Kamis, 04 September 2008

Tanganku sudah bergemetar untuk menulis, namun otakku serasa berat untuk memuntahkan unek-unekku yang terpendam di kerak mampatnya pikiran. Aku bukanlah orang yang terlalu sadar untuk menuliskan segala kejadian, segala peristiwa yang selalu memacu adrenalinku untuk berontak, meski hanya sebuah berontak dalam kesunyian.
Perkenalkan namaku Tegar, begitu namaku kerap dipanggil, tentunya orang awam akan langsung mengira aku berjenis kelamin laki-laki, namun sejatinya aku adalah perempuan tulen, nama lengkapku Tegarwati, hingga kini aku belum bisa mengerti mengapa orangtuaku menamai dengan nama yang menurutku begitu ambigu. “Supaya kau selalu tegar,”kata ibu, selalu engan jawaban sama, tidak kurang, tidak lebih, padahal bukan jawaban seperti itu yang kumaksud, tidak berhenti hanya sampai disitu, tapi lagi-lagi jawaban Ibu akan selalu sama. Aku sampai malu ketika banyak orang memanggil nama yang berkesan maskulin itu. Banyak teman-teman sekolahku yang sering meledekku, lalu seperti biasa aku akan pulang dalam keadaan menangis dan kemudian Ibu dan Bapak akan bergilir memberikan petuahnya. Namun, lambat laun aku tidak malu lagi dan semakin merasa bangga dengan nama “Tegar’’.
“ibu..ibu, harusnya dari dulu aku tidak selalu mengeluh,harusnya aku berterima kasih pada Ibu,pada Bapak,”desahku lirih,tiba-tiba sosok orangtuaku menjelma nyata dalam imaji pikirku, bila sudah begini dada ini menjadi terasa sesak oleh deburan rasa yang berkompilasi, membentuk tatanan mozaik yang tak beraturan, hingga aku kesulitan untuk menata setiap rasa yang sulit kuterjemahkan.
Bagiku Ibu adalah superwomen, bagaimana beliau mampu berkiprah dalam masyarakat hingga sangat disegani warga, membuatku selalu tersipu karena pujian orang kampung terhadap diriku gara-gara aku adalah anak Ibu, meski begitu beliau tak pernah melalaikan perannya sebagai Ibu, selalu hingga aku terlalu bingung untuk mengalirkan kelebihan aliran listrik kasih sayangnya. Perjuangannya melawan stroke yang terus menggerogoti tubuhnya selama hampir 2 tahun tepat beberapa hari ssetelah kematian Bapak, semakin mengukuhkannya sebagai Superwomen hingga akhir hayatnya.
Sekarang, bagaimana Ibu akan bertanggung jawab atas kerinduan yang sangat dalam di relung hati ini, seperti kapal yang terombang-ambing di lautan luas, tanpa harapan untuk berlabuh, karena dermaga takkan lagi nampak, lalu bagaimana rindu ini secara nyata akan kulabuhkan, dan iblis dalam hatiku akan berteriak semangat mengutuk”Salahkan Tuhan, Tuhan never bless us..”… lalu sisi hati lainnya akan cepat menyela”Gila!!!.. terlalu picik untuk menyimpulkan dengan kalimat kotor itu, aku tidak akan atheis karena masalah ini, bukankah Tuhan akan memberi cobaan bagi hambaNya yang beriman, toh seharusnya yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambaNya.
Brakk!!! Sudah cukup! Urung kulanjutkan perdebatan batin ini. Tanpa sengaja tanganku telah menggebrak meja. Sesaat aku menjadi point of interest, semua menatap bengis padaku, tatapan yang mampu merobek mental sisi sutra hati wanita, Wajar saja karena aku sedang berada di tempat yang seharunya hening, tepatnya di sebuah ruangan perpustakaan pusat Kampus. Tempat yang kunobatkan senagai tempat nongkrong favoritku. Entahlah disini, aku bisa jauh berkontemplasi, membuang jauh kepenatan, hingga terkadang bisa jadi aku hanya bengong, mengamati suasana disekitarku duduk tanpa membaca buku satupun, heran…
***
Sudah hampi 4 jam aku disini, pantatku serasa terbakar, aus bergesek dengan kursi kayu tua perpustakaan ini. Namun sampai sekarang ide tulisan masih enggan muncul.
“Tegar..Tegarwati, mengapa sih nulis saja susahnya minta ampun”racauku gusar. Sebentar lagi limit waktu akan berakhir, yah…aku terbiasa memberi batas waktu untuk memunculkan dan menentukan ide sebelum menulis.
Mataku sepat sedari tadi menekuri kertas putih yang sudah penh dengan coretan abstrak nyaris tanpa tulisan satu hrufpun. Kualihkan pandangan keluar jendela, langit mulai menampilkan warna lembayung senjanya bertabur siluet kawanan awan, kualihkan pandangan ke dalam ruangan, seperti biasa hening, lengang, hanya satu,dua orang yang singgah ke ruangan ini, suasana yang mengingatkanku pada kuburan, mungkin itu menjadi salah satu faktor aku betah singgah berlama-lama disin, sering mengingatkanku pada yang namanya ajal, dengan begitu semangat belajarku akan spontan meninggi, karena sadar limit hidupku di dunia.
“permisi, saudari Tegarwati? Ucap pemuda jangkung di depanku
“Maaf?”tanyaku yang masih terkaget dengan pertanyaan yang datang tiba-tiba, kebiasaan lagi bagiku. Pemuda itu tersenyum santun, senyum yang bisa dengan mudah membuat simpatik orang.
“Maaf, apakah benar saudari bernama Tegarwati?” lelaki itu mengulang pertanyaannya, mungkin dia paham kalau akun masih belum mengerti dengan maksud peertanyaannya.
“ya benar, anda siapa ya?” aku balik bertanya selidik, kutamati lagi sosoknya, dandanannya rapi dengan pakaian yang casual tapi elegan, wajahnya oval,dengan jambang tipis di dagunya. Sepertinya aku mengenal pemuda ini dan senyum itu juga tidak asing bagiku, tapi kapan dan dimana, aku ragu untuk memastikan.
“aku Ryan, Wati..kau lupa ya, kita sekelas waktu SMP.”ucapnya antusias. Sejenak aku tertegun, Ryan…Ryan, aku terus mengulang kata itu berusaha mengaduk brankas otakku, apakah…
“ooo ya ya, apakah kau Muhammad Ryan?”,
“yup great! Akhirnya kau ingat, aku senang kau tidak lupa seratus persen Wati.” Ucapnya girang, dengan senyum yang kian mengembang, semakin menampakkan deretan giginya yang putih.
Sekilas aku tersipu, dan semakin malu jika aku sadar siapa yang berdiri dihadapanku sekarang. Bagaimana aku bisa melupakan sosok Muhammad Ryan, dia dulu teman satu gengku waktu SMP, satu-satunya teman laki-laki yang memanggilku Wati, sosok yang periang dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun, tapi aku sedikit menyadari hal baru pada dirinya, penampilannya yang kini jauh berbeda, bukan lagi Ryan dengan tubuh tirus kurunya, hingga julukan kerangka berjalanpun disandangnya.. Ah segala sesuatunya bisa berubah Tegar, ucapku dalam hati.
“halo Wati, kok bengong?” ucapnya membuatku tersentak kaget,
“oh, maaf..aku bengong lama ya?” ucapku salah tingkah.
Kali ini aku gagal lagi untuk tidak menampakkan ketersipuanku, Ryan pastilah hafal tingkahku yang satu ini, pipiku akan merona merah jika aku tersipu dan marah.Seperti dulu, pastilah puas melihat tingkahku ini. Tapi ternyata tidak, bahkan ia sama sekali tak menatapku, pandangan wajahnya mengarah ke depan tapi sorot matanya tak tertuju padaku.
“Kau masih sama ya Wati, meski semua mengalami proses, aku harap kebiasaanmu yang unik tak banyak terhapus” ucapnya menekankan,
“Eh, ternyata kau kuliah disini juga ya, sudah lama ya gak ketemu”ucapku cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, masih terheran dengan sosok Ryan yang begitu baru menurutku, gaya bicaranya mengingatkanku pada teman-teman laki-laki di Sie Kerohanian Islam.
‘’iya, hampir 5 tahun, kau susah sekali dihubungi, nomor hpmu ganti ya?’’
‘’Oh maf, hpku hilang saat pertama masuk SMA, aku kehilangan nomor kontak semua teman-teman, kau tahu sendirikan, daya ingatku sangat payah apalagi aku pindah keluar kota’’ ucapku panjang lebar
‘’ooo, begitu”jawabnya singkat.
Siang itu menjadi hari yang anomali buatku , aku tak menyangka akan bertemu teman lamaku di tempat ini, lama kami membincangkan kisah diri satu sama lain.Jikalau terdapat taman dalam hati ini, pastilah hatiku sudah penuh dengan beragam bunga. Meskipun pertemuan kami singkat, tapi sungguh berkesan, ia memastikan akan bertemu lagi.’’Mungkin kau akan sering kuhubungi, kita pasti akan bertemu lagi, aku tidak ingin kehilangan sahabat lama lagi.’’teriaknya sambil lalu.
***
Everyday is sameday, setiap hari adalah sama bagiku,rutinitas yang membuatku semakin muak, pagi kuliah, lalu tugas menggambar yang akhirnya memaksa mata dan tanganku begadang setiap malam, tapi anehnya aku tetap setia menjalaninya,’’Bukankah ini adalah konsekuensi sebagai mahasiswa…’’bisik hati kecilku memprotes mengingatkan,’’Yah tentu saja..”desahku lirih. Kuliah dan masuk jurusan arsitektur adalah impianku sejak SMP, itu artinya keputusan ini sudah kurencanakan sejak lama, bukankah segala sesuatu ada konsekuensinya, ada h8ukum kausalitas terhadap segala sesuatu,’’Tenang Tegar, masalah ada untuk diselesaikan, dan masalah itu akan selesai jika kau tidak lagi menjadikannya masalah. Kau haruslah tegar.’’ucap batinku meyakinkan.
Pagi ini kulangkahkan kakiku mantap meski dengan sedikit paksaan pada awalnya. Sengaja aku berangkat lebih awal, agar lebih bisa menikmati setiap langkah kaki yang kudaratkan, meresapi tanjakan yang berirama, menghirup dengan puas hawa yang masih suci polusi. Lalu perjalananpun memasuki sebuah gang kecil berbentuk lorong panjang, lorong yang menghubungkan jalan raya kampung dengan kampus, jika dinilai lorong ini tak terhitung jasanya, dengan adanya lorong ini kami, para mahasiswa yang kos di daerah samping kampus tak perlu berjalan berkilo-kilo untuk sampai ke kampus.
Kutamati dinding lorong ini, beragam corak gravity hampir penuh menghiasi dinding yang catnya tak lagi terawat, seperti biasa aku akan berhenti sejenak, meluangkan sedikit waktu menikmati setiap keunikannya, mencoba memahami spirit dari apa yang ingin disampaikan .
‘’Yaah…belum ada yang baru rupanya’’,
‘’eh..’’ucapku kaget, ternyata ada orang dibelakangku, suara laki-laki. Kutolehkan badan, laki-laki itu mematung, matanya begitu serius mengamati gravity dihadapannya, sampai begitu serius hingga tak menghiraukan aku yang mulai menamatinya.
‘’Ryan…’’ucapku menyapa heran, heran entah mengapa, mungkin untuk kedua kalinya Tuhan mempertemukan kami di sudut labirein yang sama, tanpa terduga. Beghitulah Sang Maha, atas kekuasaanNya labirin akan menjelma menjadi jalan yang lurus. Laki-laki yang kusapa Ryan itu menoleh kearahku dengan ekspresi kaget, lalu ekspresi mukanya berubah dengan cepat, seperti biasanya ia akan langsung mengulum senyum, perangainya yang cepat menguasai keadaan masih belum berubah.
“oh Wati..kau lewat sini juga rupanya’’ucapnya sedikit heran
‘’iya, aku ke kampus jalan kaki’’,
“Kosmu dekat sini ya?’’tanyanya kemudian,
‘’iya, lumayan sih kurang lebih ½ kilo dari sini, la kamu?’’
‘’Aku kontrak di belakang kampus bareng temen kampus, kebetulan kemarin malem aku nginep di rumah temen dekat sini, biasalah tugas kuliah,’’ ucapnya menjelaskan
Suasana sejenak menjadi hening, masing-masing dari kami tak lagi melontarkan pertanyaan, aku tidak terlalu lihai berbasa-basi, sementara Ryan yang kukenal hanya kan bertanya jika dibutuhkan saja. Sebenarnya ini bukan kali pertama bagi kami, sering dulu juga seperti ini, hanya saja kondisi sekarang yang berbeda, tidak sekaku ini, maklum kami lama tidak bertemu.
‘’Kamu suka Gravity Wati?’’ tanyanya memecah hening.
Sebatas penikmat, aku kurang mahir di seni ini.’’
‘’ooo’’jawabnya singkat, sembari kembali menekuri garvity di depannya.
Suasana sejenak kembali hening.

‘’Ini yang kusuka dari seni’’ucapnya tiba-tiba.
Yang kusuka dari seni? Tanyaku dalam hati,kutatap sosoknya tak mengerti.
‘’Karya seni seperti lukisan, gravity atau yang lain, memberi kesempatan pada penontonnya untuk menginterpretasikan maksud yang ingin disampaikan pembuatnya.’’ucapnya kemudian.
“iya, justru karena itulah seni bernilai abstrak, membuatnya menjadi seperti sosok yang tidak sombong dan terkesan kmpromistis…”ucapku, ikut mengomentari pembahasan Ryan tentang seni.
Suasana kembali hening. Ada rasa kecewa yang sekilas terbesit di hati, karena aku pikir Ryan akan langsung mengomentari ucapanku. Kulihat lagi sosoknya yang tak bergeming hanya anggukan kepala, entah apa maknanya.
“Kau aktif di BEM?’’tanyanya tiba-tiba.
“Aku?”tanyaku ragu,
“Ya iyalah, manusia yang disinikan cuma kau dan aku, masak aku tanya sama rumput.”ucapnya sambil tertawa, memecah kebekuan yang kurasakan. Seperti tersihir, akupun ikut tertawa, dari dulu aku suka tawa Ryan, bukan bermaksud apa-apa, tapi tawanya begitu jujur, hingga orangpun akan tersihir tertawa bersamanya.
“Enggak, tugas gambar sudah sangat menyita waktu, lagian aku sudah ikut HMJ dan lembaga pers kampus.”
“Wah keren, kalau aku dari awal menjadi mahasiswa aktif di Sie Kerohanian Islam kampus,”ucapnya menjelaskan
“ooo, di SKI, hampir separuh teman sekelasku ikutan aktif disana.”
“Kau tidak Wati, Why?”tanyanya heran
“ehm, karena…”urung kulanjutkan alasanku, mengapa segala sesuatu harus beralasan,desahku dalam hati.
“apa karena kau tidak berkerudung atau merasa belum sempurna, itu tidaklah menjadi masalah Wati, kau percayakan kalau segala sesuatu berproses, tidak harus terlebih dulu sempurna untuk masuk SKI, justru karena ketidaksempurnaan itulah kita bersama-sama belajar.”
“Iya Ryan, aku paham itu. Proses ada pada diri kita masing-masing, hanya saja aku tidak terlalu suka terikat dengan hal seperti itu…”ucapku menggantung,
“Maksudmu terikat dengan apa?”tanyanya selidik,
Aku berpikir sejenak, mencoba meramu kata sehingga berharap tidak ada pertanyaan lagi setelah penjelasanku ini. Tapi haruskah aku jujur, menyatakan yang sebenarnya yang mungkin pula menambah panjang daftar pembicaraan ini.
“Aku ingin memulai pencarian dari nol, pencarian jati diri, pemahamanku tentang alam semesta dan kehidupan ini, aku hanya ingin memiliki kesadaran berpikirku sendiri Ryan, kesadaran yang hanya bisa terwujud jika dogma itu nihil.”ucapku menjelaskan, mencontek pemaparan dosen filsafatku, meski aku sendiri belum terlalu mengerti yang kuucapkan barusan.
“Dogma? Apa kau pikir Islam adalah ajaran dogmatis?”
Kali ini aku seperti terdakwa di pengadilan, pertanyaannya bertubi-tubi menghujam kepalaku.
“Baiklah Wati, mungkin aku tidak terlampau mengerti, tapi mungkin kau butuh proses untuk menjawab itu semua.”ucapnya sembari melirik hpnya.
“Oh ya Wati, aku pamit dulu ya, harus buruan ke kampus nih, semoga sukses dengan pencariannya, Salam” ucapnya sambil lalu meninggalkan diriku mematung di lorong ini.
“Wassalam,”ucapku lirih, menatap sosoknya yang berangsur menghilang dari pandangan.
“Astaga” aku tersentak kaget, sesaat setelah kesadaranku berangsur pulih 100%, sengaja kulihat jam di hpku, waktu berjalan melenggang dengan santainya, sementara itu, kaki kecilku ringkih berjingkatan, berlari keluar dari lorong panjang ini, karena 5 menit lagi kuliah pertama dimulai.
***
Kurebahkan dengan kasar punggung ke sandaran kursi studio yang empuk, mencoba memejamkan mata barang sejenak, setelah hampir 4 jam menekuri gambar yang setengah selesai didepanku, masih ada waktu 4 jam lagi untuk segera menyelesaikan desain gambar ini. Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, merasai gelitikan dinginnya buliran keringat yang membasahi tubuh.
Sudah 2 tahun aku kuliah di jurusan arsitektur ini dan selama iitu pula aku mencoba bersahabat dengan mata kuliah yang banyak membuat diriku insomnia, hal yang sama sekali tak kuduga sejak dulu, bersahabat dengan suasana studio yang pengap dan panas karena salah desain. Berakali-kali aku melaporkan keadaan studio gambar dan penghawaannya yang mirip efek rumah kaca,dan berkali-kali pula pihak dekanat juga menolak rearrange ruang dengan alasan belum ada dana.
Belum ada pendanaan?tanyaku sinis, Ruang studio adalah tempat yang sangat urgent bagi mahasiswa arsitektur, karena mayoritas kegiatan gambar-menggambar kami lakukan disini,lalu bagaimana kami bisa maksimal bekerja dengan kualitas ruang dan peralatannya yang serba minimalis, jeritku dalam hati, selalu begitu, jeritan yang berontak dalam kesunyian, karena lidahku begitu kelu ketika beradu argumen dengan pihak dekanat.
Aku beringsut bangun, menegakkan kembali badanku,kurentangkan tangan keatas sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lagi. Letih ini sudah hampir berhasil menguasai tubuhku, otakku bekerja keras melawan kondisi yang tak seharusnya datang. Ruangan mulai tampak lengang, satu persatu teman-teman meninggalkan ruangan, tinggal aku dan segelintir temanku, kalau sudah begini, pikiran harus terus fokus meski sejujurnya jantungku berdegup tak karuan karena masih ada pekerjaan desain yang urung juga kelar.
Kubuka buku agenda kecilku, satu-persatu lembaran kubuka,sederet agenda mulai dari rapat, menghadiri seminar, kunjungan ke pameran, dan seabrek kegiatan lainnya. Senyumkupun tersimpul bangga, yah setidaknya aku punya cukup banyak agenda hidup yang lain selain jadi kuli gambar.sorak batinku gembira. Tidak sedikit mahasiswa yang menggadaikan kegiatan sosial mereka untuk segera meraih gelar sarjana. Hingga kini aku masih percaya bisa meraih keduanya, meskipun urun tenaga ekstra.
“Gar, aku duluan ya, dikau belum kelar juga?”ucap Saras, temanku.
“Wah belum kelar nih, tinggal dikit lagi, duluan saja.”ucapku sambil tersenyum, terlihat dipaksakan memang. Bagaimana lagi, karena itu berarti sekarang tinggal 4 orang di studio ini, suasana juga semakin sepi, menambah kencang degup jantungku. Ya tuhan tolong bantu aku mempercepat pekerjaan ini.Cuih, jika dalam kondisi terdesak minta tolong, kau ingat pada Allah Tegar, protes hati kecilku. Yah pada siapa lagi, Presiden atheispun ketika benar-benar dalam keadaan terdesak, dalam keadaan zero mind pun akan spontan menyebut Tuhan. Itu alamiah bukan?
***
“Akhirnya selesai juga,”ucapku samil neregangkan tangan keatas. Ada kepuasan tersendiri setelah berhasil menyelesaikan karya sendiri, hingga pegal dan capai menjadi tak terasa. Perkara besok karyaku dibantai dosen adalah urusan belakangan. Aku akan memuaskan diri untuk menikmati karya-karyaku. Memang, kondisinya akan paradoks jika sudah berurusan dengan pandangan dosen.Kebanggan dan kepuasan awal bisa berubah 180 derajat mkenjadi kekecewaan dan rasa gagal akhirnya.


Bersambung…

Tidak ada komentar: