Minggu, 21 September 2008

Simbol yang jadi bumerang
Berawal dari diskusi dadakan saya bersama kakak. Sebenarnya sudah terlalu biasa bagi kami berdiskusi,karena menyebutnya sekedar nercakap-cakap kok tidak pas, karena memang yang terjadi diskusi, meski tak jarang berawal dari obrolan ringan, dan akhirnya memberat, dan tak jarang pula kamipun kewalahan, kadang sepakat terhadap sebuah penyelesaian suatu perkara, kadang bersikukuh pada pemahaman masing-masing, kadang buyar karena cenderung debat kusir. Ah memang si kakak, kalo pas ketemu saja (itupun nggak sering-sering) selalu berujung diskusi. Tapi dari situlah saya bisa menggali beragam ibroh akan sebuah perbincangan.
Suatu waktu kakak bertanya, “Hei Re, ada seorang muslimah, seorang akhwat, aktifis dakwah malah, di sisi dinding kosnya terpampang lebar poster Che Guevara, menurut adik, karena apa si akhwat nglakuin itu?”
Sejenak sayapun berpikir, saya paham maksud pertanyaannya, Che Guevara tentulah berbeda dengan tokoh Ibu kita Kartini, Che identik dengan tokoh pejuang kiri, tentulah akan sangat aneh ditemukan poster wajahnya terpampang lebar di dinding kos-kosan akhwat, aktifis dakwah Islam pula. Secara, azas perjuangan Nabi Muhammad dengan Che bagaikan langit dan bumi.
“Yah tergantung mbak,” saya mencoba menjawab singkat,
“maksudnya tergantung??”kakak saya bertanya dengan intonasi suara memberat. Saya sudah bakalan tahu, kalau ia akan langsung tanya balik.
“yah, manaketehek mbak, klo ditanya alasannya mah, mending tanya ke akhwatnya sendiri,” jawab saya sembari berkelakar. Eh, saya kira kakak saya juga ikutan tertawa, tapi bukan tertawa tepatnya, raut mukanya memang langsung berubah, berubah manyun, dahinya mengernyit,
“kok bercanda sih dek, yah mbak tahu, tapikan mbak tanya klo menurut adik, seandainya dikau gitu?!” katanya dengan sedikit hardikan
Wah, nih bakalan serius, jurus banyolan saya sudah tak mempan. Baiklah, secepat mungkin saya tata retorika dan bermodal jawaban asal yang masih beragam di kepala.
‘Ehm, bisa jadi itu hanya jadi spirit baginya…”
“Spirit bagaimana?” tanya kakak
“yah, mungkin si akhwat cuman mengambil sisi kegigihan perjuangan Che waktu bergerilya di hutan belantara,misalnya,”
“mengambil spirit?, bukan, mungkin juga si akhwat sudah terobsesi dengan si Che, hingga memajang poster di dinding , ia mulai melirik alur perjuangan Che…” nada kakak mantap tanpa memberi celah anggapan bahwa ia menyodorkan pertanyaan, tandanya, pernyataannya barusan adalah sebuah statement pendapatnya, bukan lagi kebingungan,
“Itukan sama saja ketika adik menempel poster Bush gede-gede di dinding atau pintu kamar adik, itu tandanya adik terobsesi…” kata kakak sambil menodongkan telunjuk jarinya ke arah saya.
Saya terdiam, singkat sekali untuk menyimpulkan, diskusi ini terlalu singkat untuk menghasilkan keputusan,
“ya, iya sih, saya memang terobsesi…”
“ nah kan, makanya, memang harus hati-hati mengobsesikan sesuatu, bisa jadi melenakan kita akan sesuatu yang justru berlawanan dengan arahan yang telah kita perjuangkan” kata kakak sambil beranjak dari tempat duduk dan menepuk bahu saya pelan. Meninggalkan saya yang diam terpaku.
“Maksud saya mbak, memang saya terobsesi ketika nempelin foto Bush, saya terobsesi untuk segera melenyapkannya dari muka bumi berikut pemikiran kejinya, terlalu picik hanya gara-gara poster saya berubah haluan, apalagi fotonya si Bush nggak ada gantenganya sama sekali, hih jijay…” gumam saya menyelesaikan ucapan yang belum tuntas.

Yah sekedar simbol, menjadi bumerang.

Re_

Tidak ada komentar: