Jumat, 21 November 2008

Ora Nggenah...


Itulah ungkapan yang saya rasa lebih mirip umpatan, lontaran suara dalam hati ketika saya nimbrung di suatu ajang diskusi antar gerakan di sebuah kampus swasta. Judul diskusinya lupa-lupa inget, intinya kajian wacana perjuangan menuju tegaknya Khilafah di era sekarang. Saya yang waktu itu datang malu-malu bersama teman saya yang bongsornya minta ampun, langsung menjadi sorotan teman-teman gerakan lain. Maklum kami satu-satunya yang mengopinikan gagasan perlunya perjuangan penegakan syariat dengan institusinya Khilafah. Dari awal kami sudah bisa menebak arahan diskusi ini. Bagi kami tak masalah, asal sudah puas menyuarakan apa yang menjadi idealisme kami, tentunya saya berusaha mengatur retorika secantik mungkin, sebuah problem kebiasaan he2. Semua perwakilan gerakan mulai memaparkan statemennya. Kalau dari GEMA sudah terlalu biasa di telinga saya,tapi kemudian telinga saya tergelitik dengan opini dari satu temen mitra. Keren sekali mereka, unik, lucu. Mendengar statemen mereka membuat saya merasa sedang mempelajari bangunan eklektik, atau mempelajari kawin silang antara kebo ma kambing. Statemennya gado-gado, semakin mengingatkan saya pada konsep dekonstruksinya Derrida. Lama-lama saya banyak mendengar opini para temen mitra,seragam meski beda kotak. Tanggapan mereka terhadap konsep perjuangan (dalam artian pemikiran dan metode pelaksanaan perjuangan islam ) cukup unik. Ada yang malu-malu kucing, ada yang bikin formula abu-abu, dan ada satu lagi yang lebih unik, ya itu tadi membuatnya seperti ngawinin paksa kebo ma kambing gara-gara siempunya merasa klo mereka (kambing ma kebo)sama-sama mamalia, punya 4 kaki, tak ada salahnya dicoba dikawinin.

Ada si mas cute-cute berlomba dengan peserta lain mengacungkan tangannya, mencoba keberuntungan buat ditunjuk ma moderatornya ,akhirnya berkesempatan juga menjelaskan tentang unek-eneknya selama ini, Dengan cool ia memaparkan tentang perlunya memperjuangkan islam apalagi di era sekarang yang makin amburadul. Wah saya terkesima, manggut-manggut, merasa punya temen satu rasa, satu pemikiran meski beda kotak. Si masnya yang cute melanjutkan pemaparannya,”Semua perlu untuk diperjuangkan, semua ideologi. Yah…seperti bung karno dengan konsep NASAKOMnya,……”

Gubrak, saya merinding. Kekaguman saya luntur seketika, sebenernya waktu itu saya langsung pengen ngomong ma masnya“Permisi mas, maaf sebelumnya,mas tu sebenernya goblok apa stres sih, jelas2 tuh ideologi beda2, artinya punya pemikiran dan metode yang khas, enak aja ngawinin silang, klo stres tuh pake mikir doong jangan malu-maluin gini,” tapi kemudian niatan tersebut saya urungkan, saya merasa kok kurang pantas, untunglah ada sohib saya bongsor mengingatkan. Saya tak tahu apa jadinya jika tak ada yang mengingatkan. Bisa menambah daftar panjang perbuatan memalukan saya. Ah mungkin masnya kurang paham dengan pengertian ideologi. Sampai disini, memang perlu ditekankan ketika akan memulai diskusi, kesepakatan antara sebuah kata, jika tidak yah nantinya malah jadi debat kusir, debat mencari pembenaran bukan kebenaran. Suatu ketika saya pernah terkagetkan dengan opini seorang aktivis yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah ukhuwah islamiah, itu sama saja saya menyebut pisang goreng adalah sandal jepit, mau loe??walah2…

Sebenarnya apa yang diungkapkan masnya cute2 bukan sebuah wacana yang asing, hanya saja yang mengagetkan saya hal tersebut sudah mewabah di kalangan yang dikenal dengan plat aktivis dakwah. Saya pernah membaca konsep kawin silang nggak nggenah itu di Teologi Pembebasannya Michael Lowy. Dia mencoba mewacanakan dan melumrahkan keterkaitan antara ajaran Kristus dengan sosialismenya Marx. Sebenernya lumrah, bagi ajaran yang tidak punya pemikiran yang jelas dan ketiadaan metode dalam membumikan pemikirannya. Maka ia melihat sebuah peluang pada pemikiran seorang tokoh, mungkin si Michael lagi terkagum pada konsep sosialimenya Marx yang mirip dan bisa disamakan dengan ajaran Kristus. Akhirnya jadilah gado2, Ajaran Kristus yang sosialis. Mungkin nantinya bisa saja ada ungkapan’ islam sosialis’ atau ‘sosialime Islam’atau ‘komunis yang islami’ atau ‘atheis yang sholeh’ atau lagi sebutan Kyai Karl marx, Syekh Che Guevara. Walah….

Padahal, tidak ada gado2 yang seenak Warungnya Bu warni, itu kata saya. Maksudnya? Artinya menggado-gadokan ideologi, sesuatu yang telah pasti berbeda, malah akan mematikan ideologi itu sendiri. Percaya deh, meskipun saya berhusnudzan masnya berniat ikhlas dalam memperjuangkan konsep ini, tetap saja akan semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu perjuangan dalam membangkitkan masyarakat. Terakhir, untuk masnya cute2 atau penggila konsep teologi pembebasan , udahlah insaf, mendingan kita makan gado2 beneran di warungnya Bu Warni, re jamin ashoylah rasanya. J

Detik Pencerahan

Detik Pencerahan (memoar seorang saya)

Detik-detik kegilaan…

Yah, saya merasa waras kok! Saya berteriak berteriak berkali-kali , meyakinkan klo diri saya waras. Buktinya saya masih bisa mengindra kemudian memikirkan siapa saya dan lagi dimana. Tapi lagi-lagi saya tidak puas, saya tetap merasa GILA!perasaan macam apa ini?!Sialan!umpat saya berkali-kali sambil memelototi sebuah wajah di depan cermin yang semakin lama tak semakin terlihat ayu, memuakkan malah. Wajah seorang looser!tangan saya mengelus wajah saya yang mirip perbukitan terjal. Aduw!!tak sengaja salah satu gunung merapi di wajah saya tercakar,perih!lalu sayapun tersenyum simpul, yah ini rasanya perih, berarti saya masih bisa merasa, Hore!saya waras, saya masih waras!! Teriak saya diiringi wajah-wajah bengong teman2. Lalu merekapun acuh sambil mengucap “Gila loe re teriak 2!nggak waras loe!”, mendadak kepedean dan kebanggaan yang terbangun runtuh seketika, berarti saya masih gila??

Klimaks….

Mengapa mereka menyebutku gila?saya menceracau di dekat kali sambil mancing, Plung!kail pancing terjatuh dengan kasar. Saya tak tahan lagi!suara saya terdengar serak basahnya pingkan mambo, Baiklah saya akan akhiri semua ini. Tiba-tiba warna air kali yang tadinya mirip warna tai kebo berubah warna, menjadi biru berkilauan, aroma segar menyeruak menembus syaraf otak yang tak terkendali. Apakah ini jawabnya! Lalu sebuah badan terjun bebas ke kali, tak bergerak ,mengambang pergi terbawa arus…..

Plak!!ah ternyata cuman mimpi. Keringat dingin mengucur ringan dari ubun-ubun, meleleri wajah seorang saya. Naudzubillah! Bunuh diri?bukankah itu tadi mimpi seorang apatis yang bunuh diri? Dan tokohnya saya sendiri?bulu kuduk saya tiba-tiba meremang, badan saya menggigil. Semoga Allah senantiasa melindungi hambaNya dari kegilaan dan kebodohan diri. Fenomena bunuh diri, suatu langkah pengecut, meski banyak diminati orang apatis yang mentok solusi,Sampai disini, saya tidak akan langsung menyalahkan setan, karena memang tugas setan adalah menggoda anak adam, maka wajarlah, tapi pilihan untuk melakukan atau tak melakukan suatu kebejatan adalah masih dalam ranah kemampuan saya memilih.

Saya pernah mengalami kegalauan yang sangat, kegalauan yang menjelma menjadi ketakutan. Saya merasa tidak ada yang bisa menolong saya. Hanya satu yang masih berusaha saya percaya. Tuhan. Ya, hanya Dia. Karena permasalahan yang terjadi adalah langsung antara saya dan Tuhan. Permasalahan yang baru saya sadari , perang keimanan dalam akal saya. Ini adalah sebuah perang yang saya takuti. Karena solusi yang didapat akan menentukan pemaknaan hidup , saya tak mau menjadi mumi hidup. Tidak God!tolong, Please! Saya meratap pada sesuatu kekuatan yang saya sendiri mulai ragu. Ya!Saya pernah ragu pada eksistensi Tuhan! Ironisnya, itu terjadi ketika saya sudah mulai mengkaji islam secara intensif (katakanlah saya lagi menyandang plat aktivis dakwah). Entah bermula dari apa, saya mulai muak dengan keteraturan hidup , apiknya lagi itu ditunjang dengan kekecewaan saya melihat orang alim munafik.Hueek!! Saya merasa memasuki sebuah lubang orang-orang bersih, dan saya harus bersih, padahal kotoran di baju saya susah untuk dihilangkan. Saya mulai apatis. Apakah ini yang namanya perubahan? Apakah benar saya berubah karena kesadaran ataukah karbitan. Lama setelah pertanyaan itu muncul, hari-hari menjadi sebuah rutinitas bagi saya, dan saya berusaha mencintai alur rutin hidup ini…

Terus terang saya mulai mengkaji dan mulai terlibat di suatu kelompok dakwah karena ajakan kakak saya, dan apa salahnya untuk dicoba, toh waktu itu tak ada gerakan yang patut dipercaya, yah, saya pernah sangat kecewa dengan sebuah gerakan. Tapi bukan itu lagi masalahnya. Toh ternyata sebenarnya tak perlu dipersalahkan, sebuah khilafiah yg alamiah. Dalam kehampaan jiwa, saya mulai bertanya,mempertanyakan segala sesuatu yang menggelitik pikiran saya. Kebiasaan lama saya kambuh, membaca banyak novel dan komik, tapi itu tak mengahpus rasa hampa di jiwa. Yah, saya tahu seharusnya membuka kitab suci, tapi selalu urung saya lakukan. Mungkin hati saya telah mati. Lalu saya mulai berkenalan dengan filsafat. Saya mulai tertarik dengan bahasan filsafat, saya mulai melahap beberapa buku filsafat mulai dari yang kiri sampai berbau islami. Lama-lama bacaan novel filsafat, buku-buku kiri mengalahkan ketertarikan saya mengkaji Islam itu sendiri. Tak terasa saya semakin larut, apalagi ditunjang dengan kuliah filsafat dengan tenthor yang keren dalam memaparkan. Lalu pertanyaan mendasar itu terngiang lagi, pertanyaan Apakah benar ada Tuhan di balik segala yang saya lihat?lalu Tuhan seperti apa?dunia seperti apa?bagaimana sebuah idealisme diperjuangkan?pemkanaan dan penyikapan toleransi keberagaman pemikiran?

Jika dulu saya langsung terdoktrin menyalahkan filsafat sebagai penghambat kebangkitan, lama-lama saya mulai menyelami dan mencoba memahami filsafat itu sendiri. Lalu sampai pada sebuah kesimpulan. Tak ada yang salah dengan filsafat, Barat dapat keluar dari dark age karena jasa para pemikir, para filsuf juga, filsuf yang mendobrak kemapanan berpikir gereja, hingga masayrakat tercerahkan. Maka muncullah kapitalisme sebagai sebuah bentuk perlawanan. Lalu……

Ah saya tak perlu menceritakan semua masa dark age pemikiran saya. Memang benar saya pernah jenuh, bukan pada kajian keislaman yang saya ikuti, tapi jenuh pada kelembaman berpikir dan perilaku saya sendiri. Saya tak menyadari bahwa kesombongan saya dimulai ketia saya mulai masuk ke sebuah gerakan. Saya merasa superior. Langsung menjustifikasi pemikiran yang berlawanan bahkan langsung menyalahkan sesuatu pemahaman yang memang boleh ada perbedaan. Sampai disitulah kekakuan berpikir saya mulai terbangun. Lalu kejenuhan dimulai, karena saya adalah seorang pecundang nomor wahid dari banyak orang yang saya perolok sendiri. Saya meyakini sesuatu tanpa kesadaran, meyakini tanpa berbuat, terlalu banyak mencari kambing hitam atas kelembaman perjuangan yang saya azamkan. Lalu apa gunanya sebuah ideologi bagi diri saya? Ketika saya tak merasa memilikinya? Sampai disini saya berpikir. Dari awal saya sudah tahu bahwa keimanan haruslah diraih dengan berpikir yang cemerlang, maka keyakinan itu akan terpatri. Sebelum sholat, kita harus meyakini dulu kebenaran Islam, keyakinan terhadap keberadaan Allah yang menurunkan Alquran sebagai sumber hukum kehidupan. Tapi dasar manusia, jarang berpikir dan mengkaji lebih jauh, makanya gampang futurnya. Langsung merasa menemukan ketenangan setelah sekilas membaca tulisan Nietczhe, langsung merasa mendapat pencerahan setelah membaca tulisannya Marx, langsung terkagum dengan perjuangan gerilya seorang Che Guevara. Tapi ada ibroh juga, Kesadaran berpikir akan tumbuh ketika kau sering bertanya dan mencari jawabnya, lakukanlah banyak diskusi jika perlu, bertanyalah pada yang ahli, jangan langsung merasa cepat puas atas perubahan yang tlah dilakukan, adalah kunci untuk kebangkitan diri. Percayalah re, Allah menciptakan potensi pada kita bukan untuk menjadi bumerang bagi kita, hanya saja manusia sering menuhankannya hingga lupa pada Tuhan yang sebenarnya.

Kutak ingin Tuhan, Malaikat maut menjumpaiku dalam keadaan tangan hamapa tanpa perjuangan menegakkan dienMu ya Rob…

Semoga Kau memaafkanku Ya Allah, memaafkan kebangsatan yang pernah kulakukan

Gerakan adalah dimana dirimu bergerak untuk membumikan pemikiranmu, mempropagandakan pada setiap orang yang ada disekitarmu dengan kesadaran dan cinta karenaNYa bukan himbauan dari atasan atau semangat kebersamaan saja, tapi dari dirimu, karena ruh ideologi tak kan pernah mati selama denyut nadi masih terasa,

Minggu, 21 September 2008

Simbol yang jadi bumerang
Berawal dari diskusi dadakan saya bersama kakak. Sebenarnya sudah terlalu biasa bagi kami berdiskusi,karena menyebutnya sekedar nercakap-cakap kok tidak pas, karena memang yang terjadi diskusi, meski tak jarang berawal dari obrolan ringan, dan akhirnya memberat, dan tak jarang pula kamipun kewalahan, kadang sepakat terhadap sebuah penyelesaian suatu perkara, kadang bersikukuh pada pemahaman masing-masing, kadang buyar karena cenderung debat kusir. Ah memang si kakak, kalo pas ketemu saja (itupun nggak sering-sering) selalu berujung diskusi. Tapi dari situlah saya bisa menggali beragam ibroh akan sebuah perbincangan.
Suatu waktu kakak bertanya, “Hei Re, ada seorang muslimah, seorang akhwat, aktifis dakwah malah, di sisi dinding kosnya terpampang lebar poster Che Guevara, menurut adik, karena apa si akhwat nglakuin itu?”
Sejenak sayapun berpikir, saya paham maksud pertanyaannya, Che Guevara tentulah berbeda dengan tokoh Ibu kita Kartini, Che identik dengan tokoh pejuang kiri, tentulah akan sangat aneh ditemukan poster wajahnya terpampang lebar di dinding kos-kosan akhwat, aktifis dakwah Islam pula. Secara, azas perjuangan Nabi Muhammad dengan Che bagaikan langit dan bumi.
“Yah tergantung mbak,” saya mencoba menjawab singkat,
“maksudnya tergantung??”kakak saya bertanya dengan intonasi suara memberat. Saya sudah bakalan tahu, kalau ia akan langsung tanya balik.
“yah, manaketehek mbak, klo ditanya alasannya mah, mending tanya ke akhwatnya sendiri,” jawab saya sembari berkelakar. Eh, saya kira kakak saya juga ikutan tertawa, tapi bukan tertawa tepatnya, raut mukanya memang langsung berubah, berubah manyun, dahinya mengernyit,
“kok bercanda sih dek, yah mbak tahu, tapikan mbak tanya klo menurut adik, seandainya dikau gitu?!” katanya dengan sedikit hardikan
Wah, nih bakalan serius, jurus banyolan saya sudah tak mempan. Baiklah, secepat mungkin saya tata retorika dan bermodal jawaban asal yang masih beragam di kepala.
‘Ehm, bisa jadi itu hanya jadi spirit baginya…”
“Spirit bagaimana?” tanya kakak
“yah, mungkin si akhwat cuman mengambil sisi kegigihan perjuangan Che waktu bergerilya di hutan belantara,misalnya,”
“mengambil spirit?, bukan, mungkin juga si akhwat sudah terobsesi dengan si Che, hingga memajang poster di dinding , ia mulai melirik alur perjuangan Che…” nada kakak mantap tanpa memberi celah anggapan bahwa ia menyodorkan pertanyaan, tandanya, pernyataannya barusan adalah sebuah statement pendapatnya, bukan lagi kebingungan,
“Itukan sama saja ketika adik menempel poster Bush gede-gede di dinding atau pintu kamar adik, itu tandanya adik terobsesi…” kata kakak sambil menodongkan telunjuk jarinya ke arah saya.
Saya terdiam, singkat sekali untuk menyimpulkan, diskusi ini terlalu singkat untuk menghasilkan keputusan,
“ya, iya sih, saya memang terobsesi…”
“ nah kan, makanya, memang harus hati-hati mengobsesikan sesuatu, bisa jadi melenakan kita akan sesuatu yang justru berlawanan dengan arahan yang telah kita perjuangkan” kata kakak sambil beranjak dari tempat duduk dan menepuk bahu saya pelan. Meninggalkan saya yang diam terpaku.
“Maksud saya mbak, memang saya terobsesi ketika nempelin foto Bush, saya terobsesi untuk segera melenyapkannya dari muka bumi berikut pemikiran kejinya, terlalu picik hanya gara-gara poster saya berubah haluan, apalagi fotonya si Bush nggak ada gantenganya sama sekali, hih jijay…” gumam saya menyelesaikan ucapan yang belum tuntas.

Yah sekedar simbol, menjadi bumerang.

Re_

Sepetik Kesadaran tentang....

Hari itu anomali buatku, ada sebuah rencana tak terduga. Bulan inikan bulan puasa, seperti biasanya aku main ke kampus ISI, silaturahmi ke bagian muslimah sie kerohanian Islamnya,alias di masjid Kalimasada. Aku pikir berbincang dengan mereka sangat menyenangkan. Karakter orangnya macam-macam, ada yang diam saja, ada yang senang berbagi cerita. Suntukku akan keteraturan akan hilang ketika bercengkrama dengan mereka. Tak jarang pula kujumpai mereka dengan dua pakaian yang berebeda dalam waktu yang berbeda,kebanyakan mereka memakai kerudung (meski gaul), tapi ketika akan praktek semisal praktek menari mereka akan melepas kerudung, ironis mereka, dan kerennya mereka berbagi akan hal itu. Sore itu seharusnya ada kajian dan yang mengisi temanku, berhubung mendadak temanku kecelakaan, jadi vakum, tapi mereka tidak mau kalau vakum. Tertunjuklah diriku sebagai pengisi kajian, menggantikan. “ah yang benar saja, ku tak ada persiapan pren,”kataku jujur pada mereka, tapi entah mengapa juga kepercayaan mereka terhadapku tinggi sekali, bak anak kecil yang merajuk pada ibunya. Lalu kukatakan lagi pada mereka,”benar lho, kalau bahasan fikih wanita, pengetahuanku masih dangkal,” dan jawab mereka”ah m, apalgi kita, udah gak apa-apa”. Ya sudah, jadilah itu kajian perdanaku, tanpa persiapan pula. Alhamdulillah dalam ucapan dimudahkan Allah. Bener-bener Allah emang Maha Besar. Ya iyalah.
Kau tahu teman, jika menulis atau menggambar aku masih sanggup, tapi kalau suruh bicara aku masih terbata-bata. Maka hal itu paling aku hindari, aku terlalu takut jika perkataanku terlalu menggurui, sampai aku selalu mengulang pertanyaan pada mereka, “Apakah tadi yang kusampaikan jelas, tak terlalu sulitkan?” “Maaf, gak menyinggungkan?” karena kupaham teman, apa yang akan dan setiap kata yang kusampaikan akan sangat menyinggung mereka atau bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Katakanlah semisal pakaian atau dandanan, mayoritas mereka sungguh seperti wayang. Ataukah mungkin kuliah yang menuntut demikian ?entahlah. Maka etrakhir penjelasanku, aku menekankan kebenaran apa yang kusampaikan, dan kesadarn untuk melaksanakannya, inilah kewajibanku sebagai saudara, mengingatkan. Akhirnya semua terdiam, begitu juga aku. Mencoba me reka makna diam kami. Lalu tak terduga kamipun saling sharing, aku kemukakan pengalamanku pertama kali hijrah memakai jilbab dan kerudung. Asyik deh.

kotak versi baru

'kotak'
Saya tidak akan berbicara kotak dalam analisis matematika,tapi bicara wacana lain tentang kotak. Berawal dari obrolan yang menemukan sebuah wacana tentang kotak. Diskusi inipun berawal dari kemumetan saya setelah beberapa lama mengikuti mata kuliah filsafat. Satu-satunya mata kuliah yang bikin saya tambah puyeng daripada mudengnya. Selalu saja saya menjaga kepala tetap tegak ketika kuliah berlangsung , melawan ngantuk yang tiba-tiba hinggap,sementara mayoritas teman-teman lebih memilih bertopang dagu dan mengobrol sendiri. Saya terpana ketika untuk pertama kali bagi saya, ada dosen jurusan kuli gambar yang memaparkan kuliah tentang kehidupan,sejak sekian lama kami, para mahasiswa berkutat tentang gambar-menggambar, meskipun hingga kini saya belum bisa menjawab apa relevansi filsafat ilmu dengan jurusan yang saya tekuni, pun ternyata dialami oleh teman-teman juga. Beliau memperkenalkan tentang filsafat sebagai cara berpikir alternatif,mendobrak status quo cara berpikir yang ada. “Manusia adalah makhluk yang berpikir ,hanya saja tidak semua orang memiliki kesadaran berpikir.”Saya yang dari tadi mengantuk berat, tiba-tiba bersemangat untuk mendengarkan kuliah beliau (tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai ceramah),sejenak saya berpikir tentang apa yang beliau paparkan tentang kesadaran berpikir. Saya mencoba memahami apa yang beliau maksud tentang kesadaran berpikir, hal yang perlu saya lakukan karena boleh jadi apa yang beliau pahami tentang hal tersebut berbeda dengan yang saya pahami.Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa hilangnya kesadaran berpikirlah yang menyebabkan kemunduran kondisi bangsa. Cara berpikir manusia telah terdoktrin oleh cara berpikir pada umumnya, telah terkungkung oleh salah satu cara berpikir yang menyebabkannya sulit menerima cara berpikir lainnya.Itulah mengapa berpikirnya kebanyakan orang susah berkembang, terlalu cepat menyalahkan suatu hal yang berbeda dalam sudut pandangnya. “Coba, sekarang kalian semua pandang dan lihat saya, tentunya ketika saya tanya ,Apa yang anda lihat dari penampilan saya, mahasiswa satu dengan yang lain akan berbeda, mahasiswa yang berada tepat di depan saya akan menjawab berbeda dengan mahasiswa yang ada di samping saya, Meskipun begitu tentu saya tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan, karena semua memiliki sudut pandang yang berbeda”papar beliau diikuti anggukan para mahasiswa.Masuk akal juga.Beliaupun menuju papan tulis dan mulai menggambar sesuatu, sebuah kotak dengan titik diluar kotak. “Saya ibaratkan kotak ini adalah penjara, sedangkan titik di luar adalah napi yang berhasil kabur dari penjara,pada waktu itu polisi berusaha mencarinya di semua sudut dalam penjara tapi tidak ketemu, pertanyaannya mengapa polisi begitu sulit menemukan, silahkan anda menjawab.”kamipun langsung menjawab bahwa polisi tidak berhasil menemukan karena hanya mencari di dalam penjara saja.Beliau tertegun dan melanjutkan pemaparannya. “Begitulah ketika manusia terjebak pada satu kotak pencarian saja, seandainya polisi itu mencari di luar kotak, tentulah peluang menemukannya akan jauh lebih besar.” kali ini saya tertegun, mencoba memahami makna implisit ucapan beliau.”Manusia seyogyanya berusaha keluar dari kotak berpikirnya selama ini, berpikir di luar kebiasaan, berusaha mecari hakikat sesuatu dengan lebih leluasa.”paparan beliau menyudahi kemumetan saya, maklum saya termasuk orang yang susah memahami kata- kata yang tidak lugas.
Humm……keleluasaan berpikir mencari hakikat kebenaran, begitulah inti paparan beliau yang saya tangkap. Jika boleh saya memberi judul perkuliahan ini adalah “Pencarian makna dibanyaknya analogi berpikir”, karena sejauh ini beliau banyak beranalogi ketika membahas sesuatu, maka saya juga akan belajar beranalogi.
***
Membahas tentang terminal bis, tentu obyek utamanya adalah bis, jika tak ada bis maka terminal itu akan tertolak sebagai terminal bis, begitu juga dengan terminal bis juga akan tertolak jika diaku sebagai terminal kereta api, karena memang dari fungsi awal berdirinya sudah khusus sehingga sarana prasarana yang dibangun juga akan khusus.
Namun baik bis, kereta api, kapal terbang, kapal laut, semua pastilah memiliki orientasi gerak. Tidak ada yang membuat dengan tujuan agar benda-benda ini tetap diam karena fungsinya sebagai alat transportasi.Karena itulah mereka memiliki jalur sebagai media gerak. Agar berkendara menjadi lancar, pastilah ada aturan mengemudikan yang benar, aturan berlalu lintas.Jika sedikit saja dilanggar, atau ada peraturan berkendara yang tak ditaati, pastilah akan mengacaukan tatanan lalu lintas.Tidak perlu untuk diuji, toh sudah banyak kasus kecelakaan yang terjadi akibat mal praktek/human error, tentu kecelakaan yang banyak terjadi tidak langsung dengan tergesa akan kita jawab, “Segala sesuatu yang terjadikan sudah ketentuan dari Tuhan” atau “Ah biar sajalah, terserah dengan tindakan kita, mal praktek ataupun bukan, toh ntar juga akan kita pertanggungjawabkan”.
Aturan berlalulintas yang telah ditetapkan misalnya tentu bukan merupakan sebuah paksaan. Sudah sewajarnya kalo Bis melaju di jalan darat, kapal laut di air, kapal terbang melaju di udara, jika kapal terbang melaju di darat maka namanya bukan sedang terbang, dalam bahasa inggrispun namanya landing artinya fungsinya untuk terbang belum terpenuhi. Oleh karena itu, semuanya memiliki pongkalan yang berbeda memang dan juga aturan mainnya ,tidak bisa dikawinsilangkan. Lalu lintas yang teratur tentu lebih dipilih daripada kondisi lalu lintas yang semrawut, negara pengusung liberalismepun akan setuju dengan hal ini, apakah mereka akan mendemo bahwa lancarnya lalu lintas adalah penjara bagi kebebasan berkendara?? Jika memang mau mengikuti alur fredoomnya, pengendara bisa menciptakan kondisi lalu lintas yang diinginkan, ia bisa bertindak ugal-ugalan dalam berkendara, terserah akibatnya nanti, yang penting dia sudah berexperimen, dan silahkan simpulkan sendiri hasil akumulatifnya. Tentu ada aturan sehingga proses berkendara bisa rapi dan tidak menimbulkan petaka bagi manusia itu sendiri, baik yang berkendara maupun tidak. Aturan dari mulai melaju hingga kembali ke pangkalannya, begitu juga kendaraan lain yang kembali pada titik tertentu, semua ada batas laju, artinya dari acuan berangkat sampai acuan berhenti ada aturan dan media laju yang kudu dipatuhi sehingga tujuanpun bisa dicapai dan tidak mall praktek sehingga tidak akan sampai pada tujuan yang direncanakan. Begitulah analogi diatas dengan proses berpikir yang juga bermacam-macam. Berpikirnya manusia ibarat proses laju, tentu harus ada metodenya, yaitu metode berpikir rasional, dengan bermacam cara berpikir, baik berpikir ilmiah, berfilsafat (ilmu mantiq),dll.
Metode berpikir rasional adalah baku, Mengapa saya katakan baku? Bukannya saya melakukan doktrinasi,namun karena memang merupakan berpikirnya manusia pada umumnya. Mengapa juga saya bedakan antara metode dan cara? Karena memang keduanya berbeda, metode adalah teknik baku pelaksanaan, sedangkan cara adalah teknik yang bisa berubah-ubah, disesuaikan oleh kondisi pelaksanaan,meskipun tidak pernah jauh menyimpang dari metode pokoknya.Menurut pemahaman saya, manusia berpikir memerlukan 4 komponen, yaitu otak, panca indra,fakta, dan informasi tentang fakta itu sebelumnya.Jika salah satu dihilangkan maka berpikirnya tidak akan utuh. Contoh simplenya adalah ketika seorang dewasa atau profesor sekalipun yang buta pengetahuan tentang huruf china, samapi kapanpun taka akan mampu membaca tulisan berbahasa China. Ia harus belajar dulu (beragam pengetahuan tentang tulisan China) baru ia mulai bisa membaca dan menterjemahkan maksud tulisan tersebut. Ketidakmampuan si profesor membaca dan menterjemahkan tulisan China bukan karena ia bodoh, atau tidak berakal sehat, hanya saja belum sampai padanya pengetahuan tentang bahasa China, salah satu komponen penyempurna proses berpikirnya. Sedangakn maksud akal adalah pikiran itu sendiri, sesuatu yang tidak konkret tapi nyata, ada dalam penampakannya yang lain, dari produknya. Akal adalah pikiran, proses berpikir, yang hanya dimiliki manusia, maka kesadaran berpikir hanya dimiliki oleh manusia, bukan hewan. Nah, jika ada manusia yang berkelakuan layaknya hewan, seperti kumpul kebo, memamerkan aurat, bugil, bukan berarti manusia ini tidak punya akal, tapi ia melakukan sesuatu yang dilakukan hewan dalam bertindak. Manusia tidak menggunakan akal yang menjadi potensinya, tapi cenderung mendewakan kebutuhan nalurinya untuk dilakukan pemenuhan.
Itulah kesadaran berpikir, dalam artian penulis, adalah bentuk kesadaran manusia akan potensi yang didapatnya gratis dari Sang Pencipta, untuk ia gunakan memikirkan dan merenungi tentang keberadaan dirinya, alam semesta dan kehidupan yang meliputinya, yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, yang menjadi sebuah kebingungan (mungkin, sampai disini maka lahirlah banyak filosof dengan tesis filsafatnya yang berbeda satu sama lain)tentang Siapa di balik ini semua?Siapa yang menjadikan?Siapa yang mengatur hingga tertata satu dengan lainnya?Aknkah materi itu sendir berkuasa?atau Siapa? Berkali-kali, Sampai berabad-abad terus dipikirkan kalangan filosof, para pemikir. Memang bagi seorang pemikir, seorang yang tentunya tanggap, inilah yang menjadi kebutuhan untuk segera diselesaikan, harus diketahui tepat jawabannya, untuk kemudian ia dapat menjalani hidupnya dengan gamblang, tanpa abu-abu lagi. Karena ini adalah hal yang mendasar. Inilah kesadaran berpikir. Sadar memikikan dasar, falsajfah kita ada, kita hidup dan menjalani kehidupan, berkelana mencari eksistensi diri dan kebahagiaan. Tentulah ini adalah kunci emas menuju pintu pencerahan. Memang kesadaran berpikir, penulis setuju jika tak ada doktrinasi karena akan memampatkan laju pikir. Ada doktrinasi, berarti ada tekanan, membuat orang takut berpikir rasional. Filosof sangatlah menyadari bahaya ini, sebuah pengalaman pahit akan doktrinasi gereja. Tentu masalah diatas adalah manyangkut masalah keimanan, Tuhan memberi peluang yang besra bagi kita untuk berpikir, dalam jangkauan yang memang mampu dipikirkan manusia, mampu dijangkau akal. Karena dalam perjalannya, memang ada hal yang pantas disebut rambu, hal yang tak bisa kita jangkau, conto yang pasti adalah tentang dzat Tuhan. Tuhan sepertia pa dan kerajaannya seperti apa, sampai jebatpun tak akan mendapatkan hasil jawaban yang 100% benar. Disinilah akal tunduk, ini bukanlah doktrinasi, penghambat kesadaran berpikir, penghambat kebebasan berpikir. Tapi sejujurnya, bagi para pencari kebenaran, tentu dengan maklum akan setuju dengan hal ini, jika ngotot dipaksakan bahwa akal bisa menjawab, pastilah jawabannya nisbi. Hanya gambaran akal manusia. Tidak bisa dibuktikan.
Berpikirnya manusia, tentulah ada jalur, seberapa ngawurnya ia akan berkelana dalam pemikirannya. Arahan yang akan mengantarkannya pada tujuan mencari jawaban sesuatu yang ingin diketahuinya. Hanya saja, agar tidak saling tabrak, tentu jalur yang dipakaipun harus tepat, agar sampai ke tempat tujuan. Berpikir ilmiah memang tak salah jika digunakan ketika meneliti suatu benda yang tunduk pada penelitian manusia, yang boleh jadi hasil penelitian kan bisa terbantahkan di kemudian waktu oleh hasil penelitian lain yang dinilai lebih valid. Jika metode ilmiah (cara berpikir dengan meniadakan informasi sebelumnya) dipakai dalam proses keimanan, akan tidak sampai tujuan yang diharapkan, yaitu menggapai keimanan yang haqiqi, keyakinan yang bulat, tidak subhat, karena perkara untuk meyakini dzat Tuhan hanya bisa dicari lewat perantara keberadaannya ciptaannya (seperti analogi simple, ada kursi pasti ada pembuatnyakan?) bukan sampai harus menghadirkan secara nampak mata akan dzat Tuhan, maka hal itu, bagaimana tentang konsep dzat Tuhan, perkara dimana keberadaannya, akal tunduk pada informasi langsung dari Tuhannya, yaitu lewat Kitab suci yang tersampaikan lewat RasulNya. Tentu ini bukanlah doktrinasi, kita gunakan metode berpikir rasional dalam hal ini, sekali lagi bukan metode ilmiah.
Oleh karena itu, terkait perbedaan memahami dan menghukumi fakta dan peristiwa, memang harus dilihat banyak hal sebelum menjatuhkan justifikasi, penulis sepakat dengan sang dosen filsafat, hanya saja kita juga jangan terlalu berlaku toleransi, harus diteliti dulu pertamakali, yaitu kesesuaian pemakaian cara berpikir. Sudah tepatkah? Baru dilihat analisis dan dasar argumennya? Jika dari awal sudah tidak tepat menempatkan cara berpikir, mengapa juga dibutuhkan toleransi berkepanjangan? Tentunya teman menolak jika pisang goreng, saya anggap ketela goreng, gara-gara sudut pemikiran yang saya gunakan beda. Atau teman saya samaratakan dengan orangutan, gara-gara memang demikianlah hasil penelitian ilmiah saya? Manusia dianggap orangutan yang berevolusi. Walah-walah. Padalah jika mau merunut potensi yang membedakan manusia dengan hewan, tentulah ini tertolak. Kawin silang pemikiran yang gagal dari awal.Iyakan?iya nggak sih???Lalu hubungannya ma kotak diatas?iyaya..apaan ya?he2
Re_
Akhirnya diskusi kamipun terpaksa diakhiri karena waktu sudah beranjak dini hari

Autumn leaves R.I.P

Daun autumn berjatuhan, menari gemulai , memberi warna pelangi pada udara, disampingnya sakura kuning turut menari melambai dalam sapuhan sepoy angin, urun menghias udara yang makin kelabu. Sementara aku berdiri terpaku,menengadahkan kepala, membiarkan rontokan daunnya mamapir, menggores wajahku yang tlah lama luka., tanah semakin memudar warna coklatnya, tergantikan oleh warna pelangi, daun yang gugur memberi warna pada bumi yang monoton, terinjak, membusuk dalam Sang kuasa Raja pengurai, menyisakan kenangan akan keindahan, yang dulu, sebelum jatuhnya pernah mentakjubkan sosok orang, sepertiku. Mereka yang jatuh menjadi sampah yang terlupakan oleh sejarah pandangan subyektif mata…
Muakku, berkali-kali hujamkan ludah yang kian serak, untuk terus menengadahkan wajah yang kian membusuk karena sayatan luka, untuk sekedar berempati, sebelum daun menyentuh ke tanah.
E:\rerechan\my sketch\DSC00844.jpg



Teruntuk:
bagi jiwa yang tlah gugur, menyerah dalam keangkuhan manusia

Jumat, 05 September 2008


Kontemplasi ala Re

“Tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan…”
“pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan…”
“…satu-satunya yang dapat kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu…”


Urung kulanjutkan membaca buku tentang filsafat. Beberapa paragraf saja membuatku lama berpikir. Pikirku berputar antara keheranan dan pemahaman yang sudah terlanjur kuterima bahwa filsafat itu menyesatkan, cara berpikir tak layak buat gapai keimanan haqiqi. Tapi sudahlah, biarlah info itu berhenti pada tataran pemahaman, aku hanya ingin jujur pada diriku, mencoba belajar memahami konteks dari nol. Biarlah kuraih kesadaran pikirku, begitulah sebuah azzam kulantunkan. Kemudian kubaca buku tersebut perlembar. Seberkas senyum mengembang, merona di wajahku. Bukan, terlalu cepat mengatakan aku dapat pencerahan. Semakin membacanya, sama ketika membahas kajian tentang keimanan, hanya saja buku ini berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Lama pertanyaanku berkutat, tentang sebenarnya filsafat itu. Jujur lagi, aku tak begitu suka dengan jawaban instan orang yang langsung buyarkan asaku. “Sudahlah, ngapain belajar Filsafat dalam-dalam, kau akan pusing nantinya,” atau begini, “Filsafat itu akan menjerumuskanmu,”. Okey, tapi tolong jelaskan argumen kalian dulu, nihil. Kebanyakan mereka yang kutanya enggan berdiskusi panjang. Gak Asoy banget loe. Mengapa selalu berangkat naik bis tanpa mau naik bis lebih dulu, pinginnya langsung sampai ke tempat tujuan. Kembali pada kontemplasiku…
Lama-lama aku menjadi tertarik untuk membacanya lebih jauh, sudah beberapa buku aku baca, meski terkadang tak selesai. Aku tertarik pada apa yang membuatnya menarik, pada apa hingga sebagian orang menistakannya, hanya itu, belum lebih. Untungnya, ada mata kuliah Filsafat yang kuambil, dan yang paling asoy dosen pengajarnya bukan tipe penghapal apalagi pendoktrin, tapi lebih pada pendongeng. Jangan harap, ketika kalian ikut kelasnya, langsung tahu Filsafat adalah…, lalu tokohnya antara lain…, pembagian Filsafat antara lain…, tidak, sama sekali tidak langsung itu. Karena menurutnya tak terlalu penting. Prinsipnya memahamkan dengan cara beda, tak langsung, tapi tepat sasaran. Filsafat yang pertama kali kukenal, lebih banyak menggunakan analogi dalam mencotohkan sesuatu, mnurutku disinilah kecermatan pikir diasah, karena biasanya analogi itu multi interpretasi.
Para filsuf adalah seorang yang berpikir, memikirkan sesuatu yang dia ingin tahu, radikal dalam mendobrak kemapanan. Ataukah berarti Filsafat anti kemapanan? Kemapanan adalah sesuatu yang mapan, yang eksis hingga tak usah diusik lagi keeksistensiannya. Layaknya kutu anjing yang hidup di sela-sela bulu anjing, kutu tersebut ingin terbang, atau memanjat bulu-bulunya yang licin hingga dirinya mampu melihat si empunya bulu. Itulah Filsuf, berbeda dengan teman-temannya sesama kutu, lebih memilih mendekam dalam hangatnya bulu dan panas tubuh si anjing hingga enggan untuk bertindak seperti temannya, begitulah kira-kira. Para Filsuf sangat menyayangkan tindakan yang demikian, terlalu menerima dengan anggukan yang cepat, bahasa jawanya, Nrimo ing Pandum. Bagi mereka, para Filsuf, disitulah seharusnya yang membedakan manusia dengan makhluk lain, ada akal, Tentu akal sendiri adalah sesuatu yang tak langsung dapat diindra, itu yang membedakannya dari otak, akal yang dapat berfungsi dan ada pada manusia, tidak pada hewan. Namun, tidak semua manusia memiliki kesadaran pikir yang sama, tergantung kekritisan, rasa ingin tahunya, yang memacu akalnya bergerak aktif.
Pikir alias akal. Wow, menarik. Tak semuanya memiliki kesadaran berpikir?yah, tak usah dijelaskan lagi, contohnya seperti analogi kutu diatas. Kesadaran pikir manusia terbelenggu oleh doktrin atau mungkin mitos yang terlanjur ia percaya, hingga sulit untuk sekedar kembali berfikir lagi tentang segala sesuatu yang mampu diindra, tentang hidupnya, siapa dirinya, alam semesta. Jikalau menurut para pecinta kemapanan itu, kebenaran telah berada di tangan mereka, maka itupun lebih banyak karena penerimaan terlebih dulu, tanpa usaha berpikir dari awal.
Baiklah, Filsafat memang lahir karena rasa ingin tahu manusia, tidak hanya filsuf semua orang aku yakin jika mau kritis juga akan bersikap demikian, karena aku masih percaya pada agama yang kuanut, tak semua agama itu doktrinasi, tapi disini saya tak ingin bahas pembuktian dan lain sebaginya, bukan dalam bahasan kali ini, untuk sementara tak ada kata-kata agama disini, karena aku tak ingin menjadi penumpang bis tanpa naik bis. Keingintahuannyalah yang buat manusia berpikir, karena potensi yang ada dalam dirinya, Lalu darimana datangnya potensi ini ?tentu kita tak bicara tahyul, atau dengan jawaban “sudah takdir bung, mbak,jeng” atau lagi seperti jawaban penganut keabadian materialisme, “sesuatu itu ada dari materi, karena materi itu ada,”, kasihan sekali karena tentunya akan banyak orang yang tak percaya pada sesuatu yang buat tubuh ini hidup.
Sebenarnya, mereka entah yang mengatakan diri mereka Filosof atau bukan, berangkat dari persoalan yang sama, pencarian hakikat diri dan kehidupan, sesuatu yang sangat berarti ketimbang persoalan hidup yang lain, karena semisal makan, tidur, ngeseks atau yang lainnya tergantung pada penentuan jawaban akan hal diatas. Bukankah manusia ingin hidupnya bermakna, tak seperti mayat hidup, hingga ada slogan, buat hidupmu lebih hidup. Hanya saja dalam perjalanan meraih kesadaran pikir tadi yang bikin arah dan jawaban yang berbeda atau dengan kata lain, sangat boleh jadi para manusia membuat cara berpikir sendiri untuk meraih kebenaran jawaban tersebut. Pada mulanya memang demikian, mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran yang haqiqi, tapi lama-lama sebagian diantara mereka (meski sekarang sudah dijadikan patokan alias opini umum) mulai bertoleransi dan berkesimpulan bahwa tak ada kebenaran yang haqiqi, kebenaran mutlak, karena banyak filosof yang berbeda jawaban karena cara yang mereka gunakan memang menghendaki jawaban yang akan berbeda-beda pula. Semisal kasus darimana datangnya sebuah tanaman tumbuh. Ada yang menjawab dari tanah, karena pada waktu itu ia langsung mengamati tanaman muncul dari dalam tanah, ada lagi yang mengatakan tanaman tumbuh dari air, seperti pengamatan Thales(kata orang sih Filosof pertama) tentang segala sesuatu berasal dari air, karena selama perjalanannya ke Mesir, dia mengamati tanaman yang mulai tumbuh begitu banjir sungai Nil surut. Jawaban bisa berbeda meski semua berasal dari pengamatan. Aku pikir, mengamati saja semua orang bisa, tidak orok tidak orang tua. Tapi apa cukup hanya selesai pada pengamatan?. Memang pengamatan akan berhenti pada materi, sesuatu yang dapat diindra. Tapi hal itu kemudian akan bermasalah ketika disodorkan fakta yang nonreal? Fakta kok nonreal?Lho…bukankah dalam berpikir akan muncul beragam kemungkinan, boleh jadikan dunia ini tak terbatas, boleh jadikan tumbuhan itu tak tumbuh baik di tanah maupun diair, boleh boleh jadi kan ada yang namanya nyawa, spirit yang membuat tubuh ini hidup, boleh jadi juga ada kekuatan abstrak di luar jangkauan kita. Sampai disini, lama aku merenung, menyelami beragam pemikiran yang buatku makin absurd saja. Iya ya, semua bisa boleh jadi. Jawabanpun akhirnya boleh jadi, hingga memperkuat bahwa segala sesuatunya menjadi relatif, berarti juga boleh jadi, jawaban siapa kita sebenarnya berubah dari waktu ke waktu, tergantung zamannya, apakah kala klasik, modern atau postmodern?iyakan? lalu apa bedanya kita dengan kelinci percobaan?ya tidak ada bedanya, sampai disini, sama. Lalu jika kebenaran itu nisbi, berarti bisa saja aku menyimpulkan tidak ada kebenaran di dunia ini, semuanya abstrak, jadi hentikan tindakan konyol kalian mencari hakikat kebenaran, hakikat kebenaran tak dibutuhkan lagi di dunia manusia, silahkan berinterpretasi sendiri-sendiri asalkan sudah melalui proses berpikir. Seperti apa dan sedalam apa proses berpikir yang kalian lakukan terserah pada diri kalian, karena tak ada sesuatu yang haqiqi.
Sampai disini, aku teringat dengan temanku kuliah yang memprotes nilai Filsafat mereka yang jelek, sementara mereka protes, aku banyak mendengar tanpa mau mengaku nilaiku A jika ditanya, aku hanya ingin tahu alasan mereka protes. “Bukankah kata beliau(dosen filasafat) tak ada kebenaran mutlak, keindahan mutlak, lalu mengapa harus ada ujian dan nilai?” Dan kami saling menjawab kenapa ya?aku sendiri juga tak tahu mengapa nilaiku A, apakah nilai begitu penting, jika segala ukurannya kian tak jelas, karena inilah, hingga kini aku tak begitu menghiraukan nilai A yang kusandang, boleh jadi aku dari total hanya 5 orang yang dapat A adalah terburuk dari mayoritas mahasiswa. Hanya sesuatu yang kerap menggelitikku adalah bagaimana si dosen sampai pada kesimpulannya? Bukan pada apa yang mereka pikirkan, tapi bagaimana mereka menyikapi apa yang mereka pikirkan hingga terbentuk beragam kesimpulan.
Apakah memang sesuatu yang mutlak itu tak pernah ada?apakah memang tak ada kebenaran mutlak?tak ada ataukah ditiadakan?ditiadakan oleh pikiran manusia yang boleh jadi menurut kesimpulan ngawurku terbatas?
Karena aku termasuk orang yang lumayan toleran, maka segala kemungkinan dari hal yang real sampai non realpun aku masukkan ke brankas otakku.Pernah suatu ketika mencapai titik kepuasan pikirku, beberapa waktu tak jenuh mempertanyakan sesuatu, tanpa menggubris pendapat orang atau literatur lain. Hanya saja, kemudian aku sadar terjerembab dalam jawaban khayalku. Kutanya Siapa Tuhan yang selalu dipuja, sosok yang paling digandrungi setiap masa?Lalu jawabanku sampai pada kesimpulan bahwa boleh jadi Tuhan memang ada, terbukti dengan adanya diriku, makku, adikku, si kucing, pohon, apa mungkin mereka menumbuhkan diri mereka sendiri, karena pernah kutanam tumbuhan di tanah tapi selalu mati, berarti tak benar juga kesimpulan yang menyatakan tanah menumbuhkan segala sesuatu. Jika memang benar tanah sumber kehidupan pastilah apapun yang kujatuhkan dan dengan cara apapun pastilah hidup, nyatanya? Lalu sosok Tuhan itu seperti apa? Kulihat tanganku, kemudian kakiku dan akhirnya semua tubuhku. Mungkinkah Tuhan itu wanita sepertiku?ataukah laki-laki?atau mungkin banci?mungkin saja, sehingga Tuhan memiliki tangan, kaki, rumah sama seperti kita, manusia. Begitulah, hingga aku kembali belum terpuaskan dengan sebuah pertanyaan ,“ lalu apa bedanya Tuhan dengan yang diciptakannya?bukankah Tuhan itu adalah agung ,maha lebih diatas segalanya?jika sama dengan yang diciptakannya berarti ia juga bersifat terbatas, jika manusia bisa mati, dan pastilah mati, maka boleh jadi Tuhan akan mati juga, lalu bagaimana otoritasnya sebagai Tuhan?” Ah. Bulshit. Aku bisa gila. Kontemplasi tanpa batasku ini mampu membawaku menjadi seorang ynag atheis.
Okeilah. Manusia memang punya potensi berupa akal. Itu alamiah, manusia juga bisa tak berakal, boleh dikata itu juga fitroh, semisal pada kasus orang gila, ia tak kuasa menolak dirinya gila, tak berakal. Lalu siapa yang buat itu semua. Kadang segala sesuatu terjadi di luar dugaan kita bukan?, lalu siapa yang buat rekamatra hidup itu? bukankah akan banyak pertanyaan Siapa setelah Mengapa? Siapa akan kita peroleh dari jawaban Mengapa bukan? Mengapa bumi bisa berputar?, Mengapa para planet dapat berputar teratur pada orbitnya?Siapa pencipta Orbit?Apakah segala sesuatunya simsalabim?lalu siapa yang buat sim salabim itu?. Itulah fungsi akal kita. Sampai dsini semuanya akan berjalan lurus. Lalu akan berkelok ketika akal dibiarkan berkelana tanpa arah, karena keterbatasannya, seperti kasus diatas. Manusia akan abstrak menilai wujud Tuhan, sesuatu yang jauh di luar jangkauan akalnya, sampai disini pikirkanlah, semoga ku tak mendoktrin kalian. Jujurlah, bahwa memang ada keterbatasan terhadap segala sesuatu, dan ada sesuatu yang tak terbatas yang buat segala sesuatu yang terbatas itu ada. Entah kalian menyebut sesutu yang tak terbatas itu apa. Tuhankah?atau apa?yang pasti itu mutlak ada meski dzatnya tak langsung dapat kita indra karena keterbatasan tadi. Tapi bukankah sesuatu yang tak terbatas itu jika boleh kusebut Tuhan, tak egois menciptakan sebuah doktrinasi keimanan. Karena iman harus ada karena percaya. Bagaiman percaya adalah dari proses berpikir. Bagaimana berpikir karena ada komponen berpikir . Lalu akhirnya perkenankan daku memberitahu komponen itu, meskipun boleh jadi banyak yang sudah tahu.
Setidaknya ada 4 komponen berpikir. Yang pertama ada otak (sebuah materi, hewan juga punya), yang kedua ada fakta(baik benda maupun peristiwa, sesuatu yang dapat diindra), lalu ada proses pengindraan dan yang terakhir, yang paling penting, adanya informasi sebelumnya, entah langsung terkait pada fakta atau sesuatu yang berhubungan dengannya .Mengapa penting?Taruhlah contoh seorang yang ingin mahir berbahasa China haruslah mempelajari buku panduan berbahasa China atau lewat orang yang mahir bahasa China. Seorang bayi tidak mungkin bisa belajar bahasa China atau hanya sekedar percaya sebuah batang dipegangnya adalah pensil , sebuah alat untuk menulis. Boleh jadi yang terjadi seperti keponakan saya yang masih balita, ia akan memakan pensil tersebut atau sekedar menendangnya dengan tangan, persis sama yang dilakukan kucingku. Mengapa itu terjadi karena bayi ataupun balita tidak memiliki informasi sebelumnya . Tapi bisa sajakan, karena otak mereka yang belum berfungsi sempurna? Baiklah. Taruhlah, seorang manusia dewasa dihadapkan pada tulisan jawa, Jika tak ada sebuah pembelajaran atau Informasi sebelumnya, meski berpikir sejebat apapun tak akan berhasil membacanya.
Sehingga, akhirnya aku masih percaya hingga kini bahwa kebenaran mutlak itu ada, sama percayanya akan sesuatu yang Maha. Ini bukannya doktrinasi, aku terbukti sampai tujuan sesuai keinginanku, tentunya dengan syarat ketepatan penggunaan cara berpikir kita. Sudahlah, segera saja kalian berkontemplasi. Selamat berkontemplasi, temukan hakikat diri, melakukan petualangan pikiran menemukan siapa dibalik segala keterbatasan.

