Minggu, 21 September 2008

kotak versi baru

'kotak'
Saya tidak akan berbicara kotak dalam analisis matematika,tapi bicara wacana lain tentang kotak. Berawal dari obrolan yang menemukan sebuah wacana tentang kotak. Diskusi inipun berawal dari kemumetan saya setelah beberapa lama mengikuti mata kuliah filsafat. Satu-satunya mata kuliah yang bikin saya tambah puyeng daripada mudengnya. Selalu saja saya menjaga kepala tetap tegak ketika kuliah berlangsung , melawan ngantuk yang tiba-tiba hinggap,sementara mayoritas teman-teman lebih memilih bertopang dagu dan mengobrol sendiri. Saya terpana ketika untuk pertama kali bagi saya, ada dosen jurusan kuli gambar yang memaparkan kuliah tentang kehidupan,sejak sekian lama kami, para mahasiswa berkutat tentang gambar-menggambar, meskipun hingga kini saya belum bisa menjawab apa relevansi filsafat ilmu dengan jurusan yang saya tekuni, pun ternyata dialami oleh teman-teman juga. Beliau memperkenalkan tentang filsafat sebagai cara berpikir alternatif,mendobrak status quo cara berpikir yang ada. “Manusia adalah makhluk yang berpikir ,hanya saja tidak semua orang memiliki kesadaran berpikir.”Saya yang dari tadi mengantuk berat, tiba-tiba bersemangat untuk mendengarkan kuliah beliau (tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai ceramah),sejenak saya berpikir tentang apa yang beliau paparkan tentang kesadaran berpikir. Saya mencoba memahami apa yang beliau maksud tentang kesadaran berpikir, hal yang perlu saya lakukan karena boleh jadi apa yang beliau pahami tentang hal tersebut berbeda dengan yang saya pahami.Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa hilangnya kesadaran berpikirlah yang menyebabkan kemunduran kondisi bangsa. Cara berpikir manusia telah terdoktrin oleh cara berpikir pada umumnya, telah terkungkung oleh salah satu cara berpikir yang menyebabkannya sulit menerima cara berpikir lainnya.Itulah mengapa berpikirnya kebanyakan orang susah berkembang, terlalu cepat menyalahkan suatu hal yang berbeda dalam sudut pandangnya. “Coba, sekarang kalian semua pandang dan lihat saya, tentunya ketika saya tanya ,Apa yang anda lihat dari penampilan saya, mahasiswa satu dengan yang lain akan berbeda, mahasiswa yang berada tepat di depan saya akan menjawab berbeda dengan mahasiswa yang ada di samping saya, Meskipun begitu tentu saya tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan, karena semua memiliki sudut pandang yang berbeda”papar beliau diikuti anggukan para mahasiswa.Masuk akal juga.Beliaupun menuju papan tulis dan mulai menggambar sesuatu, sebuah kotak dengan titik diluar kotak. “Saya ibaratkan kotak ini adalah penjara, sedangkan titik di luar adalah napi yang berhasil kabur dari penjara,pada waktu itu polisi berusaha mencarinya di semua sudut dalam penjara tapi tidak ketemu, pertanyaannya mengapa polisi begitu sulit menemukan, silahkan anda menjawab.”kamipun langsung menjawab bahwa polisi tidak berhasil menemukan karena hanya mencari di dalam penjara saja.Beliau tertegun dan melanjutkan pemaparannya. “Begitulah ketika manusia terjebak pada satu kotak pencarian saja, seandainya polisi itu mencari di luar kotak, tentulah peluang menemukannya akan jauh lebih besar.” kali ini saya tertegun, mencoba memahami makna implisit ucapan beliau.”Manusia seyogyanya berusaha keluar dari kotak berpikirnya selama ini, berpikir di luar kebiasaan, berusaha mecari hakikat sesuatu dengan lebih leluasa.”paparan beliau menyudahi kemumetan saya, maklum saya termasuk orang yang susah memahami kata- kata yang tidak lugas.
Humm……keleluasaan berpikir mencari hakikat kebenaran, begitulah inti paparan beliau yang saya tangkap. Jika boleh saya memberi judul perkuliahan ini adalah “Pencarian makna dibanyaknya analogi berpikir”, karena sejauh ini beliau banyak beranalogi ketika membahas sesuatu, maka saya juga akan belajar beranalogi.
***
Membahas tentang terminal bis, tentu obyek utamanya adalah bis, jika tak ada bis maka terminal itu akan tertolak sebagai terminal bis, begitu juga dengan terminal bis juga akan tertolak jika diaku sebagai terminal kereta api, karena memang dari fungsi awal berdirinya sudah khusus sehingga sarana prasarana yang dibangun juga akan khusus.
Namun baik bis, kereta api, kapal terbang, kapal laut, semua pastilah memiliki orientasi gerak. Tidak ada yang membuat dengan tujuan agar benda-benda ini tetap diam karena fungsinya sebagai alat transportasi.Karena itulah mereka memiliki jalur sebagai media gerak. Agar berkendara menjadi lancar, pastilah ada aturan mengemudikan yang benar, aturan berlalu lintas.Jika sedikit saja dilanggar, atau ada peraturan berkendara yang tak ditaati, pastilah akan mengacaukan tatanan lalu lintas.Tidak perlu untuk diuji, toh sudah banyak kasus kecelakaan yang terjadi akibat mal praktek/human error, tentu kecelakaan yang banyak terjadi tidak langsung dengan tergesa akan kita jawab, “Segala sesuatu yang terjadikan sudah ketentuan dari Tuhan” atau “Ah biar sajalah, terserah dengan tindakan kita, mal praktek ataupun bukan, toh ntar juga akan kita pertanggungjawabkan”.
Aturan berlalulintas yang telah ditetapkan misalnya tentu bukan merupakan sebuah paksaan. Sudah sewajarnya kalo Bis melaju di jalan darat, kapal laut di air, kapal terbang melaju di udara, jika kapal terbang melaju di darat maka namanya bukan sedang terbang, dalam bahasa inggrispun namanya landing artinya fungsinya untuk terbang belum terpenuhi. Oleh karena itu, semuanya memiliki pongkalan yang berbeda memang dan juga aturan mainnya ,tidak bisa dikawinsilangkan. Lalu lintas yang teratur tentu lebih dipilih daripada kondisi lalu lintas yang semrawut, negara pengusung liberalismepun akan setuju dengan hal ini, apakah mereka akan mendemo bahwa lancarnya lalu lintas adalah penjara bagi kebebasan berkendara?? Jika memang mau mengikuti alur fredoomnya, pengendara bisa menciptakan kondisi lalu lintas yang diinginkan, ia bisa bertindak ugal-ugalan dalam berkendara, terserah akibatnya nanti, yang penting dia sudah berexperimen, dan silahkan simpulkan sendiri hasil akumulatifnya. Tentu ada aturan sehingga proses berkendara bisa rapi dan tidak menimbulkan petaka bagi manusia itu sendiri, baik yang berkendara maupun tidak. Aturan dari mulai melaju hingga kembali ke pangkalannya, begitu juga kendaraan lain yang kembali pada titik tertentu, semua ada batas laju, artinya dari acuan berangkat sampai acuan berhenti ada aturan dan media laju yang kudu dipatuhi sehingga tujuanpun bisa dicapai dan tidak mall praktek sehingga tidak akan sampai pada tujuan yang direncanakan. Begitulah analogi diatas dengan proses berpikir yang juga bermacam-macam. Berpikirnya manusia ibarat proses laju, tentu harus ada metodenya, yaitu metode berpikir rasional, dengan bermacam cara berpikir, baik berpikir ilmiah, berfilsafat (ilmu mantiq),dll.
Metode berpikir rasional adalah baku, Mengapa saya katakan baku? Bukannya saya melakukan doktrinasi,namun karena memang merupakan berpikirnya manusia pada umumnya. Mengapa juga saya bedakan antara metode dan cara? Karena memang keduanya berbeda, metode adalah teknik baku pelaksanaan, sedangkan cara adalah teknik yang bisa berubah-ubah, disesuaikan oleh kondisi pelaksanaan,meskipun tidak pernah jauh menyimpang dari metode pokoknya.Menurut pemahaman saya, manusia berpikir memerlukan 4 komponen, yaitu otak, panca indra,fakta, dan informasi tentang fakta itu sebelumnya.Jika salah satu dihilangkan maka berpikirnya tidak akan utuh. Contoh simplenya adalah ketika seorang dewasa atau profesor sekalipun yang buta pengetahuan tentang huruf china, samapi kapanpun taka akan mampu membaca tulisan berbahasa China. Ia harus belajar dulu (beragam pengetahuan tentang tulisan China) baru ia mulai bisa membaca dan menterjemahkan maksud tulisan tersebut. Ketidakmampuan si profesor membaca dan menterjemahkan tulisan China bukan karena ia bodoh, atau tidak berakal sehat, hanya saja belum sampai padanya pengetahuan tentang bahasa China, salah satu komponen penyempurna proses berpikirnya. Sedangakn maksud akal adalah pikiran itu sendiri, sesuatu yang tidak konkret tapi nyata, ada dalam penampakannya yang lain, dari produknya. Akal adalah pikiran, proses berpikir, yang hanya dimiliki manusia, maka kesadaran berpikir hanya dimiliki oleh manusia, bukan hewan. Nah, jika ada manusia yang berkelakuan layaknya hewan, seperti kumpul kebo, memamerkan aurat, bugil, bukan berarti manusia ini tidak punya akal, tapi ia melakukan sesuatu yang dilakukan hewan dalam bertindak. Manusia tidak menggunakan akal yang menjadi potensinya, tapi cenderung mendewakan kebutuhan nalurinya untuk dilakukan pemenuhan.
Itulah kesadaran berpikir, dalam artian penulis, adalah bentuk kesadaran manusia akan potensi yang didapatnya gratis dari Sang Pencipta, untuk ia gunakan memikirkan dan merenungi tentang keberadaan dirinya, alam semesta dan kehidupan yang meliputinya, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, yang menjadi sebuah kebingungan (mungkin, sampai disini maka lahirlah banyak filosof dengan tesis filsafatnya yang berbeda satu sama lain)tentang Siapa di balik ini semua?Siapa yang menjadikan?Siapa yang mengatur hingga tertata satu dengan lainnya?Aknkah materi itu sendir berkuasa?atau Siapa? Berkali-kali, Sampai berabad-abad terus dipikirkan kalangan filosof, para pemikir. Memang bagi seorang pemikir, seorang yang tentunya tanggap, inilah yang menjadi kebutuhan untuk segera diselesaikan, harus diketahui tepat jawabannya, untuk kemudian ia dapat menjalani hidupnya dengan gamblang, tanpa abu-abu lagi. Karena ini adalah hal yang mendasar. Inilah kesadaran berpikir. Sadar memikikan dasar, falsajfah kita ada, kita hidup dan menjalani kehidupan, berkelana mencari eksistensi diri dan kebahagiaan. Tentulah ini adalah kunci emas menuju pintu pencerahan. Memang kesadaran berpikir, penulis setuju jika tak ada doktrinasi karena akan memampatkan laju pikir. Ada doktrinasi, berarti ada tekanan, membuat orang takut berpikir rasional. Filosof sangatlah menyadari bahaya ini, sebuah pengalaman pahit akan doktrinasi gereja. Tentu masalah diatas adalah manyangkut masalah keimanan, Tuhan memberi peluang yang besra bagi kita untuk berpikir, dalam jangkauan yang memang mampu dipikirkan manusia, mampu dijangkau akal. Karena dalam perjalannya, memang ada hal yang pantas disebut rambu, hal yang tak bisa kita jangkau, conto yang pasti adalah tentang dzat Tuhan. Tuhan sepertia pa dan kerajaannya seperti apa, sampai jebatpun tak akan mendapatkan hasil jawaban yang 100% benar. Disinilah akal tunduk, ini bukanlah doktrinasi, penghambat kesadaran berpikir, penghambat kebebasan berpikir. Tapi sejujurnya, bagi para pencari kebenaran, tentu dengan maklum akan setuju dengan hal ini, jika ngotot dipaksakan bahwa akal bisa menjawab, pastilah jawabannya nisbi. Hanya gambaran akal manusia. Tidak bisa dibuktikan.
Berpikirnya manusia, tentulah ada jalur, seberapa ngawurnya ia akan berkelana dalam pemikirannya. Arahan yang akan mengantarkannya pada tujuan mencari jawaban sesuatu yang ingin diketahuinya. Hanya saja, agar tidak saling tabrak, tentu jalur yang dipakaipun harus tepat, agar sampai ke tempat tujuan. Berpikir ilmiah memang tak salah jika digunakan ketika meneliti suatu benda yang tunduk pada penelitian manusia, yang boleh jadi hasil penelitian kan bisa terbantahkan di kemudian waktu oleh hasil penelitian lain yang dinilai lebih valid. Jika metode ilmiah (cara berpikir dengan meniadakan informasi sebelumnya) dipakai dalam proses keimanan, akan tidak sampai tujuan yang diharapkan, yaitu menggapai keimanan yang haqiqi, keyakinan yang bulat, tidak subhat, karena perkara untuk meyakini dzat Tuhan hanya bisa dicari lewat perantara keberadaannya ciptaannya (seperti analogi simple, ada kursi pasti ada pembuatnyakan?) bukan sampai harus menghadirkan secara nampak mata akan dzat Tuhan, maka hal itu, bagaimana tentang konsep dzat Tuhan, perkara dimana keberadaannya, akal tunduk pada informasi langsung dari Tuhannya, yaitu lewat Kitab suci yang tersampaikan lewat RasulNya. Tentu ini bukanlah doktrinasi, kita gunakan metode berpikir rasional dalam hal ini, sekali lagi bukan metode ilmiah.
Oleh karena itu, terkait perbedaan memahami dan menghukumi fakta dan peristiwa, memang harus dilihat banyak hal sebelum menjatuhkan justifikasi, penulis sepakat dengan sang dosen filsafat, hanya saja kita juga jangan terlalu berlaku toleransi, harus diteliti dulu pertamakali, yaitu kesesuaian pemakaian cara berpikir. Sudah tepatkah? Baru dilihat analisis dan dasar argumennya? Jika dari awal sudah tidak tepat menempatkan cara berpikir, mengapa juga dibutuhkan toleransi berkepanjangan? Tentunya teman menolak jika pisang goreng, saya anggap ketela goreng, gara-gara sudut pemikiran yang saya gunakan beda. Atau teman saya samaratakan dengan orangutan, gara-gara memang demikianlah hasil penelitian ilmiah saya? Manusia dianggap orangutan yang berevolusi. Walah-walah. Padalah jika mau merunut potensi yang membedakan manusia dengan hewan, tentulah ini tertolak. Kawin silang pemikiran yang gagal dari awal.Iyakan?iya nggak sih???Lalu hubungannya ma kotak diatas?iyaya..apaan ya?he2
Re_
Akhirnya diskusi kamipun terpaksa diakhiri karena waktu sudah beranjak dini hari

Tidak ada komentar: