Minggu, 24 Agustus 2008

The Journey

The Journey
Kuterpekur memandang luar jendela bis Sumber Kencono, setelah dari tadi tak kuhiraukan tirai biru yang menutupnya. Mungkin karena ku terlalu jenuh dengan pemandangan dalam bis, terpampang bermacam ekspresi wajah orang, dan sudah puas kutamati semua pandangan yang tertangkap oleh mata. Kebiasaan aneh mungkin, ini sengaja kulakukan agar kesadaranku terjaga, yah agar terus terjaga, sadar bahwa diriku masih ada di dunia, masih bernafas dan menjalani kehidupan hingga detik ini.
Terkadang halusinasi mengajak pikiranku melayang, menentang waktu yang berjalan, menghentikan sejenak dan kenangan itu dengan sendirinya akan muncul hingga flashback waktu itu terasa nyata dan kehidupanku yang sekarang adalah ilusi. Tapi tidak, tidak untuk kali ini, meski itu terkadang menyenangkan, pikiranku masih sehat untuk meraba fakta, mana ilusi dan kenyataan…
Kenyataan……puff, aku mendesah lirih,kutarik nafas panjang mencoba menata setiap tarikan nafas yang tersengal.Kutatap panorama senja, hari kian larut, langit memamerkan gradasi warna lembayung yang memukau, Karya Sang Creator, Sang Painter Agung.
“Ya Allah maafkan hambaMu”ucapku lirih.Maafkan aku…Sungguh maafkan aku Ya Rob ulangku dalam hati.Mencoba memaafkan diri atas kerisauan yang tak beralasan, kegalauan yang jika diteruskan mungkin akan mengantarkan pada sikap kufur nikmat. Sekejap bulu kudukku merinding, membayangkan saja aku ngeri, seorang yang kufur nikmat, semoga tidak menimpaku.
“Persiapan..Palur..Palur..!!”teriakan kernet bis membuyarkan kontemplasiku. Ah sudah sampai Solo rupanya, sekitar 2 kilo lagi akan sampai Sekarpace.Cepat sekali, kulirik jam di hp-ku, sekitar 2jam bis biru ini membawa ragaku jauh pergi meninggalkan kampung halaman menuju kota batik ini, kota yang kupilih sebagai tempatku mengadu ilmu. Padahal baru kemarin pulang, hari ini juga harus kembali, yah sudah konsekuensi, hiburku. Jika boleh mengadu, sebenarnya aku sangat belum puas bercengkrama dengan mereka, para saudaraku tercinta, adik dan kakakku, mereka soulmate yang masih kumiliki..
Mengingat mereka, membuat dada ini sesak. Sudah berapa lama aku tidak melihat mereka seperti dulu saat-saat….ah urung kulanjutkan, memang takusahlah dilanjutkan. Mereka adalah sosok yang terdewasakan waktu, mungkin juga dengan diriku, ah aku benar-benar malu. Ku melihat dan menamati perubahan yang signifikan pada diri mereka, jauh lebih dewasa dan semakin matang dalam pendewasaannya, hingga aku merasa mereka adalah alien di rumah tua kami atau mungkin aku yang terlalu shock akan realitas yang terus berubah.
Kumencoba mengingat peristiwa yang lalu, mecoba mengambil beberapa mozaik yang telah tertata, untuk sekilas mengenangnya. Waktu dimana aku memiliki keluarga yang lengkap, mungkin keharmonisannya akan membuat banyak keluarga lain iri. Bagiku saat-saat itulah kehidupan.Ketakutan bagiku adalah jika kelengkapan itu hilang, lalu bagaimana jika……Tidak, ah tidak mungkin, Allah tidak akan begitu tega melakukannya. Hai manusia bodoh, kenapa tidak, segala yang tidak mungkin menjadi mungkin atas kuasaNYa, sudut lain brankas otakku bicara.
Aaaaagghhh…hingga kemungkinan itu terjadi aku masih bisa berteriak mengelak, tidak bukan mengelak,lebih tepatnya lari dari kenyataan. Saat-saat itulah diriku bermimikri menjadi pecundang sejati, mencoba lari dari kenyataan, kenyataan yang mengantarkan pada perubahan pada diri kami, perubahan yang kubenci, perubahan yang mengantarkan pada ketidakpastian…anggapanku kala itu.
Kami ibarat ABK di dalam kapal tak bernahkoda. Hanya ada tiga pilihan yang bisa kupikirkan, membiarklan diri kami terombang ambing terbawa arus tanpa tujuan, memilih menceburkan diri ke laut atau masing-masing diri belajar keras menjadi nahkoda yang handal. Lalu kamipun berproses menjadi pilihan ketiga. Dulu aku adalah pemuja kestatisan, karena bagiku statis itu indah……”biarlah waktu berhenti pada kebersamaan itu sempurna bagiku”. Tapi bagi diriku yang merasai hidup, ketika ku mencoba berkenalan dengan kehidupan lebih jauh, mencoba menempatkan akal diatas perasaan. Kehidupan mengajarkan padaku bahwa perubahan itu nyata, pengalaman empirikku bergerak, bagai film dokumenter perjalanan kehidupan seorang “DIRI”, menjadi bukti bahwa hidup itu dinamis tidak sestatis yang dibayangkan, bahwa yang kuaku selama ini adalah kedinamisan itu sendiri, oleh karena itulah perubahan itu nyata. Perubahan itu ada. Yah… hingga akhirnya aku tertunduk, pemikiran yang mampu menundukkan ego “sang pecinta kestagnanan”, “sang pecundang” penentang kepastian. Memang apa salahnya dengan perubahan?biarlah ia menjadi spirit labirin yang penuh kejutan.
“Persiapan…Sekarpace..sekarpace!!”
Here we go……
Hidup ini dinamis Mift, akan ada banyak pintu menuju perubahan. Pilihan akan slalu datang, karena disinilah manusia berkuasa memilih jalannya untuk berubah. Takut pada perubahan adalah pecundang karena memngingkari eksistensinya pada kehidupan. Tentu..
Kulangkahkan kakiku turun dari bis, entah untuk yang keberapa…sejak pertama kali ku tiba di kota batik ini.
Tapi yang penting kupastikan langkahku kali ini mantap. Mantap mengazamkan diri sebagai Agen of Change Sang Creator di planet biru ini.

Dari kalianlah aku belajar

Tidak ada komentar: