Selasa, 27 Januari 2009

Aku memang tak ingin Menjadi KOTAK!!

Aku memang tak ingin menjadi kotak, kotak seperti bahasan yang telah lalu kuulas bersama temanku di pertengahan malam menjelang pagi.
Kotak adalah trimatra geometris, kehadirannya mengesankan kekakuan, sebuah muasal cibiran dan berontak kaum dekonstruksi.
Menjadi kotak bukanlah keharusan, ia adalah pilihan yang terkadang tak sadar memaksa manusia melakoninya.sungguh ironis...
Menjadi kotak adalah sebuah alasan mengapa orang terlampau tak tertarik ataukah takut memahami sesuatu , meyakini dan kemudian memperjuangkan sesutu yang diyakininya. Karena tak tertarik ataukah takut dirinya akan terbentuk menjadi kotak, sehingga tak bebas memandang ke luar kotak yang menawarkan berjuta kebebasan pandangan nisbi.
Sungguh aku adalah kategori manusia yang tak sudi tinggal di sudut kotak yang gelap. Gelap akan keterbukaan cahaya yang bisa berasal dari sudut mana saja.Lalu aku harus dimana?Jika kumenolak meyakini sehingga aku akan memihak sesuatu itu, maka dimana letakku. Jika lagi, kumenolak tinggal di sudut kotak, maka apakah aku juga akan nyaman tinggal di luar kotak dengan beragam kontroversi yang ada, karena kebebasan yang memang dicipta, membuatnya sulit menerima sebuah kebenaran mutlak.
Lamat kupikir , yang akhirnya berujung membahas eksistensi diri, sesuatu poin utama yang menurutku terlampau penting untuk harus diketemukan. Lalu bukankah tinggal di luar kotak adalah tinggal di kotak yang lain??. Maka semua adalah penjara keterasingan bukan??
Lalu dimanakah tempatku, orang yang tak sudi meyakini keberpihakan?
Lalu kutanya lagi? Apakah terlalu sulit menerima sesuatu keyakinan? Lalu apakah sulit menerima sebuah ikatan keberpihakan?apakah tak bisa berjuang tanpa keberpihakan?
Sampai kemudian lemat terjawab erti keyakinan dan keberpihakan, dua frase yang harusnya tak terpisahkan?
Menurut empirisku, keberpihakan adalah sebuah keniscayaan, sama niscayanya akan adanya perubahan. Sama niscayanya pada kehidupan yang tak stagnan. Aku pikir semua ideologi yang sekarang ini baru kutemukan 3 jenis, mulai dari sosialis, islam dan kapitalis, memandang perubahan bukanlah hal yang utopis hanya saja bisa jadi sesuatu momok bagi eksistensi satu dengan lainnya. Lalu untuk perubahan butuh sebuah keyakinan untuk merubah, merubah yang kita yakin akan mengarah pada kebaikan bagi semua. Bukankah dari sini saja, sudah timbul keberpihakan.
Keberpihakan yang akan menempatkan diri pada warna kotak yang kita pilih, sejelas dan seterang apa di dalam kotak bukankah tergantung cara kita mamandang dan membawa dian didalamnya?
Lemat kuberpikir lagi... jika diasumsikan semua kotak adalah wadah, tak ada satupun kecuali bukan wadah, dimana wadah adalah tempat kita bertingkah, berpolah maka bukankah seharusnya dan semaunya kita bertempat di kotak
Hanya.......................
Kotak adalah pengertian lain selain wadah...karena berarti wadah dan keberpihakan kita untuk bertingkah dan berpolah tidaklah salah, wajar adanya.
Kotak lebih pada sikap manusia yang menempati kotak, ketika dia masuk dan memilih kotak tanpa pikir panjang, hanya karena nyaman, hanya karena untung rugi, hanyas karena tak mau membawa dian sehingga membuatnya susah meraba keindahan tiap sisi kotak dan penghuninya, segala yang ada.
Itu saja aku pikir,. Tak lebih. Maka ketakutan berpihak dan berjuang pada apa yang diyakininya itu tak wajar.Asal bagaiman si penghuni kotak bisa menempatkan diri sewajarnya, tak usahlah terlalu XL.

Journey

Dulu aq sering berpikir bagaimana jika,
Sekarang aq mulai sibuk berpikir bagaimana seharusnya...
Antara dulu dan sekarang adalah rantaian mozaik yang kubingkai dalam brankas otakku
Ia adalah sebuah perjalanan kontemplasi atas realitas yang menyuguhkan pengalaman berharga bagi yang lapang menerima
Kehilangan adalah kata berharga untuk direalisasikan, kepahitan adalah cara berharga untuk menikmati manis
Dari kehilangan aq belajar untuk mencintai apa yang kupunyai, dengannya aq belajar untuk memegang sesuatu dengan sepantasnya
Kehilangan, kepahitan hidup tidak mesti berantonim dengan kebahagiaan, justru dari sanalah terkadang kebahagiaan abadi aq peroleh
Itulah caraku menikmati mozaik yang telah kutata, terbingkai mesti belum selesai
Langkahku dalam memori, untuk terus kuhadirkan, menjadikannya pelajaran pada langkah yang kesekian. Derap langkah yang banyak bukankah akan menjadikan perjalanan kontemplasi semakin mengasikkan...
Aq bukanlah sufi atau orang yang suka bersemedi..
Karena aku bukan lagi sesuatu yang selalu berumus bagaimana jika, hingga langkahnya tersendat pada apatis pikir, kontemplasiku nyata, terindra, karena ia adalah jawaban realitas yang akan kujalani...
Yang akan terus kuhadirkan, kesadaran pikir yang telah lama meredup, tercecer dalam brankas otak yang tak tertata ,
Lalu...dalam waktu antara dulu dan sekarang
Adalah bagaimana pikir dan jiwa terbentuk hingga menjadi sosok terbarukan selanjutnya, terus begitu...... hingga tiba masanya akan sampai pada penghentian langkah nyata untuk keabadian yang dinantikan atau banyak ditakutkan sesuatu itu??
Sekarang... aku masih belum utuh sebagai sesuatu yang berproses pastinya
Hanya saja semakin saja kumerasakan kehilangan lalu memiliki kehilangan, kepahitan lalu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan yang merajuk untuk mendapat kepuasan selanjutnya.
Aq akan terus berproses menjadi sesuatu yang melakukan perjalanan kontemplasi atas realitas yang terus terjadi dengan kesadaran yang coba terus kuhadirkan hingga aku akan mendapat lagi serpihan mozaik yang belum selesai kutata. Mozaik yang berharga bukan?
Benar kata orang dan aku turut mengiyakan bahwa pengalaman adalah guru berharga, mengajari bagi yang mau dajari, memberi bagi yang mau diberi.
Ia hanyalah sebatas guru yang terbatas memberi, mengajari tanpa andil menentukan bentuk kita, karena kitalah yang menentukan bentuk kita sendiri
Sutradara yang jauh dari terbatasnya penglihatan manusia memiliki kewenangan Maha untuk mengawasi dan menunggu di hari keabadian para pemain parodi dunia......
darinya aq belajar untuk semakin memahami hakikat diri dalam waktu dulu, sekarang dan juga antara dulu dan sekarang...
darinya diri akan menemukan bentuk selanjutnya...

Andai kumampu mencintai REVOLUSI

Seandainya aku mampu mencintai revolusi maka akan kunikahi revolusi
Revolusi bagiku adalah sebuah frase yang terlalu banyak dikoarkan
Hingga terlalu indah dipraktekan
Ia ada di benak para pemikir, para petinggi, pada manusia yang mengazamkan dirinya revolter yang lagi kerepaotan mencari kader
Ia terkungkung pada wacana diskusi yang berbunga kontroversi disana sini.
Hingga revolusi bersama menjadi kian tak jelas
Warna revolusi adalah warna pelangi
Warna yang kasat mata mengaburkan spektrum sesungguhnya
Maka revolusi bagiku adalah sebatas muntahan kemumetan akan realitas yang tak kunjung retas.
Realitas yang semakin bebal akan solusi yang terus ditawarkan para manusia yang mengaku revolter itu.
Cibiran adalah bunga penghargaan bagi kami, revolter jalanan.kala itu kubangga sekali, hingga bunga yang tak kalah anyir dari bunga bangkai itupun kucium taklim.
Maka seandainya ku mampu mencintai revolusi akan kupeluk dan tak kan kulepaskan hingga kematian memisahkan kami.
Karena bukankah aku dan revolusi ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan mati. Karena jiwa dan ruh kami menyatu hingga hari penghabisan itu tiba. Karena akulah revolter jalanan yang menyusuri gelapnya perjalanan.
Sayangnya, lama-lama kujenuh dengannya hingga kembali ke baris dua tulisanku, sebuah kalimat kejam kutuliskan dengan geram.
Revolusi adalah hanya sebuah frase yang banyak dikorkan tanpa kucoba terjemahkan bagi mereka yang ingin melahapnya dengan sangat.
Semangatku adalah semangat pragmatis yang membuahkan apatis atas reaksi kemumetanku melihat realitas yang begitu bebal untuk direkonstruksi......
Hingga semuanya menjadi bebal bagiku
Maka aku memutuskan bercerai dengan revolusi, sesuatu yang belum tentu sanggup untuk kunikahi. Sesuatu yang menjadi tandinganku
Karena telah ada seorang pangeran yang lebih memilih menikahi revolusi dibanding perempuan yang belum cocok bersanding dengannya...that’s me?
Bukan...lantas bukan karena cemburu..
Hanya saja revolusi yang kukenal semakin abu-abu. Membuatku terlampau miris meneriakkannya lantang.
Beginikah wajah abu-abu revolusi yang gigih kupegang?
Lalu Mengapa aku akan bagaimana?sebuah pertanyaan mengapa dan bagaimana adalah penggantinya dikala kurindu, untuk terus kuingat dan kurasa arti kestagnanan, kondisi yang kupilih karena......
Ternyata kugagal mencintai revolusi...


Halah....re, ngapain sih loe..
Ke laut ajalah??tak ada revolusi berarti permulaan sekaratul maut bagi jiwa seorang revolter......
Seperti dirimu? Ah benarkah??yang bener aja loe....

Kehilangan

Ah gila nih nasib, kalau menghitung berapa kali kehilangan maka niscaya akan sulit terhitung…karena apa?karena aq dah lupa mulai dari kehilangan pensil, celana, sampai kehilangan orang yang kita sayangi yang kita koar-koarkan dengan sebuah kepalan tangan bahwa kita yakin, kitalah yang paling mencintainya, yang lain gak akan sanggup menandingi sayang kita padanya.
Makanya aq ngatain gila nih nasib, aq kehilangan untuk yang kesekian kalinya dan berturut-turut disaat aku mulai untuk mencintai apa yang kumiliki, lalu dihilangkan begitu saja. Sakit hati ini, kecewa hingga terbesit menghilangkan diri adalah usul akalku yang sudah sekian kali.
Aku harus berteriak, maka aq pergi saja ke sawah tempat yang jadi favoritku menumpahkan kekecewaanku entah pada siapa..hingga masih saja kuteriakkan nasib yang salah, yang sial yang tak mau diajak kompromi
Lalu aku berlari, maka aq berlari saja dengan tidur atau kesibukan untuk hengkang sejenak dari realita
Lalu akhirnya aku kelelahan, dan kuputuskan untuk diam saja, biar orang mengolokku orang yang apatis tak jelas, tapi diam adalah bentuk protesku atas kesialan nasibku..
Selalu saja kusalahkan nasib, memang demikian, habisnya...aku mau menyalahkan siapa selain nasib?
Tuhan adalah entitas sakral yang terlampau takut untuk kusalahkan
Tapi Diapun tahu apa yang kukecewakan, sakit di hati dan yang terpenting adalah siapa sebenarnya yang kupersalahkan? Karena sesuatu itu adalah sesuatu yang telah tahu segala yang akan terjadi, termasuk menghilangkan sesuatu yang kucintai
Sumpah, meskipun ada kewajiban ibadah, aku tetap menjalankan di tengah kegeramanku, keduanya berjalanan beriringan bagaikan iblis dan malaikat yang bekerjasama ...tapi memang akhirnya nihil karen diakui atau tidak kemaksiatan dan kebenaran tak akan berjalan beriringan, percaya deh, nih hasil empirisku...
Terus saja kedongkolan hati tak kuasa kumampatkan dengan keikhlasan yang banyak orang sarankan..ah ikhlas, sabar adalah kata-kata yang terlalu indah untuk dipraktekkan. Aku sadar siapa yang kutantang untuk memberi jawaban atas kehendak yang ia putuskan pada hidupku dan hidup orang yang kucintai, ketakutan mulai merayap dalam hati kecilku...
Atas dasar apa aku marah... hati kecilku berkata lirih berbisik”bukankah orang yang kau cintai segala yang kau miliki termasuk dirimu adalah milik Tuhan?” dan bisikan itu terus merajuk minta tempat kontemplasi dalam benakku..meski kutepis berkali-kali
Dan akhirnya pengalaman adalah penjabaran yang sempurna atas apa yang kugelisahkan atas cinta yang kukoarkan pada orang yang kucintai. Atsa semuanya...dan semuanya berbalik menyeringai kepadaku geram, memberi pelajaran hingga aku terjungkal dalam sebuah kotak keterbatasan.
Kenapa Tuhan tak juga menimpakan azab petaka padaku adalah pertanyaan yang belum juga terjawab. Mungkin juga realitas yang sekarang dan nanti berjalan adalah sebuah pembelajaran berharga dariNya, entitas yang kutantang untuk menjawab segala apa yang telah Ia putuskan?
Aku merasa dan akhirnya menyadari sesuatu, bukan Dia yang menjawab langsung , tapi hanya memberi stimulus kepadaku untuk berkontemplasi lagi, menyuruhku hingga dengan ikhlas mau dan mampu menjawab kehilanganku, kegetiran yang menyisakan kegelisahan?
Hingga belum pada akhirnya...
Aku menyadari betapa kehilangan adalah sebuah pembelajaran untuk mengikhlaskan, untuk tidak egois mengkoarkan yang paling memiliki dan mencintai...karena ternyata aq terbatas dan kita, manusia adalah terbatas pada massa dan waktu. Kehilangan adalah bentuk dari keindahan kehidupan untuk kita berkontemplasi menemukan dibalik kehidupan, adalah Sang Maha yang selalu mencintai aq, dan apa yang kita cintai jauh dari apa yang bisa kita beri, rasa cinta yang kita miliki..
Adalah aq atau orang yang menantang dan akhirnya bersedia menjawab tantangannya sendiri..
Tantangan untuk menjawab segala yang kita anggap sebuah masalah atau momok atau nasib yang dianggap kesialan, pelarian yang tak menyelesaikan masalah.

Sebuah tantangan untuk berpikir sebelum bertindak dan memikirkan kembali apa yang telah ditindak untuk melangkah lagi, bukan lari ke belakang atau menyalahkan sesuatu yang belum tentu salah, bukan melangkah pada sesuatu yang telah kita anggap sesuai dari kedangkalan pikir yang masih terintimidasi oleh persaan yang ciut.
Kehilangan akhirnya menjadikanku mencintai apa yang yang menjadikannya hilang, apa yang menguasainya hingga ia hilang, apa yang menguasai realitas yang terus melingkupiku. Dari sesuatu itu aku belajar memiliki kehilangan.