Jumat, 05 September 2008

Kontemplasi ala Re

“Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan…”
“pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan…”
“…satu-satunya yang dapat kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu…”


Urung kulanjutkan membaca buku tentang filsafat. Beberapa paragraf saja membuatku lama berpikir. Pikirku berputar antara keheranan dan pemahaman yang sudah terlanjur kuterima bahwa filsafat itu menyesatkan, cara berpikir tak layak buat gapai keimanan haqiqi. Tapi sudahlah, biarlah info itu berhenti pada tataran pemahaman, aku hanya ingin jujur pada diriku, mencoba belajar memahami konteks dari nol. Biarlah kuraih kesadaran pikirku, begitulah sebuah azzam kulantunkan. Kemudian kubaca buku tersebut perlembar. Seberkas senyum mengembang, merona di wajahku. Bukan, terlalu cepat mengatakan aku dapat pencerahan. Semakin membacanya, sama ketika membahas kajian tentang keimanan, hanya saja buku ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Lama pertanyaanku berkutat, tentang sebenarnya filsafat itu. Jujur lagi, aku tak begitu suka dengan jawaban instan orang yang langsung buyarkan asaku. “Sudahlah, ngapain belajar Filsafat dalam-dalam, kau akan pusing nantinya,” atau begini, “Filsafat itu akan menjerumuskanmu,”. Okey, tapi tolong jelaskan argumen kalian dulu, nihil. Kebanyakan mereka yang kutanya enggan berdiskusi panjang. Gak Asoy banget loe. Mengapa selalu berangkat naik bis tanpa mau naik bis lebih dulu, pinginnya langsung sampai ke tempat tujuan. Kembali pada kontemplasiku…
Lama-lama aku menjadi tertarik untuk membacanya lebih jauh, sudah beberapa buku aku baca, meski terkadang tak selesai. Aku tertarik pada apa yang membuatnya menarik, pada apa hingga sebagian orang menistakannya, hanya itu, belum lebih. Untungnya, ada mata kuliah Filsafat yang kuambil, dan yang paling asoy dosen pengajarnya bukan tipe penghapal apalagi pendoktrin, tapi lebih pada pendongeng. Jangan harap, ketika kalian ikut kelasnya, langsung tahu Filsafat adalah…, lalu tokohnya antara lain…, pembagian Filsafat antara lain…, tidak, sama sekali tidak langsung itu. Karena menurutnya tak terlalu penting. Prinsipnya memahamkan dengan cara beda, tak langsung, tapi tepat sasaran. Filsafat yang pertama kali kukenal, lebih banyak menggunakan analogi dalam mencotohkan sesuatu, mnurutku disinilah kecermatan pikir diasah, karena biasanya analogi itu multi interpretasi.
Para filsuf adalah seorang yang berpikir, memikirkan sesuatu yang dia ingin tahu, radikal dalam mendobrak kemapanan. Ataukah berarti Filsafat anti kemapanan? Kemapanan adalah sesuatu yang mapan, yang eksis hingga tak usah diusik lagi keeksistensiannya. Layaknya kutu anjing yang hidup di sela-sela bulu anjing, kutu tersebut ingin terbang, atau memanjat bulu-bulunya yang licin hingga dirinya mampu melihat si empunya bulu. Itulah Filsuf, berbeda dengan teman-temannya sesama kutu, lebih memilih mendekam dalam hangatnya bulu dan panas tubuh si anjing hingga enggan untuk bertindak seperti temannya, begitulah kira-kira. Para Filsuf sangat menyayangkan tindakan yang demikian, terlalu menerima dengan anggukan yang cepat, bahasa jawanya, Nrimo ing Pandum. Bagi mereka, para Filsuf, disitulah seharusnya yang membedakan manusia dengan makhluk lain, ada akal, Tentu akal sendiri adalah sesuatu yang tak langsung dapat diindra, itu yang membedakannya dari otak, akal yang dapat berfungsi dan ada pada manusia, tidak pada hewan. Namun, tidak semua manusia memiliki kesadaran pikir yang sama, tergantung kekritisan, rasa ingin tahunya, yang memacu akalnya bergerak aktif.
Pikir alias akal. Wow, menarik. Tak semuanya memiliki kesadaran berpikir?yah, tak usah dijelaskan lagi, contohnya seperti analogi kutu diatas. Kesadaran pikir manusia terbelenggu oleh doktrin atau mungkin mitos yang terlanjur ia percaya, hingga sulit untuk sekedar kembali berfikir lagi tentang segala sesuatu yang mampu diindra, tentang hidupnya, siapa dirinya, alam semesta. Jikalau menurut para pecinta kemapanan itu, kebenaran telah berada di tangan mereka, maka itupun lebih banyak karena penerimaan terlebih dulu, tanpa usaha berpikir dari awal.
Baiklah, Filsafat memang lahir karena rasa ingin tahu manusia, tidak hanya filsuf semua orang aku yakin jika mau kritis juga akan bersikap demikian, karena aku masih percaya pada agama yang kuanut, tak semua agama itu doktrinasi, tapi disini saya tak ingin bahas pembuktian dan lain sebaginya, bukan dalam bahasan kali ini, untuk sementara tak ada kata-kata agama disini, karena aku tak ingin menjadi penumpang bis tanpa naik bis. Keingintahuannyalah yang buat manusia berpikir, karena potensi yang ada dalam dirinya, Lalu darimana datangnya potensi ini ?tentu kita tak bicara tahyul, atau dengan jawaban “sudah takdir bung, mbak,jeng” atau lagi seperti jawaban penganut keabadian materialisme, “sesuatu itu ada dari materi, karena materi itu ada,”, kasihan sekali karena tentunya akan banyak orang yang tak percaya pada sesuatu yang buat tubuh ini hidup.
Sebenarnya, mereka entah yang mengatakan diri mereka Filosof atau bukan, berangkat dari persoalan yang sama, pencarian hakikat diri dan kehidupan, sesuatu yang sangat berarti ketimbang persoalan hidup yang lain, karena semisal makan, tidur, ngeseks atau yang lainnya tergantung pada penentuan jawaban akan hal diatas. Bukankah manusia ingin hidupnya bermakna, tak seperti mayat hidup, hingga ada slogan, buat hidupmu lebih hidup. Hanya saja dalam perjalanan meraih kesadaran pikir tadi yang bikin arah dan jawaban yang berbeda atau dengan kata lain, sangat boleh jadi para manusia membuat cara berpikir sendiri untuk meraih kebenaran jawaban tersebut. Pada mulanya memang demikian, mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran yang haqiqi, tapi lama-lama sebagian diantara mereka (meski sekarang sudah dijadikan patokan alias opini umum) mulai bertoleransi dan berkesimpulan bahwa tak ada kebenaran yang haqiqi, kebenaran mutlak, karena banyak filosof yang berbeda jawaban karena cara yang mereka gunakan memang menghendaki jawaban yang akan berbeda-beda pula. Semisal kasus darimana datangnya sebuah tanaman tumbuh. Ada yang menjawab dari tanah, karena pada waktu itu ia langsung mengamati tanaman muncul dari dalam tanah, ada lagi yang mengatakan tanaman tumbuh dari air, seperti pengamatan Thales(kata orang sih Filosof pertama) tentang segala sesuatu berasal dari air, karena selama perjalanannya ke Mesir, dia mengamati tanaman yang mulai tumbuh begitu banjir sungai Nil surut. Jawaban bisa berbeda meski semua berasal dari pengamatan. Aku pikir, mengamati saja semua orang bisa, tidak orok tidak orang tua. Tapi apa cukup hanya selesai pada pengamatan?. Memang pengamatan akan berhenti pada materi, sesuatu yang dapat diindra. Tapi hal itu kemudian akan bermasalah ketika disodorkan fakta yang nonreal? Fakta kok nonreal?Lho…bukankah dalam berpikir akan muncul beragam kemungkinan, boleh jadikan dunia ini tak terbatas, boleh jadikan tumbuhan itu tak tumbuh baik di tanah maupun diair, boleh boleh jadi kan ada yang namanya nyawa, spirit yang membuat tubuh ini hidup, boleh jadi juga ada kekuatan abstrak di luar jangkauan kita. Sampai disini, lama aku merenung, menyelami beragam pemikiran yang buatku makin absurd saja. Iya ya, semua bisa boleh jadi. Jawabanpun akhirnya boleh jadi, hingga memperkuat bahwa segala sesuatunya menjadi relatif, berarti juga boleh jadi, jawaban siapa kita sebenarnya berubah dari waktu ke waktu, tergantung zamannya, apakah kala klasik, modern atau postmodern?iyakan? lalu apa bedanya kita dengan kelinci percobaan?ya tidak ada bedanya, sampai disini, sama. Lalu jika kebenaran itu nisbi, berarti bisa saja aku menyimpulkan tidak ada kebenaran di dunia ini, semuanya abstrak, jadi hentikan tindakan konyol kalian mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran tak dibutuhkan lagi di dunia manusia, silahkan berinterpretasi sendiri-sendiri asalkan sudah melalui proses berpikir. Seperti apa dan sedalam apa proses berpikir yang kalian lakukan terserah pada diri kalian, karena tak ada sesuatu yang haqiqi.
Sampai disini, aku teringat dengan temanku kuliah yang memprotes nilai Filsafat mereka yang jelek, sementara mereka protes, aku banyak mendengar tanpa mau mengaku nilaiku A jika ditanya, aku hanya ingin tahu alasan mereka protes. “Bukankah kata beliau(dosen filasafat) tak ada kebenaran mutlak, keindahan mutlak, lalu mengapa harus ada ujian dan nilai?” Dan kami saling menjawab kenapa ya?aku sendiri juga tak tahu mengapa nilaiku A, apakah nilai begitu penting, jika segala ukurannya kian tak jelas, karena inilah, hingga kini aku tak begitu menghiraukan nilai A yang kusandang, boleh jadi aku dari total hanya 5 orang yang dapat A adalah terburuk dari mayoritas mahasiswa. Hanya sesuatu yang kerap menggelitikku adalah bagaimana si dosen sampai pada kesimpulannya? Bukan pada apa yang mereka pikirkan, tapi bagaimana mereka menyikapi apa yang mereka pikirkan hingga terbentuk beragam kesimpulan.
Apakah memang sesuatu yang mutlak itu tak pernah ada?apakah memang tak ada kebenaran mutlak?tak ada ataukah ditiadakan?ditiadakan oleh pikiran manusia yang boleh jadi menurut kesimpulan ngawurku terbatas?
Karena aku termasuk orang yang lumayan toleran, maka segala kemungkinan dari hal yang real sampai non realpun aku masukkan ke brankas otakku.Pernah suatu ketika mencapai titik kepuasan pikirku, beberapa waktu tak jenuh mempertanyakan sesuatu, tanpa menggubris pendapat orang atau literatur lain. Hanya saja, kemudian aku sadar terjerembab dalam jawaban khayalku. Kutanya Siapa Tuhan yang selalu dipuja, sosok yang paling digandrungi setiap masa?Lalu jawabanku sampai pada kesimpulan bahwa boleh jadi Tuhan memang ada, terbukti dengan adanya diriku, makku, adikku, si kucing, pohon, apa mungkin mereka menumbuhkan diri mereka sendiri, karena pernah kutanam tumbuhan di tanah tapi selalu mati, berarti tak benar juga kesimpulan yang menyatakan tanah menumbuhkan segala sesuatu. Jika memang benar tanah sumber kehidupan pastilah apapun yang kujatuhkan dan dengan cara apapun pastilah hidup, nyatanya? Lalu sosok Tuhan itu seperti apa? Kulihat tanganku, kemudian kakiku dan akhirnya semua tubuhku. Mungkinkah Tuhan itu wanita sepertiku?ataukah laki-laki?atau mungkin banci?mungkin saja, sehingga Tuhan memiliki tangan, kaki, rumah sama seperti kita, manusia. Begitulah, hingga aku kembali belum terpuaskan dengan sebuah pertanyaan ,“ lalu apa bedanya Tuhan dengan yang diciptakannya?bukankah Tuhan itu adalah agung ,maha lebih diatas segalanya?jika sama dengan yang diciptakannya berarti ia juga bersifat terbatas, jika manusia bisa mati, dan pastilah mati, maka boleh jadi Tuhan akan mati juga, lalu bagaimana otoritasnya sebagai Tuhan?” Ah. Bulshit. Aku bisa gila. Kontemplasi tanpa batasku ini mampu membawaku menjadi seorang ynag atheis.
Okeilah. Manusia memang punya potensi berupa akal. Itu alamiah, manusia juga bisa tak berakal, boleh dikata itu juga fitroh, semisal pada kasus orang gila, ia tak kuasa menolak dirinya gila, tak berakal. Lalu siapa yang buat itu semua. Kadang segala sesuatu terjadi di luar dugaan kita bukan?, lalu siapa yang buat rekamatra hidup itu? bukankah akan banyak pertanyaan Siapa setelah Mengapa? Siapa akan kita peroleh dari jawaban Mengapa bukan? Mengapa bumi bisa berputar?, Mengapa para planet dapat berputar teratur pada orbitnya?Siapa pencipta Orbit?Apakah segala sesuatunya simsalabim?lalu siapa yang buat sim salabim itu?. Itulah fungsi akal kita. Sampai dsini semuanya akan berjalan lurus. Lalu akan berkelok ketika akal dibiarkan berkelana tanpa arah, karena keterbatasannya, seperti kasus diatas. Manusia akan abstrak menilai wujud Tuhan, sesuatu yang jauh di luar jangkauan akalnya, sampai disini pikirkanlah, semoga ku tak mendoktrin kalian. Jujurlah, bahwa memang ada keterbatasan terhadap segala sesuatu, dan ada sesuatu yang tak terbatas yang buat segala sesuatu yang terbatas itu ada. Entah kalian menyebut sesutu yang tak terbatas itu apa. Tuhankah?atau apa?yang pasti itu mutlak ada meski dzatnya tak langsung dapat kita indra karena keterbatasan tadi. Tapi bukankah sesuatu yang tak terbatas itu jika boleh kusebut Tuhan, tak egois menciptakan sebuah doktrinasi keimanan. Karena iman harus ada karena percaya. Bagaiman percaya adalah dari proses berpikir. Bagaimana berpikir karena ada komponen berpikir . Lalu akhirnya perkenankan daku memberitahu komponen itu, meskipun boleh jadi banyak yang sudah tahu.
Setidaknya ada 4 komponen berpikir. Yang pertama ada otak (sebuah materi, hewan juga punya), yang kedua ada fakta(baik benda maupun peristiwa, sesuatu yang dapat diindra), lalu ada proses pengindraan dan yang terakhir, yang paling penting, adanya informasi sebelumnya, entah langsung terkait pada fakta atau sesuatu yang berhubungan dengannya .Mengapa penting?Taruhlah contoh seorang yang ingin mahir berbahasa China haruslah mempelajari buku panduan berbahasa China atau lewat orang yang mahir bahasa China. Seorang bayi tidak mungkin bisa belajar bahasa China atau hanya sekedar percaya sebuah batang dipegangnya adalah pensil , sebuah alat untuk menulis. Boleh jadi yang terjadi seperti keponakan saya yang masih balita, ia akan memakan pensil tersebut atau sekedar menendangnya dengan tangan, persis sama yang dilakukan kucingku. Mengapa itu terjadi karena bayi ataupun balita tidak memiliki informasi sebelumnya . Tapi bisa sajakan, karena otak mereka yang belum berfungsi sempurna? Baiklah. Taruhlah, seorang manusia dewasa dihadapkan pada tulisan jawa, Jika tak ada sebuah pembelajaran atau Informasi sebelumnya, meski berpikir sejebat apapun tak akan berhasil membacanya.
Sehingga, akhirnya aku masih percaya hingga kini bahwa kebenaran mutlak itu ada, sama percayanya akan sesuatu yang Maha. Ini bukannya doktrinasi, aku terbukti sampai tujuan sesuai keinginanku, tentunya dengan syarat ketepatan penggunaan cara berpikir kita. Sudahlah, segera saja kalian berkontemplasi. Selamat berkontemplasi, temukan hakikat diri, melakukan petualangan pikiran menemukan siapa dibalik segala keterbatasan.

Re_ lagi belajar nulis
1:52 am, 4 september 2008

Tidak ada komentar: