Senin, 18 Mei 2009

Ayah, kemana Ibu...

“Ayah kemana Ibu?”

“Kan sedang kerja nak, sebentar lagi pulang, adek bobok ya, ntar Ayah dongengin.”

“G mau, adek gak mau bobok, Adek mau dikelonin Ibu.Yah…Kenapa Ibu gak pulang-pulang kan adek kangen Yah…”

“Hem…”

Si Ayah memeluk anaknya, mencoba menenangkan rengekannya. Dilihatnya wajah si anak. Mata kecil anaknya serta merta membulat, gantian menatapnya sambil berkaca-kaca. Genangan air di pelupuk matanya tinggal menunggu detik tertumpah.

Menjelang malam, baginya adalah sama seperti biasanya, rengekan anaknya dan sejumlah Tanya tanpa ia mampu jelaskan, selalu saja dengan jawaban ‘hem’.

Lalu si anak akan tertidur, bukan oleh nina bobok atau dongeng si Ayah, tapi capai, tenaganya terkuras untuk merengek atas penjelasan yang tak tercerahkan.

“Maafkan Ayah nak, Ayah sendiri bingung bagaimana menjelaskan pada anak seusiamu. Tunggulah hingga kau besar,tunggulah waktu yang akan segera kau rasai, kau akan tahu sendiri dari mulut Ibu yang kau rindui.”

***

“Mengertilah mas, bukan masalah kau tak sanggup memberikan nafkah, memuaskan nafsu premierku….”

“Aku hanya butuh aktualisasi diri, kau tahu itu, berkali-kali tlah kubilang padamu…”

“aktualisasi diri?yang bagaimana?seperti apa..sama sekali aku tak paham…”

“ya..aktualisasi diri, mengembangkan potensi diriku, dengan berkarya di luar, merasai hentakan jaman, sama seperti yang kaum kalian tlah lakukan…”

“aku, perempuan dan banyak juga kaumku, juga punya potensi yang sama…mengapa selalu dipermasalahkan, aku hanya ingin kau mengerti, saat masyarakat masih memandang tabu pandangan itu…”

“tapi istriku…anak kita masih kecil, ia tumbuh dan butuh kita, terlebih butuh kau, sebagai Ibu…”

“terlebih?? Mengapa? Selalu saja kau gunakan otoritas itu. So Why? Kau juga Ayahnya? Jangan mengekangku di lingkaran mampat ikatan ini mas…”

“baiklah, terserahmu saja.”

Si suami tak tahu lagi apa yang harus dikatakan, hingga kini masih saja tak paham atas aktualisasi yang terus digaungkan istrinya untuk dimengerti. Benarkah kedudukannya sekarang menyebabkan si Istri tak berkembang? Terkekang dalam lingkaran rutinitas aktifitas domestik? Mengatur keluarganya di rumah, membimbing anaknya, melayaninya, adalah kerja rendahan?Sebuah pekerjaan?

Oh istriku, batin suami secara tulus ingin berteriak

‘Lalu ikatan macam apa yang tlah ku ikrarkan di hadapan penghulu kala itu? Kala cinta dan keyakinan itu masih kukuh kita pegang…Itu adalah ikatan suci, sama halnya dirimu ku juga terikat karena ku mencintaimu, menghargaimu, sebagai belahan jiwaku. Jika dalam proses mengarungi bahtera ini ku mengekang apa yang kau sebut aktualisasi dan potensi dirimu, maka betapa kejam rajutan ikatan ini? Betapa kejamnya diriku yang tlah sukses menabur benih di rahimmu?sekali lagi buah cinta kita? Aku sama sekali tak mengerti, Dengan sebutanmu pada ikatan ini sebagai persundalan hipokrit? Demi Tuhan, kau bukanlah sundal, layaknya pekerja seks, yang ber ML dengan bayaran. ‘

***

Powers of Horror- An Essay on Abjection. Hampir tamat si Istri membaca buah pikir feminis kawakan Bulgaria Julia Kristeva. Ia harus membaca, agar dirinya mengerti dan sadar, ataukah sebagai asupan atas pelarian, atas nuraninya yang kerap berseberangan,atas kesadaran baru yang berusaha ia bangun. Sosok wanita dengan keautentikan dirinya.

Dan pemikiran Kristeva sangatlah dekonstruktif, seperti filosof postmodern yang dikaguminya, Derrida, Faucault. Ia butuh itu.Ya, ia harus butuh.

Ia tak mengerti meski sedikit tahu apa yang ia putuskan lalu lakukan. Bukan pula ia tak tahu kalau dulu ia yang memutuskan dengan sadar untuk menikahi makhluk berbeda gender, merajut ikatan atas nama Agama.

Ia kini berstatus Istri, sama halnya dengan pasangannya yang kini ia sebut Suami. Mengapa Tuhan mencipta makhluk berbeda Gender? Mengapa tak sama saja?hingga nantinya taka kan ada yang menggugat ciptaanMu dan menjadikan alasan siapa atas siapa yang membuat bias Gender. Seperti pula hak dan kewajiban.

Tapi si istri adalah seorang rasionalis. Bukankah sangat rasional kala memandang 2 makhluk berbeda itu sama-sama makhluk, dengan perlakuan pertama sama, potensi sama, lalu bukankah sangat adil membiarkan pertarungan kealamian yamg menilai dan memberi keputusan siapa yang layak diunggulkan sebagai Pemenang?

Faktanya lagi, adalah pertengkaran dan pertengkaran. Selalu saja ia berdebat dengan suaminya, sosok yang selalu menyebut dirinya sahabat hidup, soulmate. Huh, jangan tertipu. Lontaran sebutan yang dijadikan kaumnya otoritas melakukan penekanan. Bukankah wanita adalah makhluk dengan 9 perasaan 1 akal.

Kali ini, baru saja ia sadari, dirinya telah melakukan labelisasi pada perempuan. Perempuan 9 perasaan 1 akal dan sebaliknya bagi laki-laki.

Apa-apaan ini?Tapi jujur dalam nuraninya, bahwa itu yang sering ia temui.

Lalu letak kerasionalan itu? Seharusnya mereka benar-benar sama…

’aki-laki, perempuan, ikatan, hubungan, sahabat, lawan, pertarungan…’

Kata-kata itu membuat untaian lingkaran di benaknya, terus berputar laksana gasing.

Lama ia terpekur. Sejenak dirinya memperoleh pencerahan perihal status perempuan. What, why, How about Women??

Lalu sejenak kemudian dirinya bimbang. Mengapa bimbang jika benaknya sudah tercerahkan oleh pemikiran yang ia gandrungi, pemikiran yang berkoar akan mencerahkan perempuan akan jati dirinya??

Ia hanya ingin menggapai keautentikan dirinya yang lama-lama hilang, tergadai atas nama, agama, keluarga. Ia hanya tak ingin menjadi dasein yang tak menyadari ada, sebagai eksistensi.

Tapi sampai disini, pikirannya mandeg.Lalu menggaung dengan kerasnya. Benarkah begitu adanya?

Bukankah kau sendiri sekarang dasein?kau yang terlanjur memaksa tak percaya eksistensimu, potensimu, keunikan dirimu.

Bukankah kau sendiri unrasional?

Makhluk berbeda Gender itu, yang kau sebut laki-laki dan perempuan adalah makhluk berakal, itu fakta. Sama-sama memiliki potensi hidup, itu juga fakta.

Tapi kau sembunyikan satu hal, kau sembunyikan rapat dalam brankas alam bawah sadarmu. Mereka adalah fakta berbeda realitas. Kau berusaha menyamakan 2 keunikan menjadi satu. Semua untuk cita-cita akan aktualisasi diri dan pengembangan potensi, bakat diri?atau kebebasan diri?

Bukankah rasional sekarang, menilik empirismu, empiris kaummu, tanpa terlebih dulu berembel-embel syak, tanpa terlebih dulu menstandarkan pada pandangan tertentu. Bukankah mereka punya keunikan berbeda. Keunikan yang menyebabkan mereka 2 kekhasan yang berbeda, keunikan yang butuh penanganan berbeda,

meski sama-sama makhluk. Pencerahan apa yang kau maksud? Keadaan status kaummu dan kaum maskulin itu telah tercerahkan sejak sebelum orok bukan?

Pencerahan apa? Ketertindasan bagaimana? Bukankah itu baru muncul bukan karena kekhasan ini? Hanya kepicikan pikir dan tingkah manusia yang kurang memahami penyikapan kekhasan ini? Semua karena kestandartan materi yang oleh manusia sendiri bukan?

Itulah mengapa, solusimu menyebabkan kebimbangan dirimu sendiri? Dalam kasus hidupmu hanya dirimu? Lalu bagaimana jika kasus individu ini berkerumun menjadi persoalan komunal? Kekacauan atas nama perjuangan akan pencerahan??

***

Dua makhluk berbeda gender itu terpekur, berbeda setting mereka menatap large window, menatap pada arah yang sama. Pandangan jauh di depan mata mereka. Sebuah rumah mungil, berpenghunikan sebuah keluarga. Tak pernah didengarnya keributan, piring melayang, Sebuah keluarga, seorang istri, seorang suami, anak-anak yang lucu, berkembang karena kerjasama dan kasih mereka. Mereka tak mendebat, karena memahami posisi, hak dan kewajiban satu sama lain. Pertarungan, tak ada pertarungan, pertarungan yang menyebabkan tersebutnya lawan. Ikatan mereka adalah ikatan suci, menyucikan diri, memanusiakan 2 makhluk itu. Dengannya akan jelas keturunan dan nasab. Tentu ini semua bernilai, tapi bukan selalu yang kasat mata, ada nilai yang timbul karena keyakinan, karena memang itulah nilai sejati, nilai yang senantiasa membuat keoptimisan. Ridho Ilahi, Dzat pemilik jiwaraga makhlukNya,dzat yang terlalu enggan diingat manusia kala menjalani bahtera hidup.

Bukankah itu sangat rasional? Keadilan dan kesetaraan tak harus dengan menyamaratakan yang seharusnya memang berbeda bukan?

Ikatan yang dirajut karena mengerti dan kepahaman bukankah sangat indah rajutannya?

Tidak ada komentar: