lega tersembul, lalu mereka terus berjalan ke luar ruangan, sambil membawa segudang perasaan aneh tentang atasannya. Meraka pikir sudah sangat mengenali atasannya, tapi ternyata tidak, wanita itu memiliki beragam teka-teki yang sulit ditebak.
“Wanita aneh,”gumam seorang dari mereka sambil menggelengkan kepalanya heran.
Intan, sang direktur masih saja menekuri foto didepannya, foto yang selalu menemaninya menghabiskan hari di kantor ini. Sejak beberapa tahun terakhir setelah babak kelam kehidupannya dimulai, dirinya sering menghabiskan waktu seharian di ruang ini, seperti orang yang homeless, tunawisma. Lebih baik baginya menghabiskan waktu untuk kerja di kantor ini, daripada pulang ke rumah yang tidak menyiratkan kehangatan sama sekali. Rumah megah itu kini kosong tak berpenghuni, sejak mereka, dirinya dan suaminya memutuskan pisah rumah 6 tahun lalu, tepat 6 bulan sejak kelahiran anak pertamanya. Ia memutuskan tetap tinggal di rumah megah itu, sementara dirinya merelakan suaminya pergi dan membawa serta anak mereka. Intan berjalan gontai menuju sofa, merebahkan tubuhnya yang sudah tak berasa letih, karena bebalnya. Lemat-lemat pandangannya mengabur menjadi abu-abu, dan kemudian kegelapan menyelimuti pandangannya.
***
Prang.suara piring yang dibanting, mencipta gema di sebuah ruangan besar. Sebuah rumah megah di pusat kota. Piring itu melayang, berjatuhan mengalunkan irama yang mengiris jiwa. Berkali-kali terdengar teriakan wanita dan laki-laki yang beradu mulut. Si wanita histeris, si laki-laki mengeluarkan suara bassnya dengan kuat. Perpecahan yang kerap terjadi. Untunglah rumah itu terletak di kota, dengan kekerabatan penduduknya yang minim, beruntung rumah itu tidak terletak di desa. Pastilah setiap hari, tidak siang, tidak malam, menjadi tontonan warga desa.
“Aku sudah jenuh padamu mas, kau egois,selalu mengekang keinginanku, selalu kau kritik apa yang kulakukan,” ucap si wanita berteriak.
“keinginan apa heh, apa kebebasanmu yang keblabasan. Ingat tan, kita sudah menikah, ada Farah yang butuh perhatianmu,” ucap si laki-laki tak kalah keras.
“oo, jadi mas menyalahkan aku, sementara mas kerja seharian dan aku di rumah ngurus Farah. Aku kerja juga buat anak kita, harusnya mas juga pengertian dong, gimana sih,”
“ Kau tahu hidup kita tak kekurangan materi, ah…sudahlah aku malas berdebat denganmu, atau mungkin kau menyesal melahirkannya, menghambat karirmu, iya?!” ucap si laki-laki lagi sambil menudingkan tangan ke arah wanita yang berdiri di depannya.
Tiba-tiba suasana menjadi sunyi, masing-masing dari mereka diam, tak bicara, saling bersingkuran. Ada panas yang menggelegak dalam hati si wanita, hingga ia tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang tak lain adalah suaminya. Bagaimana ia harus menjawab, meski semuanya tak sepenuhnya benar, tapi memang begitu adanya. Dulu ia pikir pernikahan bisa menentramkan jiwa, lama-lama jiwa kefeminisannya berontak mencari celah bebas dari perubahan rutinitas yang disandangnya, seorang wanita muda dengan karir yang menanjak, harus bermetamorfosis menjadi Ibu rumah tangga seperti yang diidamkan suaminya. Jujur, egonya terlalu besar untuk ikhlas menerima, meski dengan hadirnya Farah dalam kehidupan mereka. Mengapa Farah harus jadi hambatan?Benarkah ia seorang Ibu dan istri yang kejam?
Akhirnya pertengkaran itu selesai seperti biasa, tanpa solusi, menyisakan kebungkaman yang menyakitkan hati kedua belah pihak.Si wanita berjalan gontai menuju kamar kerjanya. Setumpuk pertanyaan memenuhi brankas otaknya, Lalu bagaimana sebenarnya berperan menjadi seorang Istri dan Ibu yang baik?bukankah apa yang kulakukan sudah benar, aku melakukan apa yang menjadi perjuanganku hingga kini, sebagai pejuang feminis sejati. Harusnya ini berjalan layaknya penyelesaian seperti yang kerap ia baca di buku tentang peran sejati wanita. Diraihnya buku di rak almari, sebuah buku berjudul ‘ Aktifitas Feminis sejati’, seperti kerasukan setan, ia lempar kasar buku tersebut ke lantai, ia comot lagi sebuah buku berjudul ‘Perjuangan Kesetaraan Jender, Kebahagiaan Sejati Seorang Wanita’, tangannya mengusap berkali-kali buku yang dipegangnya dan membanting kasar ke lantai. Hingga akhirnya Ia robohkan tatanan buku di depannya yang tersusun rapi. Wanita itu mengacak rambutnya, menjambaki tak beraturan. Sementara ,samar terdengar deru mobil dari luar, deru mobil yang ia kenal betul, suara mobil suaminya. Bergegas ia menghampiri jendela kamar, terlihat suaminya mengepak barang di begasi mobil, dengan menggendong seorang anak. Sadar akan apa yang dilihatnya, ia mengambil langkah seribu, tak peduli apa yang dihadapannya ia terjang, hingga tersungkur berkali-kali karena tak menghiraukan pile lantai.Namun terlambat baginya, mobil sudah keluar dari pagar rumahnya. Langkahnya mendadak berhenti, tercekat di pintu rumah sambil terus memandang mobil yang mulai hilang dari pandangan. Ia tahu, mengejarnya adalah suatu hal yang utopis. Ia sadar, mulai detik ini ia akan kehilangan kedua jantung hatinya, untuk pertama kalinya menjalani Ramadhan sendirian, hanya dirinya bersama rumah sombong ini.
***
Suara deru mobil masih terngiang di telinganya, kali ini suaranya bergemuruh, ramai membuat bising telinganya. Mata Intan terbuka pelan, ia segera bangkit dari tidurnya, menerawang kesekeliling ruangan, ternyata itu semua mimpi. Ia berjalan menghampiri jendela yang tak tertutupi tirai. Matahari sudah mulai meninggi, sementara deru mobil kian membahana membanjiri kota yang sarat polusi, sepertinya para manusia sudah tak peduli dengan keadaan lingkungan yang kian sekarat. Tentunya mobil itu makin membanjiri kota, terlebih bulan ini bulan puasa, banyak yang tidak mau berpanas-panas ria atau bercapai-capai ria pergi dengan berjalan kaki.Bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat, bulan segala ampunan, membasuh jiwa-jiwa manusia yang kotor, kajian yang rutin ia dapatkan di pengajian kantor. Sudah hampir 6 kali ia lewatkan bulan ini sendirian, tanpa keluarga yang utuh. Sungguh ironis memang, di KTPnya jelas tertera statusnya yang tak lagi lajang. Yah, ini memang hukuman bagi dirinya, terlambat mengerti, memahami makna perannya sebagai istri dan Ibu, kesadaran yang muncul selalu ia lindas dengan keegoan diri akan pemahamanharkat mmartabat diri yang keliru. Kesadaran yang kini telah pulih, memperjelas sesuatu yang abu-abu menjadi putih kembali, tak bisa mengembalikan saat-saat itu, saat 6 tahun yang lalu. Intan berjalan menuju cermin besar yang tertempel di dinding, membenahi kerudung dan pakaian gamisnya yang sedikit berantakan. Dua tahun yang lalu ia putuskan mengakhiri perjuangannya yang keliru, jauh menyimpang dari jalan kebenaran, meraih kebenaran lain yang menjanjikan kebahagiaan haqiqi. Meski berproses tertatih, tapi dirinya begitu menikmati guyuran iman yang merasupi jiwanya yang tlah lama gersang. Ia pasrah jika tiba-tiba sebuah surat cerai sampai ke tangannya. Berkali-kali ia hubungi nomor suaminya, tapi berkali-kali juga tak ada tanggapan.
“Semoga mas mendapatkan seorang istri dan Ibu yang baik buat Farah,”gumamnya lirih.
Hari ini, keputusannya sudah bulat, mengakhiri sesuatu yang dulu begitu diperjuangkannya. Sebuah surat pengunduran diri sudah ia layangkan seminggu yang lalu ke tangan dewan direksi, hari ini waktunya mengemasi barang-barangnya. Berpasang-pasang mata mulai mengamati tingkahnya dari pintu yang dibiarkan terbuka. Sepertinya mereka sadar, akan kehilangan atasan yang memiliki dedikasi tinggi, meski terkadang pola kepemimpinannya kurang begitu mereka sukai.
Setelah selesai mengepak barang dan berpamitan pada atasan dan karyawannya,bergegas ia menuju basement dan memacu mobilnya pergi meninggalkan kantor ini, pergi dan tak kembali. Belum lama ia mengemudikan mobilnya, sebuah mobil Mercy hitam mengklaksonnya berkali-kali dari belakang. Bukan malah berhenti, Intan semakin mempercepat laju mobilnya. Mungkin orang iseng pikirnya, toh ia tak berbuat salah, dasar orang aneh, masih saja mengklakson. Bulu kuduk Intan semakin merinding, mobil itu masih saja membuntutinya, kali ini laju Mercy hitam meninggi, hingga mampu menyalip mobilnya.Perlahan Intan menghentikan laju mobilnya, menepi. Segala pikiran buruk coba ia tepis.Tangannya berkeringat dingin, mengumpulkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Mobilnyapun berhenti, begitu juga mobil mercy hitam di depannya yang juga ikut berhenti. Kali ini keberaniannya memuncak,paling tidak ia harus menyelesaikan tindakan konyol pengemudi Mercy urakan itu, pikirnya. Untungnya sewaktu kuliah dulu, dirinya ikut UKM beladiri. Paling tidak ada sebuah perlawanan berarti meski akhirnya harus kalah.
Intan keluar dari mobilnya, berjalan mendekati Mercy di depannya. Langkahnya tiba-tiba terhenti, seorang laki-laki berpakaian kasual keluar dari mobil itu.Mata Intan terpana, terpaku akan sebuah pemandangan di depannya.
“Assalamu’alaikum, Farah merindukan bundanya,” ucap laki-laki itu sambil merangkul bahu seorang anak disampingnya.
Buliran airmata membasahi pipi Intan, ia ingin mengucapkan sepatah kata kerinduan,lalu menghambur ke pelukan orang yang dicintainya.
“Ayo, Farah, panggil Bunda untuk pulang,”ucap laki-laki itu sambil menuntun maju anak kecil yang bernama Farah.
“Assalamu’alaikum, Senora…”ucap laki-laki itu sambil menghapus buliran air mata di pipi Intan.
“Wa’alaikumsalam, Senor,”ucapnya terbata.
Siang itu begitu sejuk bagi Intan. Tak pernah ia rasakan kesejukan siang yang sangat. Jiwanya begitu damai. Berjuta ucapan syukur ingin ia muntahkan pada Sang pembuat matra kehidupan, menciptakan rekamatra kehidupannya yang menakjubkan. Hanya hamburan pelukan yang ia lakukan, menjawab semua rasa yang lama ia pendam. Menghambur kedalam pelukan kedua jantung hatinya.


Dalam ambigu eksistensi diri
Re_

Kontemplasi lagi, lagiii dan laaagiiii………

Pernahkah kau berpikir teman, tentang hidupmu? Tentang eksistensimu?Mengapa dan apa gunamu di dunia? Sejak kecil, sejak pertama aku bisa mengingat, itulah pikiran pertama yang terbesit dalam benak, sambil lalu dengan jawaban mengambang, bagiku biarlah waktu yang menjawabnya. Begitulah, hingga sampai akhirnya aku kebingungan sendiri dalam makna eksistensinya, karena meski aku cenderung penganut easy going tapi aku selalu tak ingin stagnan, maka pertanyaan itu selalu terngiang, hingga dalam mimpiku, namun tetap saja aku masih menganggapnya sambil lalu. Lama-lama kubosan, aku kecewa pada waktu.Waktu berjalan arogan, tanpa beri jawaban, beriku waktu untuk sekedar meraba. Ah, lalu setelah kupikir-pikir mengapa pula kusalahkan waktu yang bungkam? Bukankah dari waktu yang berjalan terbentuklah matra kehidupan yang penuh labirin, hanya diriku saja yang malas untuk terus mencari pintu, hingga kumampu merangkak lebih maju.
Sekarang kuputuskan untuk menjawab, dengan berpikir tentunya, aku kurang terlalu yakin dengan peran perasaan dalam proses perubahan. Pikirku mengatakan perasaan adalah komponen penguat setelah berpikir, maka muncullah apa yang disebut keyakinan.Perasaan akan menguatkan pemikiran kita, karena itu keyakinan kian kokoh.
Lalu ada sebuah pertanyaan muncul di benakku, Apakah aku akan menjadi orang seperti yang biasa kulihat disekitarku?Seperti merekakah?Aku akan tumbuh besar, bersekolah, jika mujur bisa sampai ke perguruan tinggi, menikah, punya anak, cucu, cicit lalu seterusnya, dan mati?Mirip dengan kebanyakan orang, tentunya, bukankah diriku juga orang?Ah, aku menjadi jenuh. Kalau begitu tak ada yang istimewa pada diriku, Apa yang memberiku arti hingga aku berarti dan terasa istimewa?Kutakbicara soal kecerdasan ataupun keelokan fisik?Karena jawabnya sudah bisa kutebak, Standart. Manusia yang standart. Jika aku lebih dari hewan, maka egoku kini meninggi, aku ingin lebih dari manusia pada umumnya. Indra keenam?apa pula itu?aku tak paham, mungkin aku tak punya, jadi lupakan khayalan itu. Lalu apa sebenarnya yang buat hidup lebih dari sekedar hidup kebanyakan?
Itulah kebingunganku teman, tak apalah jika kalian tak ingin sepusing aku, memang tak usah terlalu dipusingkan,mungkin ada benarnya pula aku terlalu berlebihan, lalu kau mencibirku,Mengapa hidup kau bikin susah sendiri?Lalu kau sendiri hidup buat apa? Buat makan atau makan buat hidup?buat jadi orang kaya?buat cari cowok atau punya pacar banyak?atau hidupmu buat cari kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya?
Tentu, aku juga inginkan itu teman, tapi itu nanti dulu. Percayalah, aku sudah hampir mengalaminya, meski tak seperti orang lain, karena bukankah segala yang terjadi bumbunya akan berbeda permasing kehidupan manusia? Tapi aku bukan ingin itu dulu, sekali lagi, belum itu dulu.
Jika itu dulu, maka semisal kebahagiaan aku akan bertanya lagi, kebahagiaan macam apa?kaya seperti apa?apakah tepat pula jika kusamakan dengan pendapat kebanyakan orang?Jika ya, mungkin makna kebahagiaan adalah pemuasaan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya, semisal bagi orang yang lapar akan mengatakan kebahagiaan adalah makan sepuasnya, berbeda-beda. Lalu akan muncul pertanyaan apa sebenarnya kebahagiaan itu?Tidakkah itu bisa disamakan?Kebahagiaan global misal?
Hahaha…lalu kau akan menertawakanku sambil terkencing-kencing di celanamu. Mungkin kau akan berkata jika segala sesutau kau pikirkan tak jelas seperti itu kau bisa menjadi kandidat penghuni RSJ nomor wahid. Ah, dikau teman,tega benar. Lalu bagaimana, banyak teman yang kutanya tapi hanya menjawab sambil lalu, seolah pertanyaanku konyol saja. Tiba-tiba terbesit pertanyaan, Apakah manusia bisa menentukan apa yang baik bagi dirinya semisal bahagia haqiqi menurutnya? Lalu, ia akan umumkan dan patenkan menjadi sebuah patokan bagi semua manusia?Lalu bagaimana jika tak sesuai bagi yang lainnya? Bulshit, diman kemutlakan itu ada? Ah, algi-lagi kau akan menertawakanku. Yah, kutahu seperti yang kita pelajari bersama tentang kemutlakan dalam filsafat adalah nihil,nir…Tapi sudah lama kutakyakin dengan jawaban dari berfilsafat yang semakin memberi keabsurdan. Hakikat kebenaran yang dicari tidak lagi sebuah hakikat, akrena mereka, para filosof lagi kebingungan menterjemahkan kehakikatan. Jika akal sudah kepalang mentok, mereka selalu berujar, memang tak ada sesuatu yang mutlak didunia ini ibarat sebuah nilai yang sangat nisbi. Bagiku mereka gagah di awal atau cuman gagah-gagahan, masak iya, iya gak sih?
Lalu standard kehidupan, termasuk hidup dan guna kuhidup, kucari pada siapa?dimana?sekarang kau bungkam teman,menatapku tajam, kau ingin jawab, tanya saja ke dosen Filsafat, tapi urung kau lakukan, karena kau tahu itu bukanlah solusi, atau kau mau mengatakan tanya saja ke psikolog, tapi juga urung kalakukan, karena kau juga tahu para psikolog belajar psikologi, sama saja, tentang filsafat cuman obyeknya adalah manusia, jiwa manusia. Kali ini kau benar-benar bungkan, tak berani menertawakanku lagi. Kau semakin terlibat dalam irama sesuatu yang membuatku bingung, dahimu berkenyit tajam,kau semakin bingung, terlihat dari berkali-kali kau garuk kepalamu yang tak gatal, karena kutahu kau rajin shampoan, tak sepertiku yang sudah lumutan.
Akhirnya, kuterduduk lemas, tak berani tatap mentari, sinarnya menyengat seolah menghinaku.Lalu…………………
Silahkan lanjut pada kontemplasiku selanjutnya
.he…he…

Re_
Urung selesai teman

Selasa, 02 September 2008

Saat itu tlah tiba

Kukerjapkan mata berkali-kali, hingga perih rasanya, tak jemu kupandangi laju jarum penunjuk waktu. Hampir Isya, ada sebersit rasa rindu, ada seberkas gores luka, luka yang tak kumengerti maknanya. Andai dua rasa itu terjelmakan hitam dan putih, saat ini pastilah hatiku abu-abu, warna yang busa buat jiwa mati, menurutku.
Sebentar lagi Isya, Isya, tertanggal i september esoknya, berarti setelah Isya adalah terawih perdana. Pikiranku kalut, jantungku berdegup tak monoton.Re bentar lagi tarawih, esok dikau pastilah puasa, apalagi dikau tidak haid, kau tak bisa beralasan pada Tuhanmu, hatiku mempermainkan akal yang sedang berdegradasi. Iya aku tahu, siapa yang menyangkal saat ini tiba, sisi pikirku bicara. Lalu khayalpun tiba, memperkelam kesadaran yang ingin putih, pengandaian menjadi mozaik kata yang sukar direka. Andai saat ini masih berbulan-bulan kemudian, atau setahun lagi, atau beberapa hari lagi, kali ini khayal merajuk, menjilat minta posisi legalisasi. Jarum jam tetap melaju, tak mengindahkan kesimpangsiuran akal dan hatiku.
"Ahh..."akhirnya mulutku mendesah, hanya bisa mendesah, masing-masing masih bersitegang dalam perang sunyi dalam diri yang letih, letih merasai diri, letih merajai langkah yang kian tertatih dalam labirin kehidupan.
"Tuhan...."kini mulutku mulai bisa berteriak, berteriak atas kekonyolan diri yang belum mampu memberi warna pada eksistensi. Jarum jam kian berlalu, dari jam menjadi menit kemudian detik. dan................
"Aaaaagggghhh.........."akhirnya teriakku tak tertahan, tubuhku bergunjang hebat, apakah gempa?apakah aku akan mati dalam perubahanku yang terus mengalami degradasi?apakah ini Tuhan jawaban atas kelahiranku ke dunia?tidakkah Kau berikan aku kesempatan lagi untuk menambah citarasaku?Tuhan.....aku...
"Hei....Re kamu itu ngapain nduk,sana cepetan wudhu dah adzan",ucap Ibu sembari terus menggoncang tubuhku yang mulai kaku.


Wualaah Reeeeeeeeeee!!