Re_ lagi belajar nulis
1:52 am, 4 september 2008

Kamis, 04 September 2008

Tanganku sudah bergemetar untuk menulis, namun otakku serasa berat untuk memuntahkan unek-unekku yang terpendam di kerak mampatnya pikiran. Aku bukanlah orang yang terlalu sadar untuk menuliskan segala kejadian, segala peristiwa yang selalu memacu adrenalinku untuk berontak, meski hanya sebuah berontak dalam kesunyian.
Perkenalkan namaku Tegar, begitu namaku kerap dipanggil, tentunya orang awam akan langsung mengira aku berjenis kelamin laki-laki, namun sejatinya aku adalah perempuan tulen, nama lengkapku Tegarwati, hingga kini aku belum bisa mengerti mengapa orangtuaku menamai dengan nama yang menurutku begitu ambigu. “Supaya kau selalu tegar,”kata ibu, selalu engan jawaban sama, tidak kurang, tidak lebih, padahal bukan jawaban seperti itu yang kumaksud, tidak berhenti hanya sampai disitu, tapi lagi-lagi jawaban Ibu akan selalu sama. Aku sampai malu ketika banyak orang memanggil nama yang berkesan maskulin itu. Banyak teman-teman sekolahku yang sering meledekku, lalu seperti biasa aku akan pulang dalam keadaan menangis dan kemudian Ibu dan Bapak akan bergilir memberikan petuahnya. Namun, lambat laun aku tidak malu lagi dan semakin merasa bangga dengan nama “Tegar’’.
“ibu..ibu, harusnya dari dulu aku tidak selalu mengeluh,harusnya aku berterima kasih pada Ibu,pada Bapak,”desahku lirih,tiba-tiba sosok orangtuaku menjelma nyata dalam imaji pikirku, bila sudah begini dada ini menjadi terasa sesak oleh deburan rasa yang berkompilasi, membentuk tatanan mozaik yang tak beraturan, hingga aku kesulitan untuk menata setiap rasa yang sulit kuterjemahkan.
Bagiku Ibu adalah superwomen, bagaimana beliau mampu berkiprah dalam masyarakat hingga sangat disegani warga, membuatku selalu tersipu karena pujian orang kampung terhadap diriku gara-gara aku adalah anak Ibu, meski begitu beliau tak pernah melalaikan perannya sebagai Ibu, selalu hingga aku terlalu bingung untuk mengalirkan kelebihan aliran listrik kasih sayangnya. Perjuangannya melawan stroke yang terus menggerogoti tubuhnya selama hampir 2 tahun tepat beberapa hari ssetelah kematian Bapak, semakin mengukuhkannya sebagai Superwomen hingga akhir hayatnya.
Sekarang, bagaimana Ibu akan bertanggung jawab atas kerinduan yang sangat dalam di relung hati ini, seperti kapal yang terombang-ambing di lautan luas, tanpa harapan untuk berlabuh, karena dermaga takkan lagi nampak, lalu bagaimana rindu ini secara nyata akan kulabuhkan, dan iblis dalam hatiku akan berteriak semangat mengutuk”Salahkan Tuhan, Tuhan never bless us..”… lalu sisi hati lainnya akan cepat menyela”Gila!!!.. terlalu picik untuk menyimpulkan dengan kalimat kotor itu, aku tidak akan atheis karena masalah ini, bukankah Tuhan akan memberi cobaan bagi hambaNya yang beriman, toh seharusnya yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambaNya.
Brakk!!! Sudah cukup! Urung kulanjutkan perdebatan batin ini. Tanpa sengaja tanganku telah menggebrak meja. Sesaat aku menjadi point of interest, semua menatap bengis padaku, tatapan yang mampu merobek mental sisi sutra hati wanita, Wajar saja karena aku sedang berada di tempat yang seharunya hening, tepatnya di sebuah ruangan perpustakaan pusat Kampus. Tempat yang kunobatkan senagai tempat nongkrong favoritku. Entahlah disini, aku bisa jauh berkontemplasi, membuang jauh kepenatan, hingga terkadang bisa jadi aku hanya bengong, mengamati suasana disekitarku duduk tanpa membaca buku satupun, heran…
***
Sudah hampi 4 jam aku disini, pantatku serasa terbakar, aus bergesek dengan kursi kayu tua perpustakaan ini. Namun sampai sekarang ide tulisan masih enggan muncul.
“Tegar..Tegarwati, mengapa sih nulis saja susahnya minta ampun”racauku gusar. Sebentar lagi limit waktu akan berakhir, yah…aku terbiasa memberi batas waktu untuk memunculkan dan menentukan ide sebelum menulis.
Mataku sepat sedari tadi menekuri kertas putih yang sudah penh dengan coretan abstrak nyaris tanpa tulisan satu hrufpun. Kualihkan pandangan keluar jendela, langit mulai menampilkan warna lembayung senjanya bertabur siluet kawanan awan, kualihkan pandangan ke dalam ruangan, seperti biasa hening, lengang, hanya satu,dua orang yang singgah ke ruangan ini, suasana yang mengingatkanku pada kuburan, mungkin itu menjadi salah satu faktor aku betah singgah berlama-lama disin, sering mengingatkanku pada yang namanya ajal, dengan begitu semangat belajarku akan spontan meninggi, karena sadar limit hidupku di dunia.
“permisi, saudari Tegarwati? Ucap pemuda jangkung di depanku
“Maaf?”tanyaku yang masih terkaget dengan pertanyaan yang datang tiba-tiba, kebiasaan lagi bagiku. Pemuda itu tersenyum santun, senyum yang bisa dengan mudah membuat simpatik orang.
“Maaf, apakah benar saudari bernama Tegarwati?” lelaki itu mengulang pertanyaannya, mungkin dia paham kalau akun masih belum mengerti dengan maksud peertanyaannya.
“ya benar, anda siapa ya?” aku balik bertanya selidik, kutamati lagi sosoknya, dandanannya rapi dengan pakaian yang casual tapi elegan, wajahnya oval,dengan jambang tipis di dagunya. Sepertinya aku mengenal pemuda ini dan senyum itu juga tidak asing bagiku, tapi kapan dan dimana, aku ragu untuk memastikan.
“aku Ryan, Wati..kau lupa ya, kita sekelas waktu SMP.”ucapnya antusias. Sejenak aku tertegun, Ryan…Ryan, aku terus mengulang kata itu berusaha mengaduk brankas otakku, apakah…
“ooo ya ya, apakah kau Muhammad Ryan?”,
“yup great! Akhirnya kau ingat, aku senang kau tidak lupa seratus persen Wati.” Ucapnya girang, dengan senyum yang kian mengembang, semakin menampakkan deretan giginya yang putih.
Sekilas aku tersipu, dan semakin malu jika aku sadar siapa yang berdiri dihadapanku sekarang. Bagaimana aku bisa melupakan sosok Muhammad Ryan, dia dulu teman satu gengku waktu SMP, satu-satunya teman laki-laki yang memanggilku Wati, sosok yang periang dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun, tapi aku sedikit menyadari hal baru pada dirinya, penampilannya yang kini jauh berbeda, bukan lagi Ryan dengan tubuh tirus kurunya, hingga julukan kerangka berjalanpun disandangnya.. Ah segala sesuatunya bisa berubah Tegar, ucapku dalam hati.
“halo Wati, kok bengong?” ucapnya membuatku tersentak kaget,
“oh, maaf..aku bengong lama ya?” ucapku salah tingkah.
Kali ini aku gagal lagi untuk tidak menampakkan ketersipuanku, Ryan pastilah hafal tingkahku yang satu ini, pipiku akan merona merah jika aku tersipu dan marah.Seperti dulu, pastilah puas melihat tingkahku ini. Tapi ternyata tidak, bahkan ia sama sekali tak menatapku, pandangan wajahnya mengarah ke depan tapi sorot matanya tak tertuju padaku.
“Kau masih sama ya Wati, meski semua mengalami proses, aku harap kebiasaanmu yang unik tak banyak terhapus” ucapnya menekankan,
“Eh, ternyata kau kuliah disini juga ya, sudah lama ya gak ketemu”ucapku cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, masih terheran dengan sosok Ryan yang begitu baru menurutku, gaya bicaranya mengingatkanku pada teman-teman laki-laki di Sie Kerohanian Islam.
‘’iya, hampir 5 tahun, kau susah sekali dihubungi, nomor hpmu ganti ya?’’
‘’Oh maf, hpku hilang saat pertama masuk SMA, aku kehilangan nomor kontak semua teman-teman, kau tahu sendirikan, daya ingatku sangat payah apalagi aku pindah keluar kota’’ ucapku panjang lebar
‘’ooo, begitu”jawabnya singkat.
Siang itu menjadi hari yang anomali buatku , aku tak menyangka akan bertemu teman lamaku di tempat ini, lama kami membincangkan kisah diri satu sama lain.Jikalau terdapat taman dalam hati ini, pastilah hatiku sudah penuh dengan beragam bunga. Meskipun pertemuan kami singkat, tapi sungguh berkesan, ia memastikan akan bertemu lagi.’’Mungkin kau akan sering kuhubungi, kita pasti akan bertemu lagi, aku tidak ingin kehilangan sahabat lama lagi.’’teriaknya sambil lalu.
***
Everyday is sameday, setiap hari adalah sama bagiku,rutinitas yang membuatku semakin muak, pagi kuliah, lalu tugas menggambar yang akhirnya memaksa mata dan tanganku begadang setiap malam, tapi anehnya aku tetap setia menjalaninya,’’Bukankah ini adalah konsekuensi sebagai mahasiswa…’’bisik hati kecilku memprotes mengingatkan,’’Yah tentu saja..”desahku lirih. Kuliah dan masuk jurusan arsitektur adalah impianku sejak SMP, itu artinya keputusan ini sudah kurencanakan sejak lama, bukankah segala sesuatu ada konsekuensinya, ada h8ukum kausalitas terhadap segala sesuatu,’’Tenang Tegar, masalah ada untuk diselesaikan, dan masalah itu akan selesai jika kau tidak lagi menjadikannya masalah. Kau haruslah tegar.’’ucap batinku meyakinkan.
Pagi ini kulangkahkan kakiku mantap meski dengan sedikit paksaan pada awalnya. Sengaja aku berangkat lebih awal, agar lebih bisa menikmati setiap langkah kaki yang kudaratkan, meresapi tanjakan yang berirama, menghirup dengan puas hawa yang masih suci polusi. Lalu perjalananpun memasuki sebuah gang kecil berbentuk lorong panjang, lorong yang menghubungkan jalan raya kampung dengan kampus, jika dinilai lorong ini tak terhitung jasanya, dengan adanya lorong ini kami, para mahasiswa yang kos di daerah samping kampus tak perlu berjalan berkilo-kilo untuk sampai ke kampus.
Kutamati dinding lorong ini, beragam corak gravity hampir penuh menghiasi dinding yang catnya tak lagi terawat, seperti biasa aku akan berhenti sejenak, meluangkan sedikit waktu menikmati setiap keunikannya, mencoba memahami spirit dari apa yang ingin disampaikan .
‘’Yaah…belum ada yang baru rupanya’’,
‘’eh..’’ucapku kaget, ternyata ada orang dibelakangku, suara laki-laki. Kutolehkan badan, laki-laki itu mematung, matanya begitu serius mengamati gravity dihadapannya, sampai begitu serius hingga tak menghiraukan aku yang mulai menamatinya.
‘’Ryan…’’ucapku menyapa heran, heran entah mengapa, mungkin untuk kedua kalinya Tuhan mempertemukan kami di sudut labirein yang sama, tanpa terduga. Beghitulah Sang Maha, atas kekuasaanNya labirin akan menjelma menjadi jalan yang lurus. Laki-laki yang kusapa Ryan itu menoleh kearahku dengan ekspresi kaget, lalu ekspresi mukanya berubah dengan cepat, seperti biasanya ia akan langsung mengulum senyum, perangainya yang cepat menguasai keadaan masih belum berubah.
“oh Wati..kau lewat sini juga rupanya’’ucapnya sedikit heran
‘’iya, aku ke kampus jalan kaki’’,
“Kosmu dekat sini ya?’’tanyanya kemudian,
‘’iya, lumayan sih kurang lebih ½ kilo dari sini, la kamu?’’
‘’Aku kontrak di belakang kampus bareng temen kampus, kebetulan kemarin malem aku nginep di rumah temen dekat sini, biasalah tugas kuliah,’’ ucapnya menjelaskan
Suasana sejenak menjadi hening, masing-masing dari kami tak lagi melontarkan pertanyaan, aku tidak terlalu lihai berbasa-basi, sementara Ryan yang kukenal hanya kan bertanya jika dibutuhkan saja. Sebenarnya ini bukan kali pertama bagi kami, sering dulu juga seperti ini, hanya saja kondisi sekarang yang berbeda, tidak sekaku ini, maklum kami lama tidak bertemu.
‘’Kamu suka Gravity Wati?’’ tanyanya memecah hening.
Sebatas penikmat, aku kurang mahir di seni ini.’’
‘’ooo’’jawabnya singkat, sembari kembali menekuri garvity di depannya.
Suasana sejenak kembali hening.

‘’Ini yang kusuka dari seni’’ucapnya tiba-tiba.
Yang kusuka dari seni? Tanyaku dalam hati,kutatap sosoknya tak mengerti.
‘’Karya seni seperti lukisan, gravity atau yang lain, memberi kesempatan pada penontonnya untuk menginterpretasikan maksud yang ingin disampaikan pembuatnya.’’ucapnya kemudian.
“iya, justru karena itulah seni bernilai abstrak, membuatnya menjadi seperti sosok yang tidak sombong dan terkesan kmpromistis…”ucapku, ikut mengomentari pembahasan Ryan tentang seni.
Suasana kembali hening. Ada rasa kecewa yang sekilas terbesit di hati, karena aku pikir Ryan akan langsung mengomentari ucapanku. Kulihat lagi sosoknya yang tak bergeming hanya anggukan kepala, entah apa maknanya.
“Kau aktif di BEM?’’tanyanya tiba-tiba.
“Aku?”tanyaku ragu,
“Ya iyalah, manusia yang disinikan cuma kau dan aku, masak aku tanya sama rumput.”ucapnya sambil tertawa, memecah kebekuan yang kurasakan. Seperti tersihir, akupun ikut tertawa, dari dulu aku suka tawa Ryan, bukan bermaksud apa-apa, tapi tawanya begitu jujur, hingga orangpun akan tersihir tertawa bersamanya.
“Enggak, tugas gambar sudah sangat menyita waktu, lagian aku sudah ikut HMJ dan lembaga pers kampus.”
“Wah keren, kalau aku dari awal menjadi mahasiswa aktif di Sie Kerohanian Islam kampus,”ucapnya menjelaskan
“ooo, di SKI, hampir separuh teman sekelasku ikutan aktif disana.”
“Kau tidak Wati, Why?”tanyanya heran
“ehm, karena…”urung kulanjutkan alasanku, mengapa segala sesuatu harus beralasan,desahku dalam hati.
“apa karena kau tidak berkerudung atau merasa belum sempurna, itu tidaklah menjadi masalah Wati, kau percayakan kalau segala sesuatu berproses, tidak harus terlebih dulu sempurna untuk masuk SKI, justru karena ketidaksempurnaan itulah kita bersama-sama belajar.”
“Iya Ryan, aku paham itu. Proses ada pada diri kita masing-masing, hanya saja aku tidak terlalu suka terikat dengan hal seperti itu…”ucapku menggantung,
“Maksudmu terikat dengan apa?”tanyanya selidik,
Aku berpikir sejenak, mencoba meramu kata sehingga berharap tidak ada pertanyaan lagi setelah penjelasanku ini. Tapi haruskah aku jujur, menyatakan yang sebenarnya yang mungkin pula menambah panjang daftar pembicaraan ini.
“Aku ingin memulai pencarian dari nol, pencarian jati diri, pemahamanku tentang alam semesta dan kehidupan ini, aku hanya ingin memiliki kesadaran berpikirku sendiri Ryan, kesadaran yang hanya bisa terwujud jika dogma itu nihil.”ucapku menjelaskan, mencontek pemaparan dosen filsafatku, meski aku sendiri belum terlalu mengerti yang kuucapkan barusan.
“Dogma? Apa kau pikir Islam adalah ajaran dogmatis?”
Kali ini aku seperti terdakwa di pengadilan, pertanyaannya bertubi-tubi menghujam kepalaku.
“Baiklah Wati, mungkin aku tidak terlampau mengerti, tapi mungkin kau butuh proses untuk menjawab itu semua.”ucapnya sembari melirik hpnya.
“Oh ya Wati, aku pamit dulu ya, harus buruan ke kampus nih, semoga sukses dengan pencariannya, Salam” ucapnya sambil lalu meninggalkan diriku mematung di lorong ini.
“Wassalam,”ucapku lirih, menatap sosoknya yang berangsur menghilang dari pandangan.
“Astaga” aku tersentak kaget, sesaat setelah kesadaranku berangsur pulih 100%, sengaja kulihat jam di hpku, waktu berjalan melenggang dengan santainya, sementara itu, kaki kecilku ringkih berjingkatan, berlari keluar dari lorong panjang ini, karena 5 menit lagi kuliah pertama dimulai.
***
Kurebahkan dengan kasar punggung ke sandaran kursi studio yang empuk, mencoba memejamkan mata barang sejenak, setelah hampir 4 jam menekuri gambar yang setengah selesai didepanku, masih ada waktu 4 jam lagi untuk segera menyelesaikan desain gambar ini. Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, merasai gelitikan dinginnya buliran keringat yang membasahi tubuh.
Sudah 2 tahun aku kuliah di jurusan arsitektur ini dan selama iitu pula aku mencoba bersahabat dengan mata kuliah yang banyak membuat diriku insomnia, hal yang sama sekali tak kuduga sejak dulu, bersahabat dengan suasana studio yang pengap dan panas karena salah desain. Berakali-kali aku melaporkan keadaan studio gambar dan penghawaannya yang mirip efek rumah kaca,dan berkali-kali pula pihak dekanat juga menolak rearrange ruang dengan alasan belum ada dana.
Belum ada pendanaan?tanyaku sinis, Ruang studio adalah tempat yang sangat urgent bagi mahasiswa arsitektur, karena mayoritas kegiatan gambar-menggambar kami lakukan disini,lalu bagaimana kami bisa maksimal bekerja dengan kualitas ruang dan peralatannya yang serba minimalis, jeritku dalam hati, selalu begitu, jeritan yang berontak dalam kesunyian, karena lidahku begitu kelu ketika beradu argumen dengan pihak dekanat.
Aku beringsut bangun, menegakkan kembali badanku,kurentangkan tangan keatas sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lagi. Letih ini sudah hampir berhasil menguasai tubuhku, otakku bekerja keras melawan kondisi yang tak seharusnya datang. Ruangan mulai tampak lengang, satu persatu teman-teman meninggalkan ruangan, tinggal aku dan segelintir temanku, kalau sudah begini, pikiran harus terus fokus meski sejujurnya jantungku berdegup tak karuan karena masih ada pekerjaan desain yang urung juga kelar.
Kubuka buku agenda kecilku, satu-persatu lembaran kubuka,sederet agenda mulai dari rapat, menghadiri seminar, kunjungan ke pameran, dan seabrek kegiatan lainnya. Senyumkupun tersimpul bangga, yah setidaknya aku punya cukup banyak agenda hidup yang lain selain jadi kuli gambar.sorak batinku gembira. Tidak sedikit mahasiswa yang menggadaikan kegiatan sosial mereka untuk segera meraih gelar sarjana. Hingga kini aku masih percaya bisa meraih keduanya, meskipun urun tenaga ekstra.
“Gar, aku duluan ya, dikau belum kelar juga?”ucap Saras, temanku.
“Wah belum kelar nih, tinggal dikit lagi, duluan saja.”ucapku sambil tersenyum, terlihat dipaksakan memang. Bagaimana lagi, karena itu berarti sekarang tinggal 4 orang di studio ini, suasana juga semakin sepi, menambah kencang degup jantungku. Ya tuhan tolong bantu aku mempercepat pekerjaan ini.Cuih, jika dalam kondisi terdesak minta tolong, kau ingat pada Allah Tegar, protes hati kecilku. Yah pada siapa lagi, Presiden atheispun ketika benar-benar dalam keadaan terdesak, dalam keadaan zero mind pun akan spontan menyebut Tuhan. Itu alamiah bukan?
***
“Akhirnya selesai juga,”ucapku samil neregangkan tangan keatas. Ada kepuasan tersendiri setelah berhasil menyelesaikan karya sendiri, hingga pegal dan capai menjadi tak terasa. Perkara besok karyaku dibantai dosen adalah urusan belakangan. Aku akan memuaskan diri untuk menikmati karya-karyaku. Memang, kondisinya akan paradoks jika sudah berurusan dengan pandangan dosen.Kebanggan dan kepuasan awal bisa berubah 180 derajat mkenjadi kekecewaan dan rasa gagal akhirnya.


Bersambung…