Kamis, 04 September 2008

REKAMATRA

Sebuah ruangan berkonsep Open Plan, berisi banyak ruangan yang tersekat menggunakan Whiteboard. Jam dinding menunjukkan waktu dini hari, waktu pelepasan penat para manusia, waktu para roh pergi mengembara menuju Peniupnya, hanya saja kali ini adalah anomali bagi 2 karyawan yang mulai lembur di blok sudut ruangan. Gemerutuk tuts keyboard mereka berkompilasi apik dengan detakan jam dinding,menciptakan konser malam yang eksotis, menggema merajai malam.
Sementara lagu Homenya Michael Buble terdengar samar dari sebuah ruangan masif diujung ruang kantor, mengalun menciptakan konser tunggalnya. Terlihat didalamnya,seorang wanita muda, berjalan menuju double glass fasad ruangan, menyibakkan tirai yang menutupinya, hingga tampak jelaslah pemandangan luar, beragam bangunan menjulang bak tumbuhan tinggi yang berlomba menggapai Matahari. Lama menekuri pemandangan di depannya,sang wanita mendongakkan kepalanya,hingarnya cahaya kota membuatnya dan mungkin seluruh penduduk di kota ini tak kuasa menikmati gemerlapnya cahaya bintang di malam hari.
“benar-benar kota yang angkuh.” Ucapnya dingin sambil menutup kembali tirai yang belum lama ia sibakkan.
Si wanita berjalan gontai, menuju meja kerjanya. Tubuhnya menghempas kasar pada sebuah kursi putar di sebalik meja. Wanita itu mencoba memejamkan mata yang kian terasa panas, setelah hampir 15 jam dipaksanya untuk bekerja, baginya keletihan fisik hanya ganjalan sesaat ,resiko yang ia sadari betul. Bagaimanapun ia harus profesional, haruslah menjadi wanita karir yang sukses, terlebih didepan para jajaran yang mayoritas adalah laki-laki. Perlahan,ia bangkit dari sandaran, meraih plat nama di ujung mejanya.
“Intan setia, wakil direktur,”ejanya angkuh.
Ia pandangi seluruh detail ruangan. Ruangan para petinggi, klas VIP, di dalamnya seperangakat sofa empuk bertengger di sudut kanan ruangan, lalu perabot modern yang ia desain ulang, dipadu dengan langgam etnik Jawa, sesuai seleranya, Warna dinding coklat susu, sengaja ia padukan dengan furniture, menciptakan harmoni rasa, keselarasan tampilan. Benar-benar ruangan yang berwibawa ditambah predikat wakil dirut yang disandangnya, membuatnya menjadi sorotan utama di perusahaan ini. Seorang wanita dalam usia 30 tahun sudah berhasil memegang jabatan ini, sungguh prestasi yang membanggakan baginya. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya, hingga nampak jelas lesung pipitnya, membuat wajahnya yang ayu menjadi tambah ayu. Sebuah senyuman yang hanya ia sendiri tahu maknanya.
Tiba-tiba pandangannya beradu dengan sebuah foto yang terbingkai apik di sudut mejanya, bingkai mungil yang tersembunyi disamping kertas kerjanya yang menggunung. Ia menatapnya lama, tangannya meraih bingkai foto dan mengusapnya berulang seolah berusaha membersihkannya dari debu yang menempel kuat. Matanya mulai berkaca-kaca, menciptakan riak gelombang yang enggan tumpah, entahlah, dirinya sungguh enggan untuk kembali menangis, menangisi sebuah lini hidupnya yang buram, tak seindah perjalanan karirnya yang melangit. Dahinya berkerut, senyuman yang tadinya merekah tiba-tiba lenyap tanpa jejak, menampakkkan rona yang sama sekali baru, gurat kesedihan kian nampak di wajahnya.Batinnya berkecamuk, ketaksingkronan akal dan suara hati dalam dirinya kembali muncul. Sebuah keadaan yang hingga kini berkali-kali ia cari penangkalnya, dan berkali-kali juga ia gagal. Melihat foto ini, mengingatkannya pada babak sakral hidupnya yang di ujung tanduk. Tangannya masih saja meraba kaca bingkai, terpampang disana foto suami istri dengan seorang bayi dalam dekapan Ibunya, mereka semua tertawa bahagia, terlebih si balita dengan tawanya yang menggemaskan ditambah lesung pipit menambah keelokan diwajah imutnya, sebuah tawa yang nampak lepas tanpa dosa. Namun itu momen 6 tahun silam, saat riak gelombang belum kuat menggoncang bahtera, saat nahkoda kapal dan awaknya masih saling percaya dan mengerti.
“Farah, sekarang kamu pastilah sudah besar, bunda kangen, Nak” ucapnya lirih,
Hah, kangen, bukankah kau yang memilih jalan ini Intan, apa kau amnesia, kau sendiri yang memutuskan mengakhiri ikatan sakral yang begitu menjerat sisi kebebasanmu. Bukankah kau dari awal menjalaninya karena terpaksa…suara batinnya menggema.. tak terasa buliran air mata mengucur deras membasahi pipinya.
“iya..iya kau betul, memang aku yang memutuskan semua ini, tapi …” ucapnya getir. Urung ia lanjutkan kata-katanya, terdengar suara pintu diketuk. Cepat-cepat ia benarkan posisi duduknya sambil ia hapus air mata yang menempel pekat, bersatu dengan sisa make upnya. Pastilah itu karyawan yang menyerahkan pekerjaan lemburnya, lalu ijin pulang. Ia tak mau, karyawannya melihat keadaannya saat ini.
“Masuk,”ucapnya dengan posisi duduk membelakangi meja.
Terdengar pintu berderit, sepasang laki-laki berjalan perlahan mendekati meja si wanita, yang tak lain atasan mereka.
“Bu Intan, kami sudah selesai, ini pekerjannya,” ucap salah seorang diantara mereka.
“yah, taruh saja diatas meja, kalian boleh pulang,”ucapnya sampil melayangkan tangan, kode agar mereka segera beranjak pergi. Seperti pasukan, mereka bergerak bersama, patuh ikut aba-aba pimpinan.
“dasar,tentu saja kami akan pulang, lembur inikan maumu, memang kami workaholic apa,” seorang dari mereka bergumam lirih
“tunggu,” suara Intan menggema, menghentikan tapak kaki mereka, yang mulai melangkah pergi.
Bagai tersengat listrik, mereka berhenti, berdiri kaku, dengan suara gigi yang bergemerutuk, tubuh mereka berguncang, bulu kuduk mereka berdiri. Batin mereka berkecamuk, menduga apakah atasan mereka mendengar gumaman tadi. Kali ini tampang mereka persis maling ayam yang ketangkap warga, siap untuk disidang massal.
“Oiya, salam buat keluarga di rumah,” ucap Intan ramah.
“Iya Bu, terima kasih,”ucap mereka serentak, ada perasaan lega tersembul, lalu mereka terus berjalan ke luar ruangan, sambil membawa segudang perasaan aneh tentang atasannya. Meraka pikir sudah sangat mengenali atasannya, tapi ternyata tidak, wanita itu memiliki beragam teka-teki yang sulit ditebak.
“Wanita aneh,”gumam seorang dari mereka sambil menggelengkan kepalanya heran.
Intan, sang direktur masih saja menekuri foto didepannya, foto yang selalu menemaninya menghabiskan hari di kantor ini. Sejak beberapa tahun terakhir setelah babak kelam kehidupannya dimulai, dirinya sering menghabiskan waktu seharian di ruang ini, seperti orang yang homeless, tunawisma. Lebih baik baginya menghabiskan waktu untuk kerja di kantor ini, daripada pulang ke rumah yang tidak menyiratkan kehangatan sama sekali. Rumah megah itu kini kosong tak berpenghuni, sejak mereka, dirinya dan suaminya memutuskan pisah rumah 6 tahun lalu, tepat 6 bulan sejak kelahiran anak pertamanya. Ia memutuskan tetap tinggal di rumah megah itu, sementara dirinya merelakan suaminya pergi dan membawa serta anak mereka. Intan berjalan gontai menuju sofa, merebahkan tubuhnya yang sudah tak berasa letih, karena bebalnya. Lemat-lemat pandangannya mengabur menjadi abu-abu, dan kemudian kegelapan menyelimuti pandangannya.
***
Prang.suara piring yang dibanting, mencipta gema di sebuah ruangan besar. Sebuah rumah megah di pusat kota. Piring itu melayang, berjatuhan mengalunkan irama yang mengiris jiwa. Berkali-kali terdengar teriakan wanita dan laki-laki yang beradu mulut. Si wanita histeris, si laki-laki mengeluarkan suara bassnya dengan kuat. Perpecahan yang kerap terjadi. Untunglah rumah itu terletak di kota, dengan kekerabatan penduduknya yang minim, beruntung rumah itu tidak terletak di desa. Pastilah setiap hari, tidak siang, tidak malam, menjadi tontonan warga desa.
“Aku sudah jenuh padamu mas, kau egois,selalu mengekang keinginanku, selalu kau kritik apa yang kulakukan,” ucap si wanita berteriak.
“keinginan apa heh, apa kebebasanmu yang keblabasan. Ingat tan, kita sudah menikah, ada Farah yang butuh perhatianmu,” ucap si laki-laki tak kalah keras.
“oo, jadi mas menyalahkan aku, sementara mas kerja seharian dan aku di rumah ngurus Farah. Aku kerja juga buat anak kita, harusnya mas juga pengertian dong, gimana sih,”
“ Kau tahu hidup kita tak kekurangan materi, ah…sudahlah aku malas berdebat denganmu, atau mungkin kau menyesal melahirkannya, menghambat karirmu, iya?!” ucap si laki-laki lagi sambil menudingkan tangan ke arah wanita yang berdiri di depannya.
Tiba-tiba suasana menjadi sunyi, masing-masing dari mereka diam, tak bicara, saling bersingkuran. Ada panas yang menggelegak dalam hati si wanita, hingga ia tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang tak lain adalah suaminya. Bagaimana ia harus menjawab, meski semuanya tak sepenuhnya benar, tapi memang begitu adanya. Dulu ia pikir pernikahan bisa menentramkan jiwa, lama-lama jiwa kefeminisannya berontak mencari celah bebas dari perubahan rutinitas yang disandangnya, seorang wanita muda dengan karir yang menanjak, harus bermetamorfosis menjadi Ibu rumah tangga seperti yang diidamkan suaminya. Jujur, egonya terlalu besar untuk ikhlas menerima, meski dengan hadirnya Farah dalam kehidupan mereka. Mengapa Farah harus jadi hambatan?Benarkah ia seorang Ibu dan istri yang kejam?
Akhirnya pertengkaran itu selesai seperti biasa, tanpa solusi, menyisakan kebungkaman yang menyakitkan hati kedua belah pihak.Si wanita berjalan gontai menuju kamar kerjanya. Setumpuk pertanyaan memenuhi brankas otaknya, Lalu bagaimana sebenarnya berperan menjadi seorang Istri dan Ibu yang baik?bukankah apa yang kulakukan sudah benar, aku melakukan apa yang menjadi perjuanganku hingga kini, sebagai pejuang feminis sejati. Harusnya ini berjalan layaknya penyelesaian seperti yang kerap ia baca di buku tentang peran sejati wanita. Diraihnya buku di rak almari, sebuah buku berjudul ‘ Aktifitas Feminis sejati’, seperti kerasukan setan, ia lempar kasar buku tersebut ke lantai, ia comot lagi sebuah buku berjudul ‘Perjuangan Kesetaraan Jender, Kebahagiaan Sejati Seorang Wanita’, tangannya mengusap berkali-kali buku yang dipegangnya dan membanting kasar ke lantai. Hingga akhirnya Ia robohkan tatanan buku di depannya yang tersusun rapi. Wanita itu mengacak rambutnya, menjambaki tak beraturan. Sementara ,samar terdengar deru mobil dari luar, deru mobil yang ia kenal betul, suara mobil suaminya. Bergegas ia menghampiri jendela kamar, terlihat suaminya mengepak barang di begasi mobil, dengan menggendong seorang anak. Sadar akan apa yang dilihatnya, ia mengambil langkah seribu, tak peduli apa yang dihadapannya ia terjang, hingga tersungkur berkali-kali karena tak menghiraukan pile lantai.Namun terlambat baginya, mobil sudah keluar dari pagar rumahnya. Langkahnya mendadak berhenti, tercekat di pintu rumah sambil terus memandang mobil yang mulai hilang dari pandangan. Ia tahu, mengejarnya adalah suatu hal yang utopis. Ia sadar, mulai detik ini ia akan kehilangan kedua jantung hatinya, untuk pertama kalinya menjalani Ramadhan sendirian, hanya dirinya bersama rumah sombong ini.
***
Suara deru mobil masih terngiang di telinganya, kali ini suaranya bergemuruh, ramai membuat bising telinganya. Mata Intan terbuka pelan, ia segera bangkit dari tidurnya, menerawang kesekeliling ruangan, ternyata itu semua mimpi. Ia berjalan menghampiri jendela yang tak tertutupi tirai. Matahari sudah mulai meninggi, sementara deru mobil kian membahana membanjiri kota yang sarat polusi, sepertinya para manusia sudah tak peduli dengan keadaan lingkungan yang kian sekarat. Tentunya mobil itu makin membanjiri kota, terlebih bulan ini bulan puasa, banyak yang tidak mau berpanas-panas ria atau bercapai-capai ria pergi dengan berjalan kaki.Bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat, bulan segala ampunan, membasuh jiwa-jiwa manusia yang kotor, kajian yang rutin ia dapatkan di pengajian kantor. Sudah hampir 6 kali ia lewatkan bulan ini sendirian, tanpa keluarga yang utuh. Sungguh ironis memang, di KTPnya jelas tertera statusnya yang tak lagi lajang. Yah, ini memang hukuman bagi dirinya, terlambat mengerti, memahami makna perannya sebagai istri dan Ibu, kesadaran yang muncul selalu ia lindas dengan keegoan diri akan pemahamanharkat mmartabat diri yang keliru. Kesadaran yang kini telah pulih, memperjelas sesuatu yang abu-abu menjadi putih kembali, tak bisa mengembalikan saat-saat itu, saat 6 tahun yang lalu. Intan berjalan menuju cermin besar yang tertempel di dinding, membenahi kerudung dan pakaian gamisnya yang sedikit berantakan. Dua tahun yang lalu ia putuskan mengakhiri perjuangannya yang keliru, jauh menyimpang dari jalan kebenaran, meraih kebenaran lain yang menjanjikan kebahagiaan haqiqi. Meski berproses tertatih, tapi dirinya begitu menikmati guyuran iman yang merasupi jiwanya yang tlah lama gersang. Ia pasrah jika tiba-tiba sebuah surat cerai sampai ke tangannya. Berkali-kali ia hubungi nomor suaminya, tapi berkali-kali juga tak ada tanggapan.
“Semoga mas mendapatkan seorang istri dan Ibu yang baik buat Farah,”gumamnya lirih.
Hari ini, keputusannya sudah bulat, mengakhiri sesuatu yang dulu begitu diperjuangkannya. Sebuah surat pengunduran diri sudah ia layangkan seminggu yang lalu ke tangan dewan direksi, hari ini waktunya mengemasi barang-barangnya. Berpasang-pasang mata mulai mengamati tingkahnya dari pintu yang dibiarkan terbuka. Sepertinya mereka sadar, akan kehilangan atasan yang memiliki dedikasi tinggi, meski terkadang pola kepemimpinannya kurang begitu mereka sukai.
Setelah selesai mengepak barang dan berpamitan pada atasan dan karyawannya,bergegas ia menuju basement dan memacu mobilnya pergi meninggalkan kantor ini, pergi dan tak kembali. Belum lama ia mengemudikan mobilnya, sebuah mobil Mercy hitam mengklaksonnya berkali-kali dari belakang. Bukan malah berhenti, Intan semakin mempercepat laju mobilnya. Mungkin orang iseng pikirnya, toh ia tak berbuat salah, dasar orang aneh, masih saja mengklakson. Bulu kuduk Intan semakin merinding, mobil itu masih saja membuntutinya, kali ini laju Mercy hitam meninggi, hingga mampu menyalip mobilnya.Perlahan Intan menghentikan laju mobilnya, menepi. Segala pikiran buruk coba ia tepis.Tangannya berkeringat dingin, mengumpulkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Mobilnyapun berhenti, begitu juga mobil mercy hitam di depannya yang juga ikut berhenti. Kali ini keberaniannya memuncak,paling tidak ia harus menyelesaikan tindakan konyol pengemudi Mercy urakan itu, pikirnya. Untungnya sewaktu kuliah dulu, dirinya ikut UKM beladiri. Paling tidak ada sebuah perlawanan berarti meski akhirnya harus kalah.
Intan keluar dari mobilnya, berjalan mendekati Mercy di depannya. Langkahnya tiba-tiba terhenti, seorang laki-laki berpakaian kasual keluar dari mobil itu.Mata Intan terpana, terpaku akan sebuah pemandangan di depannya.
“Assalamu’alaikum, Farah merindukan bundanya,” ucap laki-laki itu sambil merangkul bahu seorang anak disampingnya.
Buliran airmata membasahi pipi Intan, ia ingin mengucapkan sepatah kata kerinduan,lalu menghambur ke pelukan orang yang dicintainya.
“Ayo, Farah, panggil Bunda untuk pulang,”ucap laki-laki itu sambil menuntun maju anak kecil yang bernama Farah.
“Assalamu’alaikum, Senora…”ucap laki-laki itu sambil menghapus buliran air mata di pipi Intan.
“Wa’alaikumsalam, Senor,”ucapnya terbata.
Siang itu begitu sejuk bagi Intan. Tak pernah ia rasakan kesejukan siang yang sangat. Jiwanya begitu damai. Berjuta ucapan syukur ingin ia muntahkan pada Sang pembuat matra kehidupan, menciptakan rekamatra kehidupannya yang menakjubkan. Hanya hamburan pelukan yang ia lakukan, menjawab semua rasa yang lama ia pendam. Menghambur kedalam pelukan kedua jantung hatinya.


Dalam ambigu eksistensi diri
Re_

Tidak ada komentar: