Rabu, 29 April 2009


Pelataran TBS kala sore

Filosofi Malam

Hening.Sesekali suara jangkrik bernyanyi mengisi sunyi.Gelap,hening dan…jangkrik, perpaduan unik Lama kuterpekur begitu juga dengan dia,perempuan yang duduk di depanku, parasnya ayu,seayu pikirannya yang tlah lama kukagumi. Sedari tadi mimiknya sama,matanya terpejam dengan tubuh berselanjar kebelakang, tapi kutahu ia tidak tidur, begitulah caranya menikmati malam,menekurinya dibalik gelapnya pandangan. Dan aku menikmati malam dengan menikmati tingkahnya. Tak jemu, baginya nikmatnya Suasana malam adalah meresapi hingga keheningan sejati terasakan, bagiku dialah pesona malam.

Apa kau percaya nilai In?tanyaku pelan,mencoba mengusik meditasinya perlahan.Tak bergeming, tetap terpejam, hanya sunggingan yang menandakan ia menyimak ucapanku.

Maksudmu?

Maksudku kepatuhan manusia terhadap nilai yang sudah ada.Bukankah nilai telah ada tanpa persetujuan kita?lantas, mengapa kita harus tunduk?Toh, bisa jadi kita punya patokan nilai atau bahkan nilai itu sendiri?

Re,mengapa harus ada nilai?apakah kau butuh itu setidaknya untuk hidup?tanyanya datar, kali ini dengan mata terbuka.
Nilai itu ada karena dibutuhkan, kebutuhan itu ada karena keyakinan, keyakinan adalah percaya.lanjutnya,

aku sudah bisa menebak tipe jawabannya, tapi itu yang membuatku suka dan tak jemu berdiskusi dengannya, bukan tipe penjustifikasi apalagi pendoktrin.

Lalu seperti diskusi kami yang sudah-sudah, aku akan lama bergeming, memahami maksudnya. Biasalah, otakku terlalu lemot mencerna struktur kalimatnya yang unik.

Lalu nilai mana yang kau persoalkan?terlalu banyak nilai dan penilaian bukan? Tatapnya tajam kearahku, seperti silet yang siap merobek tirai keraguan tanyaku
Iya ya, nilai yang mana, terlalu banyak ambiguitas patokan nilai yang kulalui, hingga tak kuingat detail yang mana, batinku ragu.

Sejenak, kutatap bola matanya,sorot matanya tak setajam tadi, lebih teduh. Sepertinya, ya sepertinya lagi ia tahu segala kegelisahanku.

Nilai, tanpa persetujuan kitapun akan tetap ada Re, sejauh apapun penolakan kita. Terkadang permasalahannya bukan pada nilainya tapi patokan, sign yang dijadikan patokan manusia.

Ehm....mungkin.Patokan, patokan yang menyebabkan ketertindasan akan siapa yang melanggarnya, dominasi manusia terhadap yang lainnya. Aku menimpali
Ia tersenyum, entah apa makna senyumnya. Sahabat diskusi yang satu ini susah kutebak, meski beberapa sisi dirinya sangat kupahami.

Yaaah...begitulah Reeee. Mumet klo bicara makhluk yang namanya manusia!
Whuam...katanya sambil menguap, lalu meregangkan tangannya keatas, seolah selesai hibernasi
Namanya juga terbatas, keterbatasannyalah yang sering membuat ambigu patokan nilai yang dibikin misalnya....

Demokrasi yang batasannya sendiri ambigu, makna hak asasi yang dibuat dan digunakan seenak udel siapa yang ngomong, atau nilai kesopanan berpakaian terkait pornoaksi yang masih jadi pertentangan kanan kiri
Celetukku mencoba menggenapi ucapannya

Hemm....makanya tadi kutanya Nilai yang mana, tergantung... ia kembali merebahkan badannya kebelakang, memejamkan matanya, kembali bermeditasi bersama malam, lalu aku akan asik menatapnya, sambil berfilosofi.

Hihi...aku geli. Filosofi, sok menjadi filosof. Filsafat bikin puyeng. Tapi bukankah itu yang setiap kali kulakukan, bahkan diskusikupun sering mempertanyakan suatu yang telah mapan, dimulai dari mempertanyakan keraguan, lalu berpikir penyelesaian. Yah jika bisa selesai dan terbantu menyelesaikan. Payahnya jika sebaliknya, maka kau akan terjebak dan tersedot lubang hitam keraguan, sejenak bahkan mungkin selamanya. Ngeri...

Maka sekali lagi kupandangi sosok di depanku, Sahabatku. In, cukup aku memanggilnya In, seperti pula cukup ia memanggilku Re. Ya... katanya namaku kepanjangan, jadi Ia memotong sepenggal kata di nama keretaku. Katanya Re lebih keren, Re bisa berarti kembali, bisa juga dewa mitologi Jepang, Dewa matahari, Dewa Re. Katanya lagi, seperti keraguan dan keingintahuanku yang menyala besar laksana matahari, tapi tak selalu membakar karena akan Kembali dingin, sedingin Bulan. Ah In, penggambaranmu aneh, pembandingan yang tak sebanding. Matahari dan Bulan, siang dan malam.
Jangan lupa Re, baik siang dan malam, tetaplah sama, berbeda warna, terang dan gelap samar, Bulan dikenal karena sinarnya di malam hari, tapi itu hanya pendaran sinar matahari yang tertangkap banyak mata di planet biru ini. Mereka satu kesatuan. Seperti bara yang kan selalu ada dalam keingintahuan, kekritisan manusia selama manusia itu tak menjelma menjadi makhluk stagnan, lalu mereda sebanding proses yang dijalaninya. Ia adalah sistem, maka pengetahuan dan ilmu itu terus ada.

Ah In, sejauh mana kau ingin menyelamiku?terkadang ketajaman pisau analisismu sukses menelanjangiku. Hingga aku me re-pikirkan keraguanku yang terkadang tak beralasan. Lalu kau akan bilang Perlukah selalu ada alasan atas pertanyaan? Itu wajar Re, suatu saat kau akan sering menemui pertanyaan, pertanyaan keraguanmu yang lebih mirip lompatan. Semacam spontanitas, spontanitas terhadap realitas.

Kupandangi Langit malam yang tak mutlak hitam, entah perpaduan biru hitam atau hijau hitam, yang penting tak hitam kelam.. Penilaian manusia nisbi jika sign itu sendiri juga nisbi. Selama itu pula aku berpendapat sangat wajar mempertanyakan, mencoba apatis bukankah melatih kekritisan?

Lalu dimanakah kemutlakan itu In? Tanyaku tiba-tiba
Nisbi pada yang nisbi mutlak pada yang mutlak. Jawabnya singkat tanpa titik, tapi itu cukup membuatku tak segera melanjutkan tanya lagi.
Lucu juga ya diumur kami yang tak terlampau jauh berbeda....Ia seperti Sensei bagiku, kalo berdiskusi akulah yang selalu banyak tanya. Selain karena ingin banyak paham juga menghindari tanyanya yang cukup membuat dahi mengernyit. Jujur aku tak ingin terlampau cepat tampak tua, banyak kerutan di dahi bagiku mirip keriput nenekku.

Nah siapa yang mutlak itu Re? tiba-tiba ia bertanya
Suatu yang tak ada kemutlakan diatasnya, bukan seperti langit yang berlapis-lapis
Lu kate kue lapis?tanyanya banyol
Hehe..kami tertawa kecil

Ia, entah dzatnya seperti apa,seperti katamu...tak ada kemutlakan diatasnya, Ia yang tak bisa melihat sesamanya, Ada dengan sendirinya, tak berawal dan berakhir

Yang jelas bukan manusia dong...

Lalu...entah manusia, tumbuhan, Jin, hewan yang jelas..tentulah suatu itu bukan Makhluk.

Ya...

Nilai..nilai..Daripada ngitung berapa banyak nilai mending dikau tanya mengapa nilai itu ada Reee...

Nggak ah..ngantuk

Mo turun?tanyanya sambil menguap lagi

Ya iyalah...masak tidur di atap....Yang bener aja Loe. Aku g kebal malu In, klo ntar kepergok trus sialnya disangka maling...Malulah aku
Apa kata dunia

Sebelum langkah terakhir meninggalkan tempat favorit kami berkontemplasi, kupandangi langit, kuresapi malam, malam yang tenang menghanyutkan, mencambuk jiwa yang gemar berpetualang,...mencari dan terus mnecari menggenapi makna eksistensi diri. Kaulah filosofi malamku In, sepertinya aku harus berlatih lebih banyak memahami hidup sepertimu.

G bisa tidur, daripada bengong