Senin, 18 Mei 2009

Anamnesis

Apa lagi yang kau kejar?
Begitu tanyamu, tepatnya seperti tanya, karena bagiku lebih mirip hujatan.
Tanyamu mengingatkan akan kaki yang tlah kulangkahkan, entah untuk keberapa kali. Mungkin dibanding diriku, kau lebih bisa menghitungnya.
Aku seorang berusia kepala dua, sosok yang memiliki hasrat menggapai asa,sama tak serupa dengan diriku pada usia 9 tahun, kala ku mulai merasai hasrat menggapai cita.
Aku masih ingat kala itu, aku berjalan-jalan sore bersama dengan orang yang terkasih dan kukagumi, mengelilingi pematang sawah yang terhampar luas, bagiku hingga kini bak permadani lembut. Kami bercakap, mulai mengobrolkan pesona hidup. Lalu darinya kutorehkan kesejukan hidup lewat goresan pena.
“Bapak, Re menggambar ini, bagus g?” tanyaku sambil menyodorkan selembar kertas
Beliau menerima gambarku, menamati, lalu tersenyum, “Bagus, kembangkan Re...”
Begitu seterusnya, hingga tanpa jenuh, “Bagus, kau cocok jadi arsitek...”
Darisinilah, aku mulai merasai cita, dalam benakku, berteriak, bersorak. Arsitek?aku akan lebih lama berkesempatan menggambar bersama Bapak, lalu kami akan memperbincangkan gambar proyek kami bersama... Hasratku kala itu cuma bagaimana menjadi arsitek yang disukainya.
Lalu, sejalannya waktu, kumerasa tak punya cita.
Kali ini, ya, aku bicara kali ini saja, sejenak tersadar, bahwa kumulai mengingat kembali pada kaki yang tlah kulangkahkan, entah untuk keberapa kali. Itu karena segala tanyamu, stimulus ingatanku yang tlah terbingkai serak dalam brankas mimpi. Mimpi bagiku adalah kenyataan, begitu sebaliknya memori yang kujadikan mimpi. Mimpi yang terkadang ada kala kita bernafas tanpa merasa.
Tapi kau selalu bilang, bahwa itu kaulakukan tanpa sengja ‘bukan maksudku’
Sekarang rutinitas pengingatan kembali tapak kaki yang tlah lalu itu kian melingkupiku.Aku yang menjebak diri di lingran yang tak bersiku, hingga ku kebingungan mencari celah persembunyian.
Pijakanku, di ranah nyata adalah tamparan yang siap menjelma rangkaian gempa berskala, mungkin dan mungkin saja bisa meremukkan bentukku yang urung juga stabil.
Aku mulai ragu pada bentukku kini, akalku mulai apatis terhadap apa yang menurutku ‘tak masalah’, ‘terserah’ dan’ bukan urusanku’.
Proses pengingatan kembali ini,malah membuat langkahku pasti. Aku tak mengerti tapi darinya akhirnya ku belajar menggali dan mengerti. Meskipun ia bisa menjelma menjadi sebuah gempa

Tidak ada komentar: