Kamis, 04 September 2008

Kontemplasi lagi, lagiii dan laaagiiii………

Pernahkah kau berpikir teman, tentang hidupmu? Tentang eksistensimu?Mengapa dan apa gunamu di dunia? Sejak kecil, sejak pertama aku bisa mengingat, itulah pikiran pertama yang terbesit dalam benak, sambil lalu dengan jawaban mengambang, bagiku biarlah waktu yang menjawabnya. Begitulah, hingga sampai akhirnya aku kebingungan sendiri dalam makna eksistensinya, karena meski aku cenderung penganut easy going tapi aku selalu tak ingin stagnan, maka pertanyaan itu selalu terngiang, hingga dalam mimpiku, namun tetap saja aku masih menganggapnya sambil lalu. Lama-lama kubosan, aku kecewa pada waktu.Waktu berjalan arogan, tanpa beri jawaban, beriku waktu untuk sekedar meraba. Ah, lalu setelah kupikir-pikir mengapa pula kusalahkan waktu yang bungkam? Bukankah dari waktu yang berjalan terbentuklah matra kehidupan yang penuh labirin, hanya diriku saja yang malas untuk terus mencari pintu, hingga kumampu merangkak lebih maju.
Sekarang kuputuskan untuk menjawab, dengan berpikir tentunya, aku kurang terlalu yakin dengan peran perasaan dalam proses perubahan. Pikirku mengatakan perasaan adalah komponen penguat setelah berpikir, maka muncullah apa yang disebut keyakinan.Perasaan akan menguatkan pemikiran kita, karena itu keyakinan kian kokoh.
Lalu ada sebuah pertanyaan muncul di benakku, Apakah aku akan menjadi orang seperti yang biasa kulihat disekitarku?Seperti merekakah?Aku akan tumbuh besar, bersekolah, jika mujur bisa sampai ke perguruan tinggi, menikah, punya anak, cucu, cicit lalu seterusnya, dan mati?Mirip dengan kebanyakan orang, tentunya, bukankah diriku juga orang?Ah, aku menjadi jenuh. Kalau begitu tak ada yang istimewa pada diriku, Apa yang memberiku arti hingga aku berarti dan terasa istimewa?Kutakbicara soal kecerdasan ataupun keelokan fisik?Karena jawabnya sudah bisa kutebak, Standart. Manusia yang standart. Jika aku lebih dari hewan, maka egoku kini meninggi, aku ingin lebih dari manusia pada umumnya. Indra keenam?apa pula itu?aku tak paham, mungkin aku tak punya, jadi lupakan khayalan itu. Lalu apa sebenarnya yang buat hidup lebih dari sekedar hidup kebanyakan?
Itulah kebingunganku teman, tak apalah jika kalian tak ingin sepusing aku, memang tak usah terlalu dipusingkan,mungkin ada benarnya pula aku terlalu berlebihan, lalu kau mencibirku,Mengapa hidup kau bikin susah sendiri?Lalu kau sendiri hidup buat apa? Buat makan atau makan buat hidup?buat jadi orang kaya?buat cari cowok atau punya pacar banyak?atau hidupmu buat cari kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya?
Tentu, aku juga inginkan itu teman, tapi itu nanti dulu. Percayalah, aku sudah hampir mengalaminya, meski tak seperti orang lain, karena bukankah segala yang terjadi bumbunya akan berbeda permasing kehidupan manusia? Tapi aku bukan ingin itu dulu, sekali lagi, belum itu dulu.
Jika itu dulu, maka semisal kebahagiaan aku akan bertanya lagi, kebahagiaan macam apa?kaya seperti apa?apakah tepat pula jika kusamakan dengan pendapat kebanyakan orang?Jika ya, mungkin makna kebahagiaan adalah pemuasaan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya, semisal bagi orang yang lapar akan mengatakan kebahagiaan adalah makan sepuasnya, berbeda-beda. Lalu akan muncul pertanyaan apa sebenarnya kebahagiaan itu?Tidakkah itu bisa disamakan?Kebahagiaan global misal?
Hahaha…lalu kau akan menertawakanku sambil terkencing-kencing di celanamu. Mungkin kau akan berkata jika segala sesutau kau pikirkan tak jelas seperti itu kau bisa menjadi kandidat penghuni RSJ nomor wahid. Ah, dikau teman,tega benar. Lalu bagaimana, banyak teman yang kutanya tapi hanya menjawab sambil lalu, seolah pertanyaanku konyol saja. Tiba-tiba terbesit pertanyaan, Apakah manusia bisa menentukan apa yang baik bagi dirinya semisal bahagia haqiqi menurutnya? Lalu, ia akan umumkan dan patenkan menjadi sebuah patokan bagi semua manusia?Lalu bagaimana jika tak sesuai bagi yang lainnya? Bulshit, diman kemutlakan itu ada? Ah, algi-lagi kau akan menertawakanku. Yah, kutahu seperti yang kita pelajari bersama tentang kemutlakan dalam filsafat adalah nihil,nir…Tapi sudah lama kutakyakin dengan jawaban dari berfilsafat yang semakin memberi keabsurdan. Hakikat kebenaran yang dicari tidak lagi sebuah hakikat, akrena mereka, para filosof lagi kebingungan menterjemahkan kehakikatan. Jika akal sudah kepalang mentok, mereka selalu berujar, memang tak ada sesuatu yang mutlak didunia ini ibarat sebuah nilai yang sangat nisbi. Bagiku mereka gagah di awal atau cuman gagah-gagahan, masak iya, iya gak sih?
Lalu standard kehidupan, termasuk hidup dan guna kuhidup, kucari pada siapa?dimana?sekarang kau bungkam teman,menatapku tajam, kau ingin jawab, tanya saja ke dosen Filsafat, tapi urung kau lakukan, karena kau tahu itu bukanlah solusi, atau kau mau mengatakan tanya saja ke psikolog, tapi juga urung kalakukan, karena kau juga tahu para psikolog belajar psikologi, sama saja, tentang filsafat cuman obyeknya adalah manusia, jiwa manusia. Kali ini kau benar-benar bungkan, tak berani menertawakanku lagi. Kau semakin terlibat dalam irama sesuatu yang membuatku bingung, dahimu berkenyit tajam,kau semakin bingung, terlihat dari berkali-kali kau garuk kepalamu yang tak gatal, karena kutahu kau rajin shampoan, tak sepertiku yang sudah lumutan.
Akhirnya, kuterduduk lemas, tak berani tatap mentari, sinarnya menyengat seolah menghinaku.Lalu…………………
Silahkan lanjut pada kontemplasiku selanjutnya
.he…he…

Re_
Urung selesai teman

Tidak ada komentar